Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sampah Plastik, Antara Regulasi, Gaya Hidup, dan Kreativitas

1 Januari 2019   13:20 Diperbarui: 2 Januari 2019   11:13 1606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kantong plastik pertama kali dikenal di Indonesia, setidaknya pada awal 1960-an. Saya melihat sepotong iklan mempromosikan menggunakan kantong plastik di Pikiran Rakjat masa itu. Namun hingga 1970-an awal seingat saya penggunaan kantong plastik untuk berbelanja belum populer. Sewaktu kecil saya kerap menemani ibu berbelaja di pasar tradisional membawa keranjang dan pulang membawa banyak bungkusan kertas atau daun. 

Baru ketika pusat berbelanjaan modern muncul awal 1980-an, seperti Aldiron Plaza di Blok M, Jakarta kantong plastik mulai marak dan dianggap praktis dan menjadi solusi melindungi barang dari terpaan air hujan dan debu hingga lebih mudah dibawa.

Apa yang tadinya menjadi solusi menjadi bencana ketika diketahui sampah plastik membawa dampak bagi lingkungan karena sampah yang tidak bisa diurai. Jumlahnya juga makin membesar dengan presentase yang mengkhawatirkan dibanding sampah organik

Kota bandung, misalnya. Setiap hari warga Kota Bandung menghasilkan 1.600 ton sampah. Sekitar30 persen sampah non organic, di antaranya sekitar 100 hingga 150 ton merupakan sampah plastik, sampah yang tidak mudah terurai di tanah. Pemerintah kota Bandung sedang mempersiapkan Peraturan Wali Kota terkait dengan larangan pengunaan bahan plastik di pusat perbelanjaan.

Peraturan tidak akan mudah berjalan mengingat sulit mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah terlanjur menganggap kantong plastik solusi yang paling baik untuk membawa barang belanjaan dan paling mudah dibersihkan.

Namun saya kira penggunaan kantong plastik bisa lebih mudah digantikan dengan kantong berbahan olahan singkong atau jagung yang sedang digagas Pemkot Bandung.

Yang lebih sulit ialah penggunaan plastik untuk kebutuhan lain, seperti botol plastik untuk produk air mineral, misalnya praktis untuk dibawa dalam perjalanan dibanding dengan produk dari botol kaca. Kalau pecah tidak akan membawa risiko melukai penggunanya.

Solusi untuk itu bisa saja menggunakan botol air minum yang kerap harus diisi. Tetapi ketika habis, bagaimana mengisinya? Tetap saja membeli air mineral di warung, minimarket atau pasar swalayan.

Yang saya alami membawa botol air minum sediri solusi untuk perjalanan jangka pendek, misalnya seputar Jakarta, yang bisa mendapatkan akses air minum masak. Tidak untuk perjalanan antar kota yang panjang.

Tak mengherankan ketika saya hiking di kawasan Tahura Bandung atau Jayagiri, Lembang botol plastik air mineral atau minuman lain adalah sampah yang menjengkelkan.

Mengapa mereka tidak membawa saja botol plastik yang kosong dan membuangnya di tempat sampah yang tersedia? Berapa beratnya setelah kosong dan bisa dilipat?

Memang ada yang mencoba memang minimlaisir plastik. Siska Nirmala Puspitasari (31 tahun), warga Bandung yang berperang dengan plastik sekali pakai sejak 2012.

Pencinta alam ini membeli makanan dengan wadah yang ia bawa sendiri, menolak menggunakan sedotan, hingga berpertualang ke gunung tanpa memproduksi sampah.

"Saya memulai dengan membawa botol air minum ke mana-mana dan membawa kantong kain,"ujar Siska seperti dilansir Pikiran Rakyat edisi 4 Desember 2018, seraya mengatakan belajar menerima pelatihan dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi.

Siska mengaku awalnya sulit menyodorkan kantong kain lebih dulu kepada pedagang dan pramuniaga yang menawarkan kantong plastik. Kini untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari Siska menggunakan kantong kain,kantong jaring, hingga kalaupun kantong plastik digunakan berkali-kali.

Solusi lain dan lebih tepat setidaknya untuk sementara ialah apa yang dikatakan Direktur Utama PD Kebersihan Kota Bandung Deni Nurdyana Hadimin, beberapa di antaranya memiliki nilai ekonomis seperti botol plastik, kemasan makanan, maupun minuman yang bisa dibuat kerajinan tangan. Hal ini sudah banyak dilakukan oleh pencinta lingkungan.

Kreativitas dengan Sampah Plastik 

Di antara komunitas yang mencari solusi seperti yang digagas Deni ialah, Green Education Bandung (GEB) sejak 2010 menjalankan program kepedulian terhadap lingkungan hidup di Kota Bandung. Mereka prihatin terhadap masalah sampah umumnya, serta banyaknya limbah plastik dan kaca yang sulit terurai khususnya.

"Kami menjadikan limbah yang terurai ini menjadi bahan bernilai jual, seperti suvenir untuk pernikahan, tempat peralatan kosmetik, tempat lilin yang dijual dengan kisaran Rp5-10 ribu.Kami juga memborong botol plastik dan kaca dari pemulung," ujar Cie Cie Sari, salah seorang penggagasnya ketika saya hubungi sebagai jurnalis di sebuah media online beberapa waktu lalu.

GEB tidak hanya berhenti ubah sampah plastik jadi suvenir, tetapi juga mendirikan kafe untuk tempat pertemuan,pelatihan atau mereka yang ingin belajar lingkungan hidup di kawasan Sekeloa, Bandung.

Kafe ini menempati sebagian dari tempat kediaman Sarie menyediakan hidangan mulai dari sup iga hingga soto betawi. Namun yang menarik ada dinding tempat swafoto yang terbuat dari limbah. 

"Kafe ini berdiri delapan bulan yang lalu. Karena tempat saya menjadi tempat ngobrol mahasiswa hingga larut malam, maka akhirnya terlintas di pikiran untuk membuat kafe," ungkap alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan ini.

Perkarangan rumahnya juga diisi dengan kebun hidroponik yang terbuat dari botol plastik. Ke depannya Sarie berharap apa yang digagas ia dan kawan-kawannya menular ke masyarakat.

Dinding selfie dari limbah-Foto: Dokumentasi Pribadi.
Dinding selfie dari limbah-Foto: Dokumentasi Pribadi.
Sarie tidak sendirian. Persoalan sampah plastik juga menjadi problem di kota lain dan mendorong perempuan lain yang berbuat sebangun. Di Ambarawa, Deasy Esterina mendirikan Studio Desain Kreskros. 

Alumni Jurusan Arsitek Universitas Ciputra Surabaya ini menggandeng para ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya di kawasan Ambarawa untuk menggunakan limbah plastik sebagai bahan rajutan untuk membuat berbagai aksesoris hingga tas ransel.

"Limbah plastik dibersihkan terlebih dahulu sebelum dipotong-potong panjang membentuk utasan. Kemudian utasan ini digabung dengan benang serat organik, para perajin kami merajut lembaran-lembaran crochet satu per satu secara manual," ujar dara kelahiran 7 Desember 1990 beberapa waktu lalu ketika saya temui di Festival Ibu Hebat di Jakarta, awal Desember lalu.

Dikatakannya, dalam sebulan Kreskros memproduksi sekitar 200 tas ransel dan tas kerja dengan segmen milenial. Satu tas dibandroll Rp150 ribu hingga Rp200 ribu. 

Karena kreativitasnya Kreskros meraih tempat Ketiga untuk Inacraft Emerging Award pada 2018 dan mendapatkan kehormatan tampil di Jakarta Fashion Week 2018.

Deasy esterlina (kiri) dengan tas limbah plastik-Foto: Irvan Sjafari.
Deasy esterlina (kiri) dengan tas limbah plastik-Foto: Irvan Sjafari.
Hanya saja mereka yang punya kreativitas seperti ini jumlahnya tidak banyak dan harus berpacu dengan produksi sampah plastik yang terus membesar. 

Solusi lain ialah alternatif apa yang bisa menggantikan kantong plastik dan kalau bisa botol plastik masih ditunggu. Kalangan industri akan berhitung cost yang paling efesien bagi kepentingan mereka dan mengubah perilaku masyarakat jauh lebih sulit.

Irvan Sjafari
Foto-foto: Dokumentasi pribadi Sarie dan Irvan Sjafari
Sumber:
Pikiran Rakyat 16 November 2018,1 Desember 2018, 4 Desember2018
majalahpeluang.com I
majalahpeluang.com II

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun