Untuk jenis usaha roti dan kue pada 1956 terdapat 1.260 usaha dengan  4.219 buruh dengan produksi 15 juta. Pada 1964 jumlah usaha memang meningkat menjadi 1.927 usaha dengan  5.337 buruh, namun produksinya hanya 15,07 juta.
Jumlah usaha meningkat tetapi produksi menurun juga terjadi pada kecap di mana terdapat 558 perusahaan, 1.249 buruh dan produksi 3,8 juta liter pada 1956. Â Jumlah usaha meningkat menjadi 624 unit dengan 1.500, tetapi produksi menurun 3 juta liter pada 1964.
Ada juga sejumlah jenis usaha yang merosot, baik jumlah, tenaga kerja maupun produksi. Tempe, misalnya pada 1956 mencatat 683 usaha dengan 1.467 buruh, serta produksi 4.274.155 kg, meorosot menjadi 673 perusahaan, 1.083 buruh dan produksi 2,5 juta kg pada 1964. Â
Industri rokok kretek juga turun dari 36 perusahaan, 480 buruh dengan produksi 66.875.590 kg pada 1956, menjadi 31 perusahaan, 244 buruh dan produksi hanya 26 juta kg pada 1964. Â Kemerosotan yang mencolok pada kerajinan payung, yaitu 892 usaha, 2.093 buruh dan produksi 1,8 juta buah pada 1956 merosot tinggal 744 usaha, 1.973 buruh dan 500 ribu buah.
Jumlah pengusaha otobis pada 1956 sebanyak 219 pengusaha, 148 trayek, 779 otobis, 2.577 ritten mengangkut 90.195 penumpang sehari dan 27.058.600 per tahun. Sementara pada 1964 sebanyak 269 pengusaha, 212 trayek, 933 otobis, 2.138 ritten dan 74.840 penumpang sehari dan 22.449 000 penumpang pertahun. Tarif angkutan umum Rp 0,12 per penumpang per kilometer menjadi Rp2,40.
Untuk pertanian, dalam buku tersebut diungkapkan produksi padi sawah pada 1956 menghasilkan 3, 34 juta ton dan padi gogo (padi ladang/lahan kering)) sebesar 113, 4 ribu ton. Â Pada 1964 mencapai 3, 96 juta ton untuk padi sawah dan 391,6 ribu ton untuk padi gogo. Â Sementara lahan jagung meningkat dari luas 76.178 hekatare dengan hasil 78.525 ton pada 1956 menjadi 245.303 hektare pada 1964 namun hasilnya hanya 34.998 ton.
Sementara untuk komoditas ekspor justru terjadi kemerosotan. Pada 1956 komoditas kina menurun dari 1.731 ton menjadi 800 ton pada 1962. Â Sementara pada tanaman teh apabila pada 1956 menghasilkan 28.504 ton merosot menjadi 24 ribu ton pada 1962. Â Begitu juga pada tanaman karet menghasilkan 49.698 ton pada 1956 melorot menjadi 38 ribu ton pada 1962 (buku itersebut tidak menyebut data 1964).
Konflik Agraria
Kuartal terakhir 1964 juga ditandai konflik agraria, tampaknya  terkait euforia dari ditetapkannya UU Landreform. Di antaranya, peristiwa kerusuhan antara pegawai kehutanan dengan petani di daerah Pasir Ipis, Majalengka, pada 9 September 1964. Â
Sekitar 800 demonstran menggiring 4 pegawai kehutanan kemudian diserahkan kepada polisi setor Jatitujuh, karena ketidkapuasan terhadap rencana Tumpangsari di lingkungan kehutanan Cibenda dan Jatibarang,
Pada September itu juga di Ciamis, tanah seluas  12 hektare milik perkebunan karet swasta digarap 22 petani  tanpa izin.  Mereka kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman 2 hingga 3 bulan penjara. Â
Setelah naik banding dapat 3 bulan penjara, kecuali seorang yang mengembalikan tanahnya kepada pemiliknya.