Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

MRT Jakarta Masih Solusi Parsial

31 Maret 2019   00:32 Diperbarui: 31 Maret 2019   06:30 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penuh Harapan. Jalan akan lebih renggang dan TransJakarta akan lebih lancar karena mobil tidak akan lagi masuk ke bus way, seperti yang terjadi selama ini.  Program angkot Oke Oce Pemprov DKI Jakarta sudah meluas, paling tidak Pondok Labu-Blok M, Lebak Bulus-Pondok Labu, Lebak Bulus-Andara, itu yang saya lihat. Tinggal apakah akan diintegrasikan seperti janji Gubernur Aneis  Baswedan ke mana-mana Rp5.000.

Metromini dan Kopaja tinggal menghitung hari.  Selama 2019 ini saya tidak sekalipun mengendarai angkutan umum ini.   Kedua moda ini menyusul oplet, bemo, trem menjadi sejarah transportasi kota. 

Angkot di Jakarta saya prediksi akan bergabung dengan Oke Oce, kecuali yang dari suburban Jakarta sampai  titik tertentu dan pekerjaan timer yang suka pungut uang di jalan dan terminal itu pelan-pelan lenyap dan hanya di kawasan  tertentu untuk angkutan yang bukan dari Jakarta.  

Sebenarnya  pekerja timer ini ada Perdanya nggak? Atau perusahaan angkutan umum punya  aturannya.  Saya tidak mau suhudzon.  Sekalipun  sejumlah sopir yang saya ajak obrol mengeluh.

Prihatin.  MRT ini bisa awet atau tidak? Jadi tanda tanya besar. Baikfisikmodanya maupun perilaku penggunanya. Belum apa-apa saja sudah ada perilaku yang tidak terpuji. Waktu saya naik petugas melarang soerang  ibu melepas anaknya bersender di pintu pembatas yang  sensitif. Untung  dijagain kalau anak itu jatuh?

Apakah masyarakat  Jakarta siap berdisiplin  dan  taat aturan di MRT juga  harus diuji. Di kereta komuter saja sudah  ada larangan  duduk di lantai, masih ada yang duduk kalau  tidak ada petugas.  Mungkin di MRT, TransJakarta hingga kereta komuter aman. Nah, keluar dari  situ?  Langsung berjumpa ketidaknyamanan.  Jadi  MRT baru penyelesaian parsial. 

Suasana dalam stasiun MRT-Foto: Irvan Sjafari
Suasana dalam stasiun MRT-Foto: Irvan Sjafari
Marah.  Sejak digaungkan pertengahan 1980-an yang saya  baca, tetapi menurut wawancara saya dengan seorang DPRD DKI Jakarta untuk sebuah majalah berita pada 1998 ide MRT baru  bergaung era 1990-an ide MRT. Yang membuat saya marah  kok baru sekarang terwujud? Paling tidak semacam TransJakarta  seharusnya sudah ada sejak 1980-an.

Kesannya tim  yang rancang tata kota Jakarta  (juga kota lain)  ini tidak mementingkan infrastuktur dan jaringan transportasi dulu baru bangun perkantoran, apartemen dan pemukiman. Paling  tidak menghitungnya.  Bukan sebaliknya  bangun pusat  bisnis dulu kalau sudah  ramai baru bangun transportasinya. Orang kaya kan punya mobil.  

Sama kan dengan pengembang bikin hunian jaringan jalannya tidak dibangun diharapkan akan dibangun pemerintah. 

Lalu  biaya transportasi jadi berapa?  Jangan sampai memakan lebih  dari 10 persen dari penghasilan.  Itu kata seorang pakar tata kota.  UMP di DKI Jakarta Rp3,6  juta. Jangan sampai biaya  25 hari kerja lebih  dari Rp360 ribu. 

Jika dia tinggal di Depok jauh dari stasiun, naik angkot  ke stasiun Rp4.000. Naik kereta  komuter Rp4.000. Ke kantornya naik Trans  Rp3.500.  Pulang pergi  Rp23.000.  Sebulan dia habis lebih dari Rp500  ribu.  Lebih dari 10 persen penghasilannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun