Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1964, Aktivis 10 Mei 1963 dan Aktivis Pers Mahasiswa

28 Juni 2019   20:53 Diperbarui: 28 Juni 2019   20:55 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun mahasiswa Bandung umumnya masih menunjukan sikap mendukung kebijakan Soekarno, tetapi memasuki 1964 merupakan awal munculnya sejumlah aktivis yang kelak menjadi pimpinan utama gerakan mahasiswa pada tahun-tahun peralihan dari era Orde Lama ke Orde Baru.  Nama-nama yang muncul pada 1964 sulit saya temukan di pemberitaan pada tahun 1960-an awal atau 1950-an akhir. Kemungkinan mereka baru menjadi mahasiswa  pada masa itu.

Lanjutan sidang Pengadilan Negeri Bandung para aktivis mahasiswa  yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa kerusuhan  rasial 10 Mei 1963, memunculkan nama yang sebelumnya tidak terdengar kiprahnya dalam liputan media. 

Pada sidang awal Januari itu dihadirkan kesaksian mahasiswa bagian Sipil, ITB Siswono (Yudo Husodo) mengatakan, rasa panas di kalangan mahasiswa bagian sipil ITB timbul karena sikap sombong dan tidak acuh mahasiswa kalangan Tionghoa terhadap perjuangan bangsa Indonesia.

Pada peringatan Sumpah Pemuda para mahasiswa dari kalangan Tionghoa tidak turut dalam upacara, padahal mereka diberitahu akan ada upacara tersebut.  Pada waktu Jendral AH Nasution berbicara di ITB, mahasiswa golongan Tionghoa tidak mendengarkan, melainkan omong keras menggunakan Bahasa Belanda (1)

Oleh pembela terdakwa Husen SH, Siswono diminta  mengulangi keterangannya. Sementara dua saksi lainnya Dedi Krisna  dan Abdul Kojon membenarkan keterangan Siswono.  Ketiga saksi ini diajukan untuk enam terdakwa  mahasiswa Sut, IW, Peit, Djok, Par dan Sur.

Siswono mengulang keterangannya pada sidang sebelumnya perusakan rumah-rumah, toko dan kendaraan di luar sepengetahuan mahasiswa, ketika menjawab pertanyaan Jaksa Mohammad Jusuf.  Dalam sidang itu terungkap pertemuan para aktivis mahasiswa hanya berkisar soal perkelahian di ITB melawan segolongan Tionghoa, yang mereka anggap sombong.  Namun Siswono dan kawan-kawannya membantah dipengaruhi Gerakan Anti Tionghoa (Granat).

Cukup menarik Siswono pada 1963, masih berusia 20 tahun sebetulnya merupakan pendukung Bung Karno. Dalam sebuah tulisannya Siswono mengungkapkan dosen favoritnya di Jurusan Sipil ITB Prof Dr Ir Rooseno ketika mengawali kulian pada 1963 pernah menceritakan kegusaran Bung Karno perusahaan-perusahaan asing yang mengelola pertambangan dtidak menjadikan Indonesia sekadar eksportir bahan baku.  tidak mendapatkan tanggapan yang memadai.

Bung Karno menyatakan: kalau putra-putri Indonesia belum mampu mengolah sendiri kekayaan alam tambang-tambang kita, biarkan tetap tersimpan di dalam bumi Ibu Pertiwi. Kita tunggu sampai anak cucu kita nanti mampu mengolahnya sendiri." Cerita Rooseno selama dua menit, 52 tahun yang lalu itu, mengendap kuat di dalam alam pikir mahasiswa Sipil ITB dan mewarnai sikap politik ideologi mahasiswa pendengarnya (2).

Pada 5 Mei 1964, akhir sepuluh orang mahasiswa yang tersangkut dalam Peristiwa 10 Mei di Bandung, Selasa 5 Mei lalu oleh tiga jaksa Pengadilan Negeri Bandung telah dituntut hukuman antara 3 dan 7 tahun penjara segera masuk.

Jaksa R Djoko Muljo dalam tuntutannya terhadap DK (Deddy Krishna) seorang mahasiswa Kimia Teknik ITB menyatakan DK bersalah telah melakukan pembakaran kendaraan bermotor, perusak kaca-kaca toko di Jalan Umum Kota Bandung, yang menimbulkan kerugian ratusan juta rupiah. 

Hal ini menimbulkan kegemparan dunia internasional karena peristiwa ini menjalar ke kota-kota lainnya di seluruh Jawa Barat bersama-sama telah menyatakan bahwa terdakwa dalam tuduhan selanjutnya melakukan pemukulan terhadap mahasiswa Tionghoa di Kompleks ITB, serta dilakukan kegiatan politik dan mengadakan rapat-rapat gelap tanpa melaporkan terlebih dahulu kepada pihak yang berwajib,

Timbulnya peristiwa 10 Mei ini kata Jaksa ternyata telah disiapkan terlebih dahulu yang mengakibatkan benar-benar menyimpang seperti yang dikemukakan oleh terdakwa di depan siding ialah demi menginsyafkan mahasiswa Tionghoa ITB yang dikatakan sombong dan kurang ajar. 

Maka untuk semua perbuatannya ini Jaksa Djoko Muljo menuntut hukuman untuk DK 7 tahun penjara  dan diperintahkan segera masuk penjara.

Selain DK, Jaksa R Harlianto telah menuntut hukuman masing-masing 4 tahun pejara untuk terdakwa Sis (Siswono), AK dan MN (Muslimin Nasution). Ketiga mahasiswa ini telah turut serta dalam peristiwa 10 Mei serta turut mengadakan rapat-rapat gelap sebelum terjadinya peristiwa tersebut.  Mereka ini selain telah turut serta dalam perkelahian   dengan mahasiswa-mahasiswa di kampus ITB juga telah dituduh telah melakukan pembakaran, pelemparan kaca-kaca toko milik orang Tionghoa di Kota Bandung.

Selain itu pula Jaksa Harlianto merasa keberatan dengan adanya saksi ahli Dr Marlad Dekan Fakultas Psikologi Unpad  yang telah menyatakan tentang terjadinya kejadian Peristiwa 10 Mei ditinjau dari segi psikologi massa. Hal ini menurut jaksa akurang faedahnya dan tak menimbulkan pengaruh yang berguna bagi tuntutan jaksa.

Sementara Jaksa Mohamas Jusup juga menjatuhkan hukuman terhadap 6 orang mahasiswa , masing-masing TP dan DJ dituntut hukuman penjara 4 tahun, Su 3 tahun potong dalam masa tahanan, Sp dan PM (Unpad) masing-masing 3 dan 2 tahun penjara segera masuk (3)

Kedua pembela terdakwa ini ialah Paul Mudigdo SH -Kriminolog UI dan Husen SH telah meminta sidang diundurkan satu bulan untuk mengajukan pembelaan.

Menariknya sekalipun dalam tahanan, Muslimin Nasution terdaftar menjadi Ketua Dewan Mahasiswa ITB.  Pada Juli 1964 Dewan Mahasiswa ITB ditadatangani Ketua Umumnya M Nasution dan Sekretarisnya Adi Sasono mengeluarkan pernyataan agar Pemerintah dalam hal ini Departemen PTIP mengeluarkan peraturan yang tegas  tentang penertiban kegiatan organisasi mahasiswa ekstra universitas/akademi maupun institut, serta menempatkannya di bawah pimpinan universitas. Dengan demikian Dewan Mahasiswa adalah satu-satunya organisasi perwakilan mahasiswa yang sah.

Dalam pernyataannya DM ITB meminta setiap mahasiswa mendahulukan loyalitas kepada organisasi mahasiswa intra universitas  dan Garba Ilmiahnya daripada organisasi ekstra universitas onderbouw partai politik, serta mendahulukan loyalitas kepada ideologi negara Pancasila dan haluan negara Manipol RI, serta Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno daripada isme-isme ideologi kepartaian tertentu. 

"Mahasiswa sebagai salah satu kekuatan sosial dalam revolusi agar menjalankan fungsi social control dan social support melalui saluran organisasi  yang wajar serta secara sadar dan tertib  sesuai dengan hakekat dan martabat mahasiswa sebagai kader revolusi yang berpendidikan tinggi." (4)

Tampaknya pernyataan ini, sekalipun tidak menyebut secara spesifik ditujukan kepada CGMI yang semakin agresif di kampus-kampus.  DM ITB menyatakan kekhawatirannya manuver yang dilakukan organisasi ekstra universitas akan membawa kehancuran organisasi perwakilan mahasiswan dan membuat kemerosotan martabat mahasiswa seluruhnya.  

Dalam pernyataan itu disebutkan nama Muslimin Nasution (Teknik Mesin) dan Mahasiswa Teknik Sipil  ITB bernama Adi Sasono.

Muslimin Nasution adalah mahasiswa yang pertama kali ditangkap dan menjalani sidang bersama AK dan siswono pada 13 Januari 1964 mendengar kesaksian STT (Sie Tay Chwan), mahasiswa keturunan Tionghoa yang berkelahi dengan Djok (Djoko Santoso) yang notabene adalah teman sekelasnya. Perkelahian itu dipicu oleh perebutan tempat duduk paling depan dalam bangku kuliah. Pada waktu itu pergantian ruang kuliah sangat jauh di areal luas iTB yang 30 Hektar. Mahasiswa Tionghoa yang umumnya memiliki sepeda motor jauh lebih cepat.

Deretan bangku paling depan langsung mereka "booking" dengan meletakkan buku, tas sbg tanda bahwa bangku tersebut sudah ada yang punya. Tempat duduk itu mereka sediakan utk tteman-teman keturunan  Tionghoa lainnya. Namun menurut STT  perkelahian itu karena dia merasa dihina waktu pratikum (5)

Adi Sasono pada waktu itu  menjadi   ketua HMI Cabang Bandung periode 1964-1965, kemudian menjadi ketua Dewan Mahasiswa ITB untuk periode 1965-1966, sempat pula menjadi sekjen Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) yang akan saya bahas di bawah (6).

Pada Kongres MMI di Malino April 1964 Dewan Mahasiswa ITB  (yang dipimpin Muslimin Nasution) dan juga UI (dipimpin Bakir Hasan) termasuk yang krtis terhadap dominasi GMNI di Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Ketika kongres di Malino pada April 1964 GMNI menguasai 18 dari 24 posisi, keduanya menolak hasil kongres, dengan alasan penghinaan terhadap dua lembaga perguruan tinggi yang paling tertua dan prestesius di Indonesia. Kedua DM ini keluar dari MMI (Latif, 2013, halaman 399). 


Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia

Sejak 1964 harian Pikiran Rakjat memberikan tempat bagi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia Cabang Bandung untuk menyalurkan bakatnya setiap hari Selasa.  Suatu langkah yang kelak mengasah kemampuan sejumlah aktivis mahasiswa di kota kembang. Beberapa di antara mereka menjadi tokoh penting pada tahun-tahun peralihan antara Orde Lama ke Orde Baru.

Saya menemukan nama Alex Rumondor. Salah satu tulisannya dimuat di  Pikiran Rakjat edisi Minggu 1 Maret 1964  bertajuk "5 Warsa Institut Teknologi Bandung: Milik Kota dan Bangsanya, Aktif dalam Pembangunan Semesta", almamaternya. 

Alex mengungkapkan  mengungkapkan dalam lima tahun ITB sudah menghasilkan lebih dari dua ribu sarjana, yaitu 1902 pria dan 172 perempuan  yang dibutuhkan dalam Pembangunan Semesta Berencana dan  mengerjakan 30 proyek pemerintah melalui lembaganya "Penyelidikan dan Afiliasi Industri ITB", seperti Proyek Bendungan Baranangsiang di Garut dan Jembatan Cisangkarung, Cirebon, serta Proyek Besi Baja Cilegon.  Bahkan mahasiswa ITB berhasil meluncurkan roket di Lapangan Batujajar

ITB mengadakan piagam  kerja sama dengan Daswati I Jawa Barat, Kotapraja Bandung, Jakarta, AURI, namun belum ada tindak lanjutnya.  ITB aktif dalam proyek militer untuk ALRI di Pangkalan Jati,

Dalam tulisannya disebutkan ITB sudah memiliki tujuh Fakultas, 21 Jurusan jumlah mahasiswa pada 1964 sebanyak 5.047.  Data yang menarik dari Alex ialah jumlah sarjana perempuan yang dihasilkan ITB sekalipun hanya 172 orang dan tidak sampai 10 persen dari jumlah sarjana dalam lima tahun, fenomena ini menarik bahwa jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi makin besar.

Alex juga mengungkapan soal pers yang dikelola mahasiswa dalam tulisannya berjudul "Antara PR dan IPMI: Antara Pers Umum dan Mahasiswa" dalam Pikiran Rakjat, 2 Juni 1964.  Disebutkan pers umum dikerjakan profesional dan pers mahasiswa dikerjakan amatir dengan tenaga yang tak dibayar,  namun dikecam habis-habisan oleh rekan mereka sendiri yang tidak bekerja.  Namun diberi kesempatan IPMI mengasuh halaman mahasiswa di Pikiran Rakjat memberikan kemajuan bagi mahasiswa yang ekonomi lemah, tetapi moril kuat untuk menyebar gagasannya.

Pada  Pikiran Rakjat, edisi 21 Juli 1964 Alex Rumondor menulis "Ingin Djadi Mahasiswa? Pikirkan Djurusan Jang Dipilih"  Semakin boomingnya perguruan tinggi dan semakin banyaknya jurusan, Alex mengingatkan agar lulusan SMA mempertimbangkan bakat dan minatnya, kemauan membaja tentunya juga kesehatan hingga sosial ekonomi.

Dia juga mengingatkan untuk masuk semua jurusan di ITB-kecuali seni rupa- memerlukan lulsan SMA Bagian B (IPA)  dengan intelegensi yang tajam untuk matematika, fisika, kima dan fak eksakta lainnya.  Selain menulis kemahasiswaan Alex juga menulis artikel berkisar soal lingkungan hidup seperti "Banjir dan Kemarau" pada Pikiran Rakjat 7 Juli 1964.

Pers Mahasiswa Perempuan

IPMI juga melahirkan sejumlah penulis perempuan.  Pikiran Rakjat edisi 23 Juni 1964 memuat tulian Toeti Permana bertajuk "Perlukah Biro Keputrian? Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.  Penulis penyebutkan IPMI Cabang Bandung kegiatan Pekan Kader yang digelar 19 April lalu mengejutkan IPMI se-Indonesia, pasalnya diperkenalkan Biro Keputrian bertepatan dengan peringatan Hari Kartini.

Penulis menjawab pertanyaan apakah biro keputrian diperlukan  karena perjuangan emansipasi tidak merupakan soal lagi?

Toeti mengatakan, masih banyak persoalan wanita (tidak menggunakan kata perempuan)  yang harus diselesaikan, seperti wanita dalam perkawinan, posisi wanita dalam politik, ekonomi dan sosial, hingga bidang ilmiah dan teknologi.  

Selain itu Biro Keputrian ini memberikan kesempatan bagi mahasiswi untuk terjun ke dunia pers dan jurnalistik, baik koran, radio maupun TVRI.  Menurut Toeti lagi Biro Keputrian mengikutsertakan mahasiswa putri dalam kancah perjuangan bangsa yang sedang berevolusi, di dalam usaha mencapai masyarakat adil dan makmur, di dalam mengemban amanat penderitaan rakyat dan dalam usaha mengganyang musuh revolusi seperti  proyek neo kolonialisme Malaysia.

Kita tidak menghendaki wanita-wanita seperti sebagian bintang Hollywood, kita menghendaki wanita-wanita seperti Ibu Kartini, Dewi Sartika, Rohana Kudus dan Walandow di Indonesia, wanita-wanita seperti  Madame Curie, Laksmi Pandit, Helen Keller....

Anggota IPMI Bandung lainnya Retno Dee Moertono menimpali dalam tulisannya bertajuk "Sekali Lagi Keputrian" dalam Pikiran Rakjat 30 Juni 1964, pembentukan Biro Keputrian menanggapi perubahan minat kaum wnaita di dunia pers. Kalau pada 1950-an masih sedikit, maka pada 1960-an pada coatching IPMI terjadi perubahan. Sayangnya Retno tidak menyebut berapa mahasiwi yang terlibat dalam pelatihan.  Namun ia hanya menuturkan Biro Keputriaan menyalurkan minat mahasiswi menulis.

Pada Pikiran Rakjat 4 Agustus 1964 Retno Dee Moertono juga menulis "Mahasiswi Tentang Wanita dalam Pembinaan Bangsa" intinya mengungkapkan peran positif mahasiswi seperti civic mission ke desa dan bergotong royong dengan penduduk, memperkuat home front agar tidak mudah tergoyahkan oleh musuh dan konfrontasi kebudayaan di New York World Fair di Amerika Serikat (7).

Pandangan Retno ini senada dengan laporan Pikiran Rakjat, edisi Minggu 5 Juli 1964 mengungkapkan selama berlangsungnya New York Affair sekitar 30 ribu pengunjung datang setiap hari.  Pertunjukan tari dari berbagai daerah bergantian seperti dari Jawa Barat, Sumatera, Jawa Tengah, Bali hingga sajian kuliner berbagai daerah.  Konduktor angklung dari Jawa Barat Daeng Soetigna juga diberikan kesempatan untuk tampil.

Irvan Sjafari

Catatan Kaki:

  1. Pikiran Rakjat, 9 Januari 1964
  2. https://nasional.kompas.com/read/2015/11/25/15000011/Guru.Sing.Digugu.lan.Ditiru..?page=all  harian Kompas edisi 25 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Guru, 'Sing Digugu lan Ditiru'".
  3. Pikiran Rakjat, 8 Mei 1964
  4. Pikiran Rakjat,  11 Juli 1964
  5. Pikiran Rakjat, 13 Januari 1964, Hasroel Mochtar dalam Mereka dari Bandung dan yang dikutip oleh https://superhalaman.wordpress.com/2007/11/10/untuk-mei-98-and-63/, juga https://socio-politica.com/tag/peristiwa-10-mei-1963/ 
  6. Anif Punto Utomo, Selamat Jalan Sang Penggerak, Republika 15 Agustus 2016
  7. New York Fair digelar pada 22 April hingga 18 Oktober 1964. Paviliun, yang didasarkan pada sketsa oleh Presiden Indonesia Sukarno, berisi pameran tentang sejarah bangsa, sumber daya dan program sosial. Berbagai aspek kehidupan di Jawa, Sumatra dan Bali ditampilkan, dan ada demonstrasi boneka dan kerajinan tangan.  dirancang oleh R. M. Sudarsono, arsitek Istana Negara di Bali. Gerbang kuil dan kuil berdiri di luar bangunan utama. Di dalam, foto-foto menggambarkan sejarah negara itu, sumber daya alam dan program sosial saat ini, dan berbagai aspek kehidupan di pulau-pulau besar di Bali, Jawa dan Sumatra juga ditampilkan. Ada karya seni (termasuk koleksi boneka besar), demonstrasi kerajinan tangan, toko suvenir, dan restoran dengan hiburan. Lihat: http://www.nywf64.com/indones01.shtml.  Pameran Dunia New York Dunia tahun 1964/1965 mengadakan lebih dari 140 paviliun, 110 restoran, untuk 80 negara (diselenggarakan oleh 37 negara), 24 negara bagian AS, dan lebih dari 45 perusahaan untuk membangun pameran atau atraksi di Flushing Meadows Park di Queens, New York lihat https://en.wikipedia.org/wiki/1964_New_York_World%27s_Fair

 

Sumber Sekunder:

Latif, Yudi, Genealogi Intelegensia: Pengetahuan dan Kekuasaan Intelegensia Muslim Abad XX, Jakarta, Pernada Group, 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun