Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

MRT Jakarta Masih Solusi Parsial

31 Maret 2019   00:32 Diperbarui: 31 Maret 2019   06:30 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangga, gembira dan penuh harapan pada  satu sisi dan pada sisi lain prihatin,  marah  dan khawatir. Demikian yang saya rasakan dan sekaligus sikap saya ketika pertama kali menumpang Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta pada Kamis 27 Maret 2019. 

Dari stasiun Lebak Bulus MRT yang saya tumpangi berangkat pukul 11:21 dan tiba di Bundaran HI pukul 11:48.  Berarti hanya 27 menit. Penjaga pintu masuk ke kereta api yang saya tanya tidak membual bahwa: Anda sampai paling lama 30 menit. 

Bangga, akhirnya ada moda  transportasi yang nyaman, terkesan modern, cepat, sikap petuasnya ramah bahkan tingkat petugas kebersihan sekalipun mau membantu penumpang yang butuh inforasi.  Menurut beberapa penumpang yang saya ajak ngobrol dan berapa teman yang saya kontak menyebut belum menyamai Singapura, tetapi sudah mendekati. 

"AC-nya sejuk, lebih baik dari kereta komuter dan TransJakarta. Tetapi memang harganya mahal untuk ukuran mereka yang bergaji UMP atau ASN yang menengah. Mungkin maksudnya agar para pemilik mobil yang naik moda ini" ujar  seorang ibu rumah dari Depok.

Novi, seorang eksekutif kantoran bahkan mengusulkan agar tarifnya lebih mahal agar penumpang jadi terseleksi dan tidak berjubel.  Mereka yang berpenghasilan tinggi  akan tertarik apabila yang naik adalah  yang satu "kelas" dari segi pendidikan dan kepatutan di publik, seperti di Singapura.

Awalnya saya menolak segragasi ini.  Karena yang butuh transportasi nyaman itu justru rakyat jelata. Orang yang berpenghasilan seperti saya hanya kalau perlu saja menggunakan MRT. Tetapi  ada Transjakarta yang lumayan, kereta komuter juga lumayan. Itu untuk mereka yang berpenghasilan tidak tinggi.

Kalau tidak saya salah menangkap, gagasannya adalah  MRT untuk para eksekutif dan orang-orang  berpenghasilan di atas Rp10 juta. Jumlah mobil akan berkurang karena akan diikuti kebijakan ERP (Electronic Road Pricing) dan parkir mobil di kawasan Sudirman-Thamrin saat ini juga sudah mahal dan kemungkinan pajak juga naik. 

Gembira.  Sekalipun saya hanya mampu beberapa kali sebulan dan kalau perlu saja naik MRT,tetapi  setidaknya ada "hiburan baru".  Memang sama dengan ibu-ibu yang bawa anak-anaknya sewaktu digratiskan.  Jumat 29 Maret 2019 dari HI saya jumpa seorang kakek berdiri menggendong cucunya dan saya juga ikut berdiri karena jam pulang kantor  penumpang penuh.

"Tidak  mengapa hanya 30 menit kan?" ucap kakek itu.

Linda, seorang rekan saya ketika diberikan gambar gerbong MRT yang tak ubahnya seperti kereta komuter di jam pulang, juga bilang: Di Singapura pada  waktu rush hour juga begitu. Iya, sih yang penting  tidak selama kereta komuter. Saya tidak yakin kalau tarif Rp14  ribu (maksimal) diterapkan  apakah sebanyak itu.   

Penuh Harapan. Jalan akan lebih renggang dan TransJakarta akan lebih lancar karena mobil tidak akan lagi masuk ke bus way, seperti yang terjadi selama ini.  Program angkot Oke Oce Pemprov DKI Jakarta sudah meluas, paling tidak Pondok Labu-Blok M, Lebak Bulus-Pondok Labu, Lebak Bulus-Andara, itu yang saya lihat. Tinggal apakah akan diintegrasikan seperti janji Gubernur Aneis  Baswedan ke mana-mana Rp5.000.

Metromini dan Kopaja tinggal menghitung hari.  Selama 2019 ini saya tidak sekalipun mengendarai angkutan umum ini.   Kedua moda ini menyusul oplet, bemo, trem menjadi sejarah transportasi kota. 

Angkot di Jakarta saya prediksi akan bergabung dengan Oke Oce, kecuali yang dari suburban Jakarta sampai  titik tertentu dan pekerjaan timer yang suka pungut uang di jalan dan terminal itu pelan-pelan lenyap dan hanya di kawasan  tertentu untuk angkutan yang bukan dari Jakarta.  

Sebenarnya  pekerja timer ini ada Perdanya nggak? Atau perusahaan angkutan umum punya  aturannya.  Saya tidak mau suhudzon.  Sekalipun  sejumlah sopir yang saya ajak obrol mengeluh.

Prihatin.  MRT ini bisa awet atau tidak? Jadi tanda tanya besar. Baikfisikmodanya maupun perilaku penggunanya. Belum apa-apa saja sudah ada perilaku yang tidak terpuji. Waktu saya naik petugas melarang soerang  ibu melepas anaknya bersender di pintu pembatas yang  sensitif. Untung  dijagain kalau anak itu jatuh?

Apakah masyarakat  Jakarta siap berdisiplin  dan  taat aturan di MRT juga  harus diuji. Di kereta komuter saja sudah  ada larangan  duduk di lantai, masih ada yang duduk kalau  tidak ada petugas.  Mungkin di MRT, TransJakarta hingga kereta komuter aman. Nah, keluar dari  situ?  Langsung berjumpa ketidaknyamanan.  Jadi  MRT baru penyelesaian parsial. 

Suasana dalam stasiun MRT-Foto: Irvan Sjafari
Suasana dalam stasiun MRT-Foto: Irvan Sjafari
Marah.  Sejak digaungkan pertengahan 1980-an yang saya  baca, tetapi menurut wawancara saya dengan seorang DPRD DKI Jakarta untuk sebuah majalah berita pada 1998 ide MRT baru  bergaung era 1990-an ide MRT. Yang membuat saya marah  kok baru sekarang terwujud? Paling tidak semacam TransJakarta  seharusnya sudah ada sejak 1980-an.

Kesannya tim  yang rancang tata kota Jakarta  (juga kota lain)  ini tidak mementingkan infrastuktur dan jaringan transportasi dulu baru bangun perkantoran, apartemen dan pemukiman. Paling  tidak menghitungnya.  Bukan sebaliknya  bangun pusat  bisnis dulu kalau sudah  ramai baru bangun transportasinya. Orang kaya kan punya mobil.  

Sama kan dengan pengembang bikin hunian jaringan jalannya tidak dibangun diharapkan akan dibangun pemerintah. 

Lalu  biaya transportasi jadi berapa?  Jangan sampai memakan lebih  dari 10 persen dari penghasilan.  Itu kata seorang pakar tata kota.  UMP di DKI Jakarta Rp3,6  juta. Jangan sampai biaya  25 hari kerja lebih  dari Rp360 ribu. 

Jika dia tinggal di Depok jauh dari stasiun, naik angkot  ke stasiun Rp4.000. Naik kereta  komuter Rp4.000. Ke kantornya naik Trans  Rp3.500.  Pulang pergi  Rp23.000.  Sebulan dia habis lebih dari Rp500  ribu.  Lebih dari 10 persen penghasilannya.

Waktu  tempuh  lama lagi karena macet. Itu sebabnya banyak yang naik  motor bensin dua liter untuk tiga hari. Jangan salahkan motor banyak dan bikin macet jalan. Karena naik motor itu irit.      

Saya butuh Rp500 ribuan sebulan ketika  berkantor di Senen. Mau Trans Jakarta atau kereta komuter tidak pengaruh. Lama di jalan.

 Khawatir  kalau target membuat sebagian besar warga Jakarta beralih ke transportasi  umum pada 2030 meleset.  Karena persoalannya bukan saja pada transportasi, tetapi bagaimana ceritanya kok para pebisnis lebih  suka  berkantor di pusat kota dan tidak disebar. 

Yang lebih mengkhawatirkan lagi dan masih tanda tanya apa mau para anggota DPR/DPRD, pejabat  pemerintah naik transportasi umum untuk memberi contoh? Jangan-jangan memiliki mobil masih  jadi simbol  apa yang dikatakan Soemarsaid Soemartono dalam sebuah bukunya waktu kuliah dulu sebagai  kultus kemegahan. Kalau  tidak punya rumah mewah atau mobil jadi pejabat  atau anggota parlemen kurang berwibawa.

Mau nggak pejabat Peprov DKI Jakarta dan anggota  DPRD yang tinggal di sekitar Lebak Bulus naik MRT dan turun di HI lalu  sambung Transjakarta  ke Kebon  Sirih? 

 Apa iya MRT akan diikuti  oleh  kebijakan pembatasan jumlah pemilikan mobil. Satu  keluarga  cukup satu mobil.  Mobil kedua pajaknya besar.  Apa iya ERP jadi dijalankan? Industri otomotif akan teriak kalau memiliki mobil dipersulit.  

Apa mau pemilik rumah produksi di televisi (juga film) kasih contoh tokoh utamanya naik MRT, TransJakarta, bukannya naik mobil  untuk mengkonstruksi pemirsanya naik kendaraan umum itu keren. Sebab  para  pesohor   juga memberi contoh.

Saya  tidak yakin  para pesohor itu mau naik MRT di dunia nyata sekalipun sudah  serapi di Singapura karena privasi dan perilaku orang di sekitarnya masih sama saja. Kerap norak dan usil.

Pada akhirnya MRT saat ini baru hanya solusi parsial. Tetapi daripada tidak dimulai sama sekali, ya harus  disambut baik.  Selamat datang MRT (Irvan Sjafari).                   

     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun