Dalam "Perang Bintang " ini penonton tuan rumah begitu memihak dan terkesan pada penampilan Aneka Nada. Band ini sudah tujuh tahun berdiri dan kerap memenangkan kontes musik. Di antara personelnya terdapat nama Guntur Sukarno, putra dari Presiden RI.
Pimpinan Aneka Nada bernama Syamsudin, berusia 21 tahun, mahasiswa jurusan Seni Rupa ITB tingkat III. Personel lainnya di barisan penyanyi ialah Acil alias Dermawan baru saja lulus SMA dan akan memasuki Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Memed di Fakultas Sospol Unpad tahun ke II, Jessy juga di Jurusan Seni Rupa ITB Tahun ke II, serta Alfon baru lulus SMA.
Dua nama yang pertama kelak dikenal dalam blantika musik Indonesia sebagai Sam dan Acil Bimbo. Sam dn Acil awalnya tampil dalam Band Alulas pada akhir 1950-an. Band Alulas pernah masuk dapur rekaman dengan singlenya "Buka Pintu", "Helo Dayung," "Sepasang Mata Bola". Menurut Sumarsono (1998) Alulas ini cikal bakal Aneka Nada, karena nama Alulas berbau Barat.
Sementara di barisan instrumen terdapat nama Iwan, di posisi gitaris, mahasiswa ITB Jurusan Teknik Kimia tingkat III, Guntur di posisi gitar waktu itu mahasiswa Teknik Mesin ITB, Indradi mahasiswa Matematika, ITB, serta satu lagi juga bernama Iwan baru lulus SMA.
Selain Sam dan Acil dari Aneka Nada ini kelak dikenal nama Iwan Abdulrachman pencipta lagu "Melati dari Jayagiri".
Sumarsono (1998) juga menyebut Aneka Nada bersaing dengan Hot Jumper personelnya kebanyakan dari Ambon dan Manado, Rudi Rosady dengan El Dolores Combo.
Band Aneka Nada ini juga tampil dalam sebuah pertunjukan yang disebut Malam Baju Bodo juga medio September di Hotel Homman.
Aneka Nada adalah fenomena menarik dari sejarah musik Bandung yaitu keterlibatan mahasiswa dari perguruan tinggi terkemuka dalam blantika musik, dari kelompok sosial apa yang saya sebut sebagai "neo menak', yaitu mereka yang pernah kuliah dan lulusan perguruan tinggi yang marak di Bandung sejak pertengahan1950-an.
Yang menarik mereka mampu mengatur kuliah dan bermain musik dengan baik. Mereka menyatakan musik hanya hobi.
Catatan Musik Nasional Menjelang Akhir 1963
Di tengah semakin marak dan dinamisnya musik Indonesia muncul kabar mengejutkan, ketika Radio Republik Indonesia (RRI) mengeluarkan instruksi kepada semua RRI cabang untuk mencekal penyiaran lagu "Semalam di Malaya" yang dilantunkan oleh penyanyi kesayangan Kota Bandung yang hijrah ke Jakarta Sam Saimun dan Said Effendy.
Seperti yang dikutip dari Pikiran Rakjat 17 Oktober 1963, Lagu itu dituding terlalu memuja kemegahan Malaya-yang saat itu Indonesia sedang melakukan politik konfrontasi-seperti penyair yang melantunkan dendang asmara.