Tokoh lain Itjih menuding perempuan yang memakai rok menjadi lebih murah, menampilkan sex appeal, seakan-akan daya  menarik dari segi itu saja yang dikembangkan (17).
Tentu saja tudingan dan sebetulnya larangan ini menjadi bahan pembicaraan di kalangan orang terdidik, terutama mahasiswa. Male Maria Jahja dari Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia Bandung mengakui mahasiswi (perempuan)  menyukai mode, ada yang biasa, ada yang old fashion namun ada juga yang mengikuti mode kekinian. Dia menyatakan mahasiswi sebaiknya  memakai pakaian sesuai dengan tempatnya, untuk kuliah sebaiknya biasa saja.
"Pakain untuk kuliah sebaiknya yang sederhana saja dengan warna dan motif yang  tidak mencolok, potongan yang cukup sopan dan bahan yang ekonomis. Misalnya, pakaian yang tangannya tertutup, memakai kraag dan panjangnya sampai ke lutut." (18)
Reaksi dari mahasiswa terutama yang mendukung Sukarno cukup keras. Pada September 1964 mereka merazia salon-salon dan menemplekan pamflet: ganyang sasak. Â Hasilnya? Memang perempuan yang mengguakan rambut sasak jarang tampil di jarang, tetapi masih ada menggunakannya secara geriliya di rumah-rumah dengan tenaga ahli kecantikan atau perias salon yang didatangkan (19).
Hal yang serupa terjadi pada dansa twist. Majalah Merdeka juga melaporkan dansa twist masih merajalela di pesta kaul kaum pelajar (pesta lulus ujian dari SMA) Â di rumah-rumah, bukan di tempat umum. Majalah itu juga mengecam masih banyaknya perempuan muda ang mengenakan rok span menggoda mata iseng laki-laki dan rambut sasak, padahal sudah dilarang Sukarno (20).
Upaya Sukarno membuat counter culture dengan menjadikan tari lenso atau tari serampang dua belas untuk menggantikan dan dansa twist tampaknya hanya berhasil sementara. Â Sukarno tampaknya tidak menyadari bahwa pelajar dan mahasiswi pada pertengahan 1960-an adalah generasi yang kecil pada era 1940-an bahkan lahir setelah 1945.
Generasi ini tidak mengalami secara langsung masa revolusi fisik, apalagi era kebangkitan nasional. Generasi ini menonton film-film Barat ketika masih remaja dengan bebas pada 1950-an hingga menyerap gaya dan mode artis Barat Elvis Preasley, teh Beatles, Connie Francis.
Kebijakan Kebudayaan hanya sekadar himbauan dan gerakan tari lenso dan tari serampang dua belas  tidak mengikuti selera anak muda, tetapi lebih pada selera generasinya. Bukanya membangun kebudayaan populer Indonesia dengan terstruktur (bahkan sampai sekarang).Â
Dengan demikian semangat pengganyangan terhadap imprealisme Barat dilakukan secara tanggung. Sementara anak muda yang mengakses informasi melalui bahan bacaan juga semakin banyak, termasuk juga kaum perempuan. Â
 Â
Irvan Sjafari