Muslimin Nasution adalah mahasiswa yang pertama kali ditangkap dan menjalani sidang bersama AK dan siswono pada 13 Januari 1964 mendengar kesaksian STT (Sie Tay Chwan), mahasiswa keturunan Tionghoa yang berkelahi dengan Djok (Djoko Santoso) yang notabene adalah teman sekelasnya. Perkelahian itu dipicu oleh perebutan tempat duduk paling depan dalam bangku kuliah. Pada waktu itu pergantian ruang kuliah sangat jauh di areal luas iTB yang 30 Hektar. Mahasiswa Tionghoa yang umumnya memiliki sepeda motor jauh lebih cepat.
Deretan bangku paling depan langsung mereka "booking" dengan meletakkan buku, tas sbg tanda bahwa bangku tersebut sudah ada yang punya. Tempat duduk itu mereka sediakan utk tteman-teman keturunan  Tionghoa lainnya. Namun menurut STT  perkelahian itu karena dia merasa dihina waktu pratikum (5)
Adi Sasono pada waktu itu  menjadi  ketua HMI Cabang Bandung periode 1964-1965, kemudian menjadi ketua Dewan Mahasiswa ITB untuk periode 1965-1966, sempat pula menjadi sekjen Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) yang akan saya bahas di bawah (6).
Pada Kongres MMI di Malino April 1964 Dewan Mahasiswa ITB Â (yang dipimpin Muslimin Nasution) dan juga UI (dipimpin Bakir Hasan) termasuk yang krtis terhadap dominasi GMNI di Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Ketika kongres di Malino pada April 1964 GMNI menguasai 18 dari 24 posisi, keduanya menolak hasil kongres, dengan alasan penghinaan terhadap dua lembaga perguruan tinggi yang paling tertua dan prestesius di Indonesia. Kedua DM ini keluar dari MMI (Latif, 2013, halaman 399).Â
Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia
Sejak 1964 harian Pikiran Rakjat memberikan tempat bagi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia Cabang Bandung untuk menyalurkan bakatnya setiap hari Selasa. Â Suatu langkah yang kelak mengasah kemampuan sejumlah aktivis mahasiswa di kota kembang. Beberapa di antara mereka menjadi tokoh penting pada tahun-tahun peralihan antara Orde Lama ke Orde Baru.
Saya menemukan nama Alex Rumondor. Salah satu tulisannya dimuat di  Pikiran Rakjat edisi Minggu 1 Maret 1964  bertajuk "5 Warsa Institut Teknologi Bandung: Milik Kota dan Bangsanya, Aktif dalam Pembangunan Semesta", almamaternya.Â
Alex mengungkapkan  mengungkapkan dalam lima tahun ITB sudah menghasilkan lebih dari dua ribu sarjana, yaitu 1902 pria dan 172 perempuan  yang dibutuhkan dalam Pembangunan Semesta Berencana dan  mengerjakan 30 proyek pemerintah melalui lembaganya "Penyelidikan dan Afiliasi Industri ITB", seperti Proyek Bendungan Baranangsiang di Garut dan Jembatan Cisangkarung, Cirebon, serta Proyek Besi Baja Cilegon.  Bahkan mahasiswa ITB berhasil meluncurkan roket di Lapangan Batujajar
ITB mengadakan piagam  kerja sama dengan Daswati I Jawa Barat, Kotapraja Bandung, Jakarta, AURI, namun belum ada tindak lanjutnya.  ITB aktif dalam proyek militer untuk ALRI di Pangkalan Jati,
Dalam tulisannya disebutkan ITB sudah memiliki tujuh Fakultas, 21 Jurusan jumlah mahasiswa pada 1964 sebanyak 5.047. Â Data yang menarik dari Alex ialah jumlah sarjana perempuan yang dihasilkan ITB sekalipun hanya 172 orang dan tidak sampai 10 persen dari jumlah sarjana dalam lima tahun, fenomena ini menarik bahwa jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi makin besar.
Alex juga mengungkapan soal pers yang dikelola mahasiswa dalam tulisannya berjudul "Antara PR dan IPMI: Antara Pers Umum dan Mahasiswa" dalam Pikiran Rakjat, 2 Juni 1964. Â Disebutkan pers umum dikerjakan profesional dan pers mahasiswa dikerjakan amatir dengan tenaga yang tak dibayar, Â namun dikecam habis-habisan oleh rekan mereka sendiri yang tidak bekerja. Â Namun diberi kesempatan IPMI mengasuh halaman mahasiswa di Pikiran Rakjat memberikan kemajuan bagi mahasiswa yang ekonomi lemah, tetapi moril kuat untuk menyebar gagasannya.