Berkaitan dengan artis yang "nyambi" sebagai prostitusi mengingatkan saya pada tokoh Diva dalam novel Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, karya Dewi "Dee" Lestari. Dalam novel itu Diva, seorang modael papan atas menganggap prostitusi sebagai perdagangan biasa dan dia melakukannya dengan merdeka.
Sekarang aparat hukum seperti polisi dan sebagainya. Sudahlah, mereka berdalih karena Undang-undang tidak memberikan ketentuan bahwa pemakai jasa prostitusi tidak bisa dijerat hukum. Kecuali kalau yang laki-laki itu punya pasangan sah, baru bisa dibidik pasal zina. Itu juga delik aduan. Kalau begitu minta dong kepada DPR untuk dibuatkan Undang-undang agar pemakai jasa PSK bisa dihukum. Apakah anggota dewan yang terhormat itu mau?Â
Kalau begitu tinggal media yang menjadi benteng terakhir keadilan. Wartawan bisa menayangkan wajah pemakai jasa PSK dalam razia yang dilakukan polisi? Mengekspos mereka, termasuk juga dalam kasus prostitusi online. Media yang bisa bertindak adil. Masalahnya artis itu public figure dan lebih menjual? Begitu juga PSK yang perempuan. Selain itu ada kekhawatiran berhadapan dengan hukum, kalau pemakai jasa itu orang kaya dan berpengaruh, bisa digugat sebagai pencemaran nama baik.
Para pembaca (jujur termasuk saya) sudah terlanjur terkonstruksi (di antaranya karena budaya patriarki) untuk mencari tahu siapa sih artis berinisial itu? Cantik nggak sih? Walaupun dalam hati kecil sudah ada pembaca laki-laki yang sadar bahwa itu tidak adil bagi perempuannya.Â
Berkaitan hal ini saya teringat seorang senior wartawan juga ketika memberikan pengarahan pada kami sekitar 2004 atau 2005 yang masih saya ingat, awas wartawan jangan menulis berkaitan dengan privasi. Affair seorang pejabat dengan artis tidak elok diangkat ke media, karena itu privasi. Tetapi lain ceritanya kalau uang yang digunakan uang korupsi.
Bill Clinton jadi sorotan media bukan karena Monica Lawensky, tetapi berbohong di bawah sumpah. Kata senior itu.
Saya pernah menggugat soal privasi selebritas ini, mau selingkuh, terlibat prostitusi bukankah itu privasi kepada redaktur saya. Bukankah profesi lain seperti wartawan, misalnya juga ada yang affair? "Oh, tidak dengan profesi lain. Karena artis itu public figur, dia menarik, " jawab dia. Dalam hati kecil, saya tidak setuju.
Oh, ya media juga yang menjadikan perempuan sebagai obyek dan perempuan juga ada yang sadar menerimanya untuk top seperti model majalah (media dewasa) memamerkan tubuhnya. Termasuk juga media perempuan (yang baca juga ada yang laki-laki). Itu juga menjawab mengapa perempuan berpakaian seksi jadi alasan untuk diperkosa?Â
Ya, memang secara langsung tidak boleh dijadikan alasan. Tetapi bukankah dengan menampilkan lekuk-lekuk tubuh perempuan oleh media secara tak langsung membenarkan dan mengkonstruksi pikiran berkaitan seksualitas? Manusia itu spesies juga seperti hewan lain punya berahi. Yang membedakan ialah manusia punya kontrol (drive), semakin tinggi kontrol dirinya semakin tinggi hakekat kemanusiaannya. Itu saja.
Sekarang masyarakatnya. Saya setuju dengan beberapa teman perempuan di media sosial bahwa yang paling disesalkan ialah kata seperti Rp80 juta jadi bahan guyonan dan secara tak langsung kalau yang mengikuti memojokan. Bahkan dikait-kaitkan juga dengan Pilpres 2019. Tapi untungnya ada yang bersikap kritis menanyakan mengapa laki-laki pemakai jasa PSK tidak diungkap dan untungnya ada yang laki-laki di antara yang kritis itu bahkan ada yang berani bilang I am Vanessa Angel. Jadi ada pergeseran.Â
Satu-satunya pertanyaan saya untuk Vanessa Angel, mengapa harus minta maaf di depan media? Dia kan tidak merugikan publik.