Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sampah Plastik, Antara Regulasi, Gaya Hidup, dan Kreativitas

1 Januari 2019   13:20 Diperbarui: 2 Januari 2019   11:13 1606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang ada yang mencoba memang minimlaisir plastik. Siska Nirmala Puspitasari (31 tahun), warga Bandung yang berperang dengan plastik sekali pakai sejak 2012.

Pencinta alam ini membeli makanan dengan wadah yang ia bawa sendiri, menolak menggunakan sedotan, hingga berpertualang ke gunung tanpa memproduksi sampah.

"Saya memulai dengan membawa botol air minum ke mana-mana dan membawa kantong kain,"ujar Siska seperti dilansir Pikiran Rakyat edisi 4 Desember 2018, seraya mengatakan belajar menerima pelatihan dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi.

Siska mengaku awalnya sulit menyodorkan kantong kain lebih dulu kepada pedagang dan pramuniaga yang menawarkan kantong plastik. Kini untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari Siska menggunakan kantong kain,kantong jaring, hingga kalaupun kantong plastik digunakan berkali-kali.

Solusi lain dan lebih tepat setidaknya untuk sementara ialah apa yang dikatakan Direktur Utama PD Kebersihan Kota Bandung Deni Nurdyana Hadimin, beberapa di antaranya memiliki nilai ekonomis seperti botol plastik, kemasan makanan, maupun minuman yang bisa dibuat kerajinan tangan. Hal ini sudah banyak dilakukan oleh pencinta lingkungan.

Kreativitas dengan Sampah Plastik 

Di antara komunitas yang mencari solusi seperti yang digagas Deni ialah, Green Education Bandung (GEB) sejak 2010 menjalankan program kepedulian terhadap lingkungan hidup di Kota Bandung. Mereka prihatin terhadap masalah sampah umumnya, serta banyaknya limbah plastik dan kaca yang sulit terurai khususnya.

"Kami menjadikan limbah yang terurai ini menjadi bahan bernilai jual, seperti suvenir untuk pernikahan, tempat peralatan kosmetik, tempat lilin yang dijual dengan kisaran Rp5-10 ribu.Kami juga memborong botol plastik dan kaca dari pemulung," ujar Cie Cie Sari, salah seorang penggagasnya ketika saya hubungi sebagai jurnalis di sebuah media online beberapa waktu lalu.

GEB tidak hanya berhenti ubah sampah plastik jadi suvenir, tetapi juga mendirikan kafe untuk tempat pertemuan,pelatihan atau mereka yang ingin belajar lingkungan hidup di kawasan Sekeloa, Bandung.

Kafe ini menempati sebagian dari tempat kediaman Sarie menyediakan hidangan mulai dari sup iga hingga soto betawi. Namun yang menarik ada dinding tempat swafoto yang terbuat dari limbah. 

"Kafe ini berdiri delapan bulan yang lalu. Karena tempat saya menjadi tempat ngobrol mahasiswa hingga larut malam, maka akhirnya terlintas di pikiran untuk membuat kafe," ungkap alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun