Senin pagi, 23 Januari 1950 sekitar dua puluh hingga tiga puluh truk berisi orang-orang berpakaian tentara Belanda memasuki kota Bandung dari Jurusan Cimahi.
Pemandangan yang biasa bagi warga Bandung, karena kerap terjadi selama Perang Kemerdekaan. Penyerahan Kedaulatan pada 29 Desember 1949 yang secara resmi mengakhiri perang lebih membuat penduduk tidak merasa hal aneh, karena sedang dalam masa transisi.
Tetapi setibanya di Jalan Braga orang-orang bersenjata lengkap itu berloncatan turun dan melepas tembakan dengan gencar. Para penduduk pun lari tungang-langgang. Namun di antara para saksi mata melihat jelas serdadu yang memakai tanda APRA.
Sementara rombongan APRA yang lain berjalan kaki, naikjip dan motorfites berjumlah sekitar 500 orang mengadakan steling di gang-gang dan melepas tembakan ke atas dan ada pula yang ditujukan pada berapa rumah. Pos polisi sepanjang Jalan Cimindi, Cibereum dilucuti.
Di jalan Perapatan Banceui dalam kota seorang TNI yang mengendarai jip dan tidak bersenjata diberhentikan, dipaksa turun dan angkat tangan kemudian ditembak mati. Mayatnya ditinggalkan.
Di Jalan Braga depan Apotek Rethkamp sebuah sean dihentikan, tiga pemumpangnya disuruh turun, Seorang Letnan TNI tanda pangkatnya diambil kemudian ditembak mati, dua sipil dibawa dengan truk.
Di depan Hotel Preanger sebuah truk berisi tiga orang TNI ditembaki hingga oleng dan melanggar tiang listrik sampai tumbang. Truk itu terguling. Tembak menembak terjadi di Jalan Merdeka di mana 10 serdadu TNI berguguran. Di perempatan Suniaraja-braga tujuh orang TNI tidka bersenjata mengendarai truk ditembaki dari muka dan belakang.
Perlawanan cukup hebat terjadi di Kantor Staf Kwartir Divisi Siliiwangi Oude Hospitalweg. Sebanyak 15 serdadu TNI dipimpin Letkol Sutoko berjuang melawan ratusan serdadu APRA. Pertempuran selama setangah jam dilakukan hingga peluru habis. Letkol Sutoko dan Letkol Abimanyu dan seorang perwira lain berhasil meloloskan diri.
Letkol Lembong dan ajudannya sebetulnya baru datang ke markas Siliwangi tidak menduga sudah diduduki tentara APRA. Ia baru sja berangkat dari rumahnya. Pada saat hendak masuk mobilnya ditembaki. Lembong dan ajudannya Leo Kailola gugur dan mayatnya dirusak.
Pasukan APRA yang kemudian diketahui didalangan Kapten Raymond "Turk" Westerling menghilang menjelang petang. Beredar kabar bahwa yang terlibat bukan saja tentara KNIL tetapi juga 150 tentara baret hijau tentara Belanda dan sebanyak 120 telah melaporkan diri pada komandan tentara Belanda di Bandung.
"Geledek di Waktu Terang" demikian salah satu judul berita Persatuan Termasuk Harian Padjadjaran edisi 24 Januari 1950. Buku Profil Jawa Barat terbitan Kementerian Penerangan 1953 menyebutkan, 79 anggota TNI dan 6 sipil gugur dalam peristiwa tersebut. Namun hanya 61 orang yang bisa diidentifikasi.
Keterlibatan Perwira-perwira Belanda dalam Kekacauan
Sebetulnya niat jahat dari Raymond "Turk" Westerling sudah bisa diindetifikasikan beberapa minggu sebelum pembantaian 23 Januari 1950 tersebut. Sejak 1949, Westerling lebih mirip seorang petualang setelah diberhentikan dari dinas militer. Pada akhir tahun itu ia memproklamirkan dirinya sebagai Ratu Adil , dalam mitologi Jawa dan Sunda tokoh yang turun dari langit untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Persatuan Termasuk Harian Padjadjaran edisi 10 Januari 1950 memberitakan pasukan yang menamakan dirinya Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dipimpinan bekas Kapten Raymon Westerling menuntut agar hanya pasukan APRA yang menjadi pasukan resmi di Negara Pasundan.Â
Dalam surat kepada Pemerintah Negara Pasundan dan RIS, Westerling menyatakan menyetujui hasil Konferensi Meja Bundar juga menyetujui penyerahan kedaulatan pada RIS, tetapi tidak menyetujui pembubaran negara Pasundan yang katanya tidak sesuai dengan kehendak rakyat.Â
Persatuan edisi 12 Januari 1950 juga memuat wawancara Westerling dengan wartawan H Van Maurik dari Katholieke Gewestelijke Pres di negeri Belanda, bahwa ia adalah pimpinan RAPI (Ratu Adil Persatuan Indonesia) yang mempunyai APRA. Westerling mengklaim 24 organisasi perjuangan Indonesia ada di bawah pengaruhnya. Bahkan banyak dari kesatuan Darul Islam mengadakan hubungan dengan dirinya.
Para peninjau asing yang berada di Jakarta mengecam ultimatum yang dilakukan Westerling. Mereka menilai seorang warganegara asing begitu berani melakukan ultimatum terhadap negara yang berdaulat. Persatuan 16 Januari 1950 menyebut, para peninjau asing juga menyebut seorang pejabat Negara Pasundan berani mengadakan hubungan dengan Westerling walau secara tidak resmi.
Para peninjau asing mengusulkan agar warga negara asing yang melakukan tindakan seperti itu harusnya diusir. Komisaris Tinggi Belanda dr Hirsenfield juga mencela tindakan Westerling dan konco-konconya. Dia juga melarang anggota tentara Belanda berhubungan dengan Westerling.
Persatuan edisi 20 Januari 1950 menyebutkan, Westerling tampaknya terinspirasi pada aksi yang dilakukan Perwira Inggris Lawrence of Arabia pada masa Perang Dunia ke I sebagai pahlawan menghasut negara-negara Arab memberontak melawan Turki. Pada masa itu Turki beraliansi dengan Jerman melawan Inggris. Namun sebetulnya niat Lawrence bukan demi kepentingan negara Arab tetapi untuk kepentingan ekonomi negara-negara Barat.
Westerling sendiri memang lahir di Turki, peranakan ibu berkebangsaan Turki dan ayah berkebangsaan Belanda pada 1919. Westerling memasuki dinas militer pada 1941 di Kanada. Pada 1946 dia memimpin pasukan khusus di Sulawesi Selatan dan menjadi dalang pembantaian 40 ribu jiwa. Harian "De Waarheid" di Belanda menurunkan berita bulan Juli tahun 1947, isinya tentang kekejaman Westerling yang dinilai sama dengan kekejaman pasukan Jerman di PD II.
Bukan hanya di Sulawesi Selatan Westerling juga melakukan pembunuhan terhadap penduduk Jawa Barat di Tasikmalaya dan Ciamis pada 1948. Westerling kemudian diberhentikan dari dinas militer Belanda.
Persatuan edisi 20 Januari 1950 kembali menyebutkan Westerling menjalin hubungan dengan Darul Islam Kartosuwiryo. Hal ini dibantah Jusuf Wibisono, seorang politisi Masyumi bahwa DI Westerling berbeda dengan DI asli.
Cornelius Van Dijk dalam bukunya Darul Islam Sebuah Pemberontakan,(Jakarta, 1987, halaman 92) juga menyinggung adanya pertemuan rahasia antara Westerling dengan Kartosuwiryo sekitar sepuluh hari sebelum penyerangan Bandung. Dalam pertemuan itu APRA akan menyerang berapa kota besar di Jawa Barat dan TII akan menyerang pos-pos TNI di luar kota.
Selain itu disebutkan beberapa serdadu APRA bergabung dengan Darul Islam. Beberapa tahun kemudian digelar pengadilan terhadap dua serdadu Belanda Jungschalaber dan Henricus  Schmidt dengan tuduhan menyelundupkan senjata untuk Darul Islam.Â
Menurut Saksi Haris bin Suhaemi, kurir dari Kartosuwiryo mengakui ada pertemuan antara Westerling dan Kartosuwiryo di Hotel Preanger. Van Dijk mengatakan, memang ada peningkatan serangan Darul Islam hampir bersamaan dengan penyerangan 23 Januari 1950, namun tidak pernah terjadi serangan massal yang dilakukan Darul Islam.
Kasus Jungschalaber dan Schmidt secara tak langsung diungkapkan Presiden Sukarno dalam pidatonya di Gubernuran Jawa Barat pada 10 November 1955. Seperti yang dirilis Pikiran Rakjat, 11 November 1955, Sukarno mengingatkan adanya usaha subversif hendak menggulingkan Republik Indonesia.
Sukarno menyebutkan mendapatkan dokumen adanya gerakan bawah tanah dengan tujuan itu. Isu itu menjadi pembicaraan di surat kabar karena bersamaan dengan pengadilan terhadap sejumlah orang Belanda yang diduga membantu gerakan Darul Islam.
Mereka adalah orang-orang NIGO ( Nederlandsch Indische Guerilla Organisatie), semacam pasukan geriliya orang-orang Belanda yang tidak rela melepas Indonesia.
Dalam sidang Kamis 25 Agustus 1955 mendengarkan keterangan saksi bernama Zwartjes Hendrik Wolter , 33 tahun warganegara Indonesia keturunan Belanda yang mengaku anggota NIGO menyebutkan adanya dropping senjata dari udara di Gunung Tangkubanparahu pada malam hari dalam Juli 1950.
Schmidt divonis hukuman 15 tahun penjara pada Oktober 1956. Setelah tiga tahun mendekam di balik jeruji besi, dia dibebaskan dan langsung dipulangkan ke Belanda. Apa yang dituduhkan kepada kemudian tidak terbukti. Pada 1961 Schmidt menulis buku berjudul In de Greep van Soekarno (Dalam Cengkeraman Soekarno).
Pikiran Rakjat edisi 23 Maret 1959 membenarkan pada 18/19 Maret 1959 Kapten Marinir Scmidt dibebaskan dari penjara setelah menjalani masa penahanan lima tahun. Hukuman seumur hidup dikurangi lima tahun tetapi mantan perwira militer Belanda itu tidak disukai dan diusir dari wilayah Indonesia.
Satu-satunya perwira Belanda yang terbukti berada di pihak Darul Islam ialah seorang pegawai pemerintah kolonial, sekaligus polisi dan tentara bernama Van Kleef bergabung pada awal Februari 1951 dengan NII, kendati tetap memeluk Katolik.
Dia ikut kesatuan TII ke daerah Cianjur pada Juni 1951. Keterlibatan Van Kleef di semua literature sejarah mengenai Darul Islam, baik Van Dijk, Karl Jackson, serta Hendi Jo dalam sebuah tulisan di Historia pada 24 Januari 2018.
Gerakan APRA berantakan dalam waktu sehari. Pada 24 Januari 1950 satuan-satuan Siliwangi merebut kembali Bandung. Menurut Indoneianis Ulf Sundhaussen dalam bukunya Politik Militer Indonesia 1945-1967, pada tahap kedua Westerling berencana menangkap anggota kabinet federal dan membunuh Sultan Hamengkubuwono IX, serta menangkap Presiden Sukarno Namun rencana ini gagal. Pasukan Siliwangi sudah disiapkan di pinggir kota.
Persatuan 26 Januari 1950 memberitakan sebanyak 250 orang pemberontak APRA berpakaian seperti TNI ditangkap pada 25 Januari. Sebuah gudang senjata di Kramat, Jakarta digrebek. Terjadi tembak menembak mengakibatkan satu serdadu TNI Luka berat dan tiga luka ringan, Senjata yang ditemukan terdiri dari owens gun, sten Johnson, serta berapa kendaraan.
Pemerintah Belanda di Den Haag mengumumkan bahwa pasukan belanda tidak ikut campur dalam peristiwa itu. Dari kalangan militer Belanda didapat kabar bahwa sekitar 300 serdadu Belanda yang melakukan desertir menyerahkan diri.
Ketika menyadari gerakannya gagal, Westerling memutuskan untuk melarikan diri ke Jakarta. Pengawal setianya Pim Colsom dan dua anggota polisi Indonesia yang membelot menyertai pelarian Westerling. Mereka menggunakan tiga mobil yang ia tumpangi secara bergantian di tiap titik tertentu.
Hendy Jo dalam sebuah tulisannya di Historia 25 Februari 2016 mengutip sejarawan Salim Said, yang bercerita sesampai di Jakarta, Westerling hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satunya adalah rumah milik seorang Belanda di bilangan Kebon Sirih. Bahkan di tengah pelariannya itu, ia pun dikabarkan sempat bertemu beberapa kali dengan Sultan Hamid II, salah seorang simpatisan gerakan APRA.
Awal Februari 1950, salah satu pendukung kuat Westerling dari kalangan mantan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), Letnan Kolonel Rappard tewas dalam suatu pengepungan oleh kesatuan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Jakarta. Perwira KNIL ini merupakan sekutu Westerling yang berencana untuk menangkap pemimpin RIS di Jakarta.
Tewasnya Rappard pukulan telak buat Westerling. Rencananya gagal total. Dia memutuskan untuk lebih cepat melarikan diri ke luar Indonesia. Maka disusunlah sebuah rencana pelarian yang melibatkan beberapa pejabat tinggi militer dan sipil Belanda.
Westerling kemudian melarikan diri ke Singapura dengan bantuan sebuah pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dari Singapura ini kemudian Westerling dilarikan ke Belanda secara diam-diam. Pelarian westerling jelas merupakan konspirasi petinggi militer Belanda. Upaya ekstradiksi Westerling tidak pernah berhasil.
Apa maunya Westerling, serta para desertir militer Belanda lainnya terlibat dalam kekacauan di Jawa Barat awal 1950-an? Bukankah aksi APRA justru mempercepat pembubaran Negara Pasundan? Bukankah keterlibatan perwira Belanda dalam Darul Islam memperburuk citra militer Belanda sebagai "tidak rela" Indonesia merdeka?
Jangan-jangan niat mereka hanya satu: untuk mempertahankan kepentingan ekonominya, seperti perkebunan.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H