Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Yang Salah Itu Budaya Patriarki, Bukan Vanessa Angel

10 Januari 2019   00:49 Diperbarui: 10 Januari 2019   15:05 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana opini Anda menanggapi sikap aparat, media, dan masyarakat dalam fenomena kasus prostitusi online ini? Demikian pertanyaan dari Kompasiana yang sebetulnya sudah pernah saya tulis beberapa waktu yang silam, menyangkut kasus yang nyaris sebangun dengan sekarang dan secara umum jawaban kira-kira sama.

Saya hanya mengupdate perkembangan terbaru karena ini pertama menyangkut Vanessa Angel, artis yang pernah saya wawancarai sekitar delapan atau sembilan tahun yang silam. Ketika ia itu kesan saya polos dan ramah. Pada waktu itu saya mendengar cerita dari ayahnya, bahwa Vanessa dibesarkan dengan orangtua yang single parent, tanpa ibu.

Menjadi ayah single parent sebetulnya lebih berat dari ibu yang menjadi single parent. Begitu juga dengan anak yang dibesarkan dengan ayah single parent kondisi psikologisnya berbeda dengan sebaliknya. Kecuali kalau kakak perempuan sudah besar, bisa menjadi pengganti ibu.

Perlu penelitian psikolog lebih dalam. Tapi psikolog yang pernah saya wawancarai, seingat saya bilang kalau ada pengganti ayah dari paman untuk ibu yang orangtua tunggal dan pengganti ibu untuk ayah yang orangtua tunggal anak bisa normal. Bagaimana kalau tidak?

Kedua, saya memakai kata pekerja bukan profesi. Saya baru ngeh, hal ini penting setelah di Facebook seorang senior yang juga dosen di sebuah Fakultas Ilmu Komunikasi di Bandung mengingatkan antara pekerja dan profesi berbeda. Mereka yang terlibat di dunia prostitusi tidak layak profesi. Senior saya itu kecewa masih ada wartawan yang memakai kata profesi untuk pelacur atau prostitusi.

Saya mulai dari artisnya dulu. Artis yang bekerja sambilan menjadi pelacur atau prostitusi bukan hal yang baru. Cerita itu sudah saya dengar sewaktu menjadi mahasiswa pada 1980-an dan lebih rinci lagi sewaktu menjadi wartawan pada 1990-an.

ilustrasi Magadalene.co https://magdalene.co
ilustrasi Magadalene.co https://magdalene.co
Kemudian sejak sudah kenal perpustakaan jadi tahu bahwa affair antara pejabat dengan artis sudah ada sejak 1950-an. Bukan hal yang baru. 

Hanya saja cara mucikari memasarkan berbeda, karena pada masa lalu belum ada teknologi. Tetapi substansinya sama karena didesak oleh gaya hidup. Celakanya, gaya hidup era milenial ini makin meningkat, karena perlu tampil dengan tas branded atau swafoto di tempat wisata, untuk Instagram dan semacam dan itu adalah eksistensi.

Salah dong kalau itu, artisnya atau perempuannya untuk mengejar gaya hidup melibatkan diri di dunia prostitusi. Oh, tidak. Siapa yang mengkonstruksi pikiran mereka bahwa tampil dengan tas branded atau baju branded harga jutaan itu keren. Ya, kapitalisme. Siapa yang dominan di kapitalisme, ya laki-laki atau patriarki. Lah, bagaimana bisa terkonstruksi, kan media juga yang mengkonstruksi, termasuk media untuk perempuan. 

Satu-satunya kesalahan perempuan dalam hal ini ialah (sebagian) mereka sendiri juga tunduk pada budaya patriarki dan kapitalisme. Padahal mampu melawannya, seperti artis itu. Padahal wacana kemandirian perempuan mudah didapat dari internet (yang memang budaya literasi lemah). Itu saya tanya dalam tulisan saya sebelumnya yang saya kutip di sini

Perempuan dalam memilih suami juga kerap mempertimbangkan secara materi harus di atas dirinya (sekali pun dia juga perempuan karir dan mampu mandiri secara ekonomi). Lebih banyak mana perempuan yang menggugat cerai karena suaminya mengalami kesulitan ekonomi atau tidak mampu memberi nafkah atau karena melawan hegemoni laki-laki seperti melakukan "Kekerasan Dalam Rumah Tangga?" (KDRT). Jangan lupa perempuan penggemar Cinderella Syndrome, seperti Pretty Women, Telenova dengan pria kaya sebagai orang baik dan penyelamat memperkukuh hal itu.

Jarang saya lihat perempuan kaya bersuami kan pria yang miskin dan baik hati. Berapa banyak perempuan yang ingin seperti Katniss, tokoh dalam The Hunger Games atau prior dalam Divergent yang merdeka? 

Berkaitan dengan artis yang "nyambi" sebagai prostitusi mengingatkan saya pada tokoh Diva dalam novel Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, karya Dewi "Dee" Lestari. Dalam novel itu Diva, seorang modael papan atas menganggap prostitusi sebagai perdagangan biasa dan dia melakukannya dengan merdeka.

Sekarang aparat hukum seperti polisi dan sebagainya. Sudahlah, mereka berdalih karena Undang-undang tidak memberikan ketentuan bahwa pemakai jasa prostitusi tidak bisa dijerat hukum. Kecuali kalau yang laki-laki itu punya pasangan sah, baru bisa dibidik pasal zina. Itu juga delik aduan. Kalau begitu minta dong kepada DPR untuk dibuatkan Undang-undang agar pemakai jasa PSK bisa dihukum. Apakah anggota dewan yang terhormat itu mau? 

Kalau begitu tinggal media yang menjadi benteng terakhir keadilan. Wartawan bisa menayangkan wajah pemakai jasa PSK dalam razia yang dilakukan polisi? Mengekspos mereka, termasuk juga dalam kasus prostitusi online. Media yang bisa bertindak adil. Masalahnya artis itu public figure dan lebih menjual? Begitu juga PSK yang perempuan. Selain itu ada kekhawatiran berhadapan dengan hukum, kalau pemakai jasa itu orang kaya dan berpengaruh, bisa digugat sebagai pencemaran nama baik.

Para pembaca (jujur termasuk saya) sudah terlanjur terkonstruksi (di antaranya karena budaya patriarki) untuk mencari tahu siapa sih artis berinisial itu? Cantik nggak sih? Walaupun dalam hati kecil sudah ada pembaca laki-laki yang sadar bahwa itu tidak adil bagi perempuannya. 

Berkaitan hal ini saya teringat seorang senior wartawan juga ketika memberikan pengarahan pada kami sekitar 2004 atau 2005 yang masih saya ingat, awas wartawan jangan menulis berkaitan dengan privasi. Affair seorang pejabat dengan artis tidak elok diangkat ke media, karena itu privasi. Tetapi lain ceritanya kalau uang yang digunakan uang korupsi.

Bill Clinton jadi sorotan media bukan karena Monica Lawensky, tetapi berbohong di bawah sumpah. Kata senior itu.

Saya pernah menggugat soal privasi selebritas ini, mau selingkuh, terlibat prostitusi bukankah itu privasi kepada redaktur saya. Bukankah profesi lain seperti wartawan, misalnya juga ada yang affair? "Oh, tidak dengan profesi lain. Karena artis itu public figur, dia menarik, " jawab dia. Dalam hati kecil, saya tidak setuju.

Oh, ya media juga yang menjadikan perempuan sebagai obyek dan perempuan juga ada yang sadar menerimanya untuk top seperti model majalah (media dewasa) memamerkan tubuhnya. Termasuk juga media perempuan (yang baca juga ada yang laki-laki). Itu juga menjawab mengapa perempuan berpakaian seksi jadi alasan untuk diperkosa? 

Ya, memang secara langsung tidak boleh dijadikan alasan. Tetapi bukankah dengan menampilkan lekuk-lekuk tubuh perempuan oleh media secara tak langsung membenarkan dan mengkonstruksi pikiran berkaitan seksualitas? Manusia itu spesies juga seperti hewan lain punya berahi. Yang membedakan ialah manusia punya kontrol (drive), semakin tinggi kontrol dirinya semakin tinggi hakekat kemanusiaannya. Itu saja.

Sekarang masyarakatnya. Saya setuju dengan beberapa teman perempuan di media sosial bahwa yang paling disesalkan ialah kata seperti Rp80 juta jadi bahan guyonan dan secara tak langsung kalau yang mengikuti memojokan. Bahkan dikait-kaitkan juga dengan Pilpres 2019. Tapi untungnya ada yang bersikap kritis menanyakan mengapa laki-laki pemakai jasa PSK tidak diungkap dan untungnya ada yang laki-laki di antara yang kritis itu bahkan ada yang berani bilang I am Vanessa Angel. Jadi ada pergeseran. 

Satu-satunya pertanyaan saya untuk Vanessa Angel, mengapa harus minta maaf di depan media? Dia kan tidak merugikan publik.

Ya, sudah begitu saja pandangan saya. Kalau mau diskusi mangga, sok atuh. Mungkin pandangan saya salah dan perlu dicerahkan atau diluruskan. Saya terbuka pada kritik.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun