Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sultan Ageng Tirtayasa Menjadikan Toleransi dan Multikultural Jadi Kekuatan

23 Desember 2018   03:05 Diperbarui: 23 Desember 2018   03:05 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banten, suatu hari dalam 1672. Permusuhan antara Kesultanan Banten dengan VOC di Batavia membuat para pedagang bangsa Barat di luar Barat juga menjadi tidak nyaman. Di  satu sisi  mereka juga bersaing dengan bangsa Belanda, di sisi lain mereka harus menjaga kepentingan orang-orangnya tidak saja hanya berdagang, tetapi juga secara sosial, misalnya untuk beribadat.

Jean Baptiste Guilhen melangkah dengan berlahan dengan rendah hati menghadap pengusaha Banten waktu itu Sultan Ageng Tirtyasa.  Pelaut Prancis ini sadar betul sebagai Ketua Loji yang mengepalai sekitar seratus orang Prancis, apa yang ia lakukan akan berakibat  buruk.  Guilhen diutus masyarakatnya meminta Sultan Ageng untuk mengizinkan seorang pastor untuk kebutuhan rohani orang-orang Prancis di sana. 

Di dalam pikirannya hal yang sulit didapat mengingat dia berada di wilayah sebuah Kesultanan Islam yang masyarakatnya sangat taat. Namun ia mendengar bahwa Sultan Ageng megizinkan orang Tionghoa membangun tempat peribadatannya, yaitu sebuah kelenteng di dalam kota dengan biarawannya.

Dia tahu hubungan orang Tionghoa dengan orang Banten sudah terjalin semenjak Kesultanan ini berdiri. Bahkan arsitek Masjid Banten adalah orang Tionghoa. Sultan Ageng pernah mempunyai seorang syahbandar keturunan Tionghoa bernama Kaytsu unt uk memulihkan perdagangan internasional

Ternyata, bukan saja Sultan Ageng mengizinkan orang-orang Prancis mendatangkan pastor, tetapi malah mengizinkan orang Prancis membangun tempat peribadatan orang Katolik di loji orang Prancis. Bahkan kalau perlu ruma kediaman Sultan bisa menjadi tempat persinggahan pastor yang didatangkan. Tidak ada masalah bagi pemerintah Banten dan Masyarakatnya.

Cerita di atas bukan dari sumber Banten, tetapi dari sumber Barat. Diungkapkan dalam buku karya Claude Guillot, Banten: Sejarah Peradaban Abad V-XVIII. Disebutkan terdapat lima bangsa Eropa yang mendiami Banten, yaitu Belanda, Inggris, Portugis, Prancis dan Denmark.

Cerita tersebut merupakan bukti bahwa Sultan Ageng Tirtayasa, lahir pada 1631,naik tahta pada umur 20 tahun, yaitu 10 Maret 1651, menggantikan kakeknya Sultan Abdul Mafakhir. Namanya sebenarnya Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Nama Tirtayasa diperoleh ketika dia memindahkan keratin ke dusun Tirtayasa.

Di masa pemerintahannya, Sultan Ageng Titayasa mengembangkan proyek besar kanalisasi kali Ciujung dan penataan tata ruang pemukiman dan pertanian di daerah Pontang dan Tanara kedua daerah ini berada di timur teluk Banten.

Percaya pada Pluralisme

Titik Pudjiastuti dalam bukunya Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten menyebutkan Sultan Abdul Fath (nama Sultan Ageng Tirtayasa) mengirim surat kepada Raja Denmark  Christian V pada 1670-an. Hal ini juga ditulis Voorhoeve dalam artikelnya berjudul "Two Malay Letters in The National Archives of Denmark" yang menyebutkan Sultan dan Syahbandar juga mengirim surat pada 1670-an kepada Raja Frederic III dari Denmark. Sultan menyebutnya sebagai Raja Kristen dalam suratnya.

Surat itu menyebutkan orang Denmark boleh menetap dan berdagang di Banten dan diberikan lahan, pengiriman 176 bahara lada melalui Kapten Adeler, hingga permintaan pembelian meriam, bedil dan peluru untuk pertahanan Banten, hingga tindakan curang yang dilakukan dua orang pedagang Denmark.

Sultan  juga mengirim surat pada 1675 kepada Raja Inggris Charles II. Utusan Banten bernama Ngabehi juga dikirim ke London pada 1682.

Hasan Muarif Ambary dan Jajat Burhanudin,dengan bukunya Menemukan peradaban: jejak arkeologis dan historis Islam Indonesia, 1998 juga mengatakan, pengusaha Muslim Banten mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman orang Tionghoa dan Eropa. Bahkan ada resimen non muslim ikut mengawal Sultan. Vihara bagi agama Buddha dengan nama Vihara Avalokitesvara berdiri sejak 1652. Letaknya hanya sekitar 800 meter dari Masjid Agung Banten. Kedua bangunan ini masih ada hingga sekarang

Sementara orang Asia yang berdiam berasal dari Tionghoa, Tamil, Moor, Persia, Benggala, Indochina, hingga suku-suku lain di Indonesia, dari Bali, Bugis, Mandar, Makassar, Melayu, yang datang berlindung ke Banten setelah negerinya diduduki Belanda. Dengan demikian Banten  menjadi kota kosmpolitan di Nusantara masa itu.

Menurut Mufti Ali, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Maulana Hasanudin, multikulturalisme benar-benar menjadi aset penting bagi kemajuan dan kesejahteraan Banten. Misalnya, jabatan Shahbandar atau kepala pelabuhan sebagai 'mesin uang Kesultanan' selama lebih dari 150 tahun yang dipercayakan kepada orang yang paling kompeten meskipun orang Asing.

Jabatan perdana menteri yang bertanggung jawab dalam pembuatan masterplan istana dan proyek perumahan masa itu diserahkan kepada orang Tionghoa. Berapa literatur juga menyebutkan etnik Tionghoa juga berjasa mengajarkan masyarakat Banten untuk bercocok tanam.

Pada masa pemerintahannya, Sultan Ageng membangun kanal-kanal Ciujung- Cidurian dengan penerapan Kincir Angin ( model di Amsterdam ) yang dipesan dari Batavia. Proyek ini untuk perluasan area pertanian ini dimulai tahun1671 hingga 1680-an. Sultan Ageng dengan pribadinya yang egaliter dan moralitasnya yang kuat mempercayakan kepada 2 orang Tionghoa ( Kiyai Ngabehi Kaytsu dan Kiyai Ngabehi Cakradana

Pada 1678 jumlah penduduk Banten masa itu sekitar 150 ribu jiwa termasuk wanita, anak-anak dan jompo, serta pemukim-pemukim berbagai bangsa.

Sultan menganggap mereka sebagai potensi yang dapat menjadi elemen kemajuan ekonomi perdagangan kesultanan Banten. Kecuali dengan  VOC yang bercokol di Batavia, Banten harmonis dengan tetangganya. Masyarakat Baduy di pedalaman selatan tidak diganggu.

Semangat keterbukaan, multikulturalisme, sikap toleransi, sistem zonasi pemukiman, dan sistem transportasi air yang dibangun oleh pemerintahan kesultanan Banten pada masa lalu adalah bentuk dari filosofi "Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis". Filosofi itu dapat diartikan "Membangun Kota dan Benteng dari bata dan batu karang".

Akhir dari Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Abdul Fathi punya dua orang putra, yakni Pangeran Gusti (Sultan Haji) dan Pangeran Purbaya. Putra mahkota adalah putranya yang tertua, Pangeran Gusti. Namun sebelum diserahi tanggung jawab selaku sultan muda, Pengeran Gusti dikirim ayahnya ke Tanah Suci, Makkah, guna menunaikan ibadah haji.

Sultan Ageng berharap Pengeran Gusti dapat melihat dari dekat perkembangan Islam di berbagai negara demi meluaskan wawasan bagi pengembangan agama di Banten. Selama Pengeran Gusti berada di Makkah, tugas-tugas pemerintahan untuk sementara dipercayakan kepada Pangeran Purbaya setelah Sultan Abdul Fathi mengundurkan diri.

Ketika Pangeran Gusti kembali ke Banten , ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Sayangnya Namun ketika melihat adiknya sukses menjalankan pemerintahan, timbul rasa cemburu. Hal ini memicu pertikaian antara Sultan Haji dan Pangeran Purbaya.  demikian pula antara Sultan Haji dan sultan. Sejak Sultan Abdul Fathi bertentangan dengan anaknya, beliau sering pergi ke dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang) dan mendirikan keraton baru.

Di luar itu tidak ada konflik yang berarti di kalangan masyarakat yang plural ini semasa Sultan Ageng Tirtayasa. Penguasa  Banten ini menugaskan pejabat Kadi untuk menyelesaikan masalah antar masyarakat. Bahkan Sultan menindak putranya sendiri, yaitu Sultan Haji ketika bertindak zhalim terhadap orang Tionghoa. Persoalannya ada VOC di Batavia yang tidak senang sebuah kerajaan yang bisa menghalangi hegemoni ekonominya. 

Pada 1680  Sultan Haji  tak bisa  lagi menahan " syahwat kekuasaan "-nya di Kesultanan Banten. Pada tahun tersebut banyak terjadi copot mencopot jabatan di kesultanan. Orang-orang kepercayaan Sultan Ageng sedikit demi sedikit disingkirkan oleh putra mahkota-nya sendiri.  Hal ini dimulai ketika Kiyai Ngabehi Kaytsu wfat pda  1674, dilanjutkan pencopotan Kiyai Ngabehi Cakradana ( Cek Ban Cut ), diteruskan pembuangan Kiyai Arya Mangunjaya ke Semangka, Lampung. 

VOC memanfaatkan permusuhan ayah dan anak itu dan perang pun pecah dan berakhir dengan digulingkannya Sultan Ageng pada1683, sekaligus hancurnya masyarakat  yang plural itu.

Menurut Barbara Watson Andaya dalam tulisannya "Islam and Christiany in South East Asia 1600-1700" mengungkapkan sejak awal sejumlah penguasa lokal melihat VOC sebagai racun, bagaikan percikan api yang membakar seluruh hutan. 

Kebencian terhadap tekanan ekonomi VOC meningkat, oposisi ini yang sering digembleng oleh para cendekiawan Muslim seperti Syekh Yusuf dari Makasar lebih ditujukan kepada VOC.  Tokoh ini kemudian bergabung dengan Sultan Ageng ketika terjadi perang dengan VOC pada 1680-an sekembalinya dari Mekah.  

Barbara menuturkan, secara hingga 1700 di semua kerajaan muslim toleransi untuk perbedaan agama tidak masalah bagi berbagai budaya Asia Tenggara. Tetapi ini secara substansial toleransi ini  telah dirusak oleh orang  Eropa yang punya maksud menegaskan dominasi politik dan ekonomi.

Irvan Sjafari

Sumber lain;

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun