Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sultan Ageng Tirtayasa Menjadikan Toleransi dan Multikultural Jadi Kekuatan

23 Desember 2018   03:05 Diperbarui: 23 Desember 2018   03:05 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sultan Ageng berharap Pengeran Gusti dapat melihat dari dekat perkembangan Islam di berbagai negara demi meluaskan wawasan bagi pengembangan agama di Banten. Selama Pengeran Gusti berada di Makkah, tugas-tugas pemerintahan untuk sementara dipercayakan kepada Pangeran Purbaya setelah Sultan Abdul Fathi mengundurkan diri.

Ketika Pangeran Gusti kembali ke Banten , ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Sayangnya Namun ketika melihat adiknya sukses menjalankan pemerintahan, timbul rasa cemburu. Hal ini memicu pertikaian antara Sultan Haji dan Pangeran Purbaya.  demikian pula antara Sultan Haji dan sultan. Sejak Sultan Abdul Fathi bertentangan dengan anaknya, beliau sering pergi ke dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang) dan mendirikan keraton baru.

Di luar itu tidak ada konflik yang berarti di kalangan masyarakat yang plural ini semasa Sultan Ageng Tirtayasa. Penguasa  Banten ini menugaskan pejabat Kadi untuk menyelesaikan masalah antar masyarakat. Bahkan Sultan menindak putranya sendiri, yaitu Sultan Haji ketika bertindak zhalim terhadap orang Tionghoa. Persoalannya ada VOC di Batavia yang tidak senang sebuah kerajaan yang bisa menghalangi hegemoni ekonominya. 

Pada 1680  Sultan Haji  tak bisa  lagi menahan " syahwat kekuasaan "-nya di Kesultanan Banten. Pada tahun tersebut banyak terjadi copot mencopot jabatan di kesultanan. Orang-orang kepercayaan Sultan Ageng sedikit demi sedikit disingkirkan oleh putra mahkota-nya sendiri.  Hal ini dimulai ketika Kiyai Ngabehi Kaytsu wfat pda  1674, dilanjutkan pencopotan Kiyai Ngabehi Cakradana ( Cek Ban Cut ), diteruskan pembuangan Kiyai Arya Mangunjaya ke Semangka, Lampung. 

VOC memanfaatkan permusuhan ayah dan anak itu dan perang pun pecah dan berakhir dengan digulingkannya Sultan Ageng pada1683, sekaligus hancurnya masyarakat  yang plural itu.

Menurut Barbara Watson Andaya dalam tulisannya "Islam and Christiany in South East Asia 1600-1700" mengungkapkan sejak awal sejumlah penguasa lokal melihat VOC sebagai racun, bagaikan percikan api yang membakar seluruh hutan. 

Kebencian terhadap tekanan ekonomi VOC meningkat, oposisi ini yang sering digembleng oleh para cendekiawan Muslim seperti Syekh Yusuf dari Makasar lebih ditujukan kepada VOC.  Tokoh ini kemudian bergabung dengan Sultan Ageng ketika terjadi perang dengan VOC pada 1680-an sekembalinya dari Mekah.  

Barbara menuturkan, secara hingga 1700 di semua kerajaan muslim toleransi untuk perbedaan agama tidak masalah bagi berbagai budaya Asia Tenggara. Tetapi ini secara substansial toleransi ini  telah dirusak oleh orang  Eropa yang punya maksud menegaskan dominasi politik dan ekonomi.

Irvan Sjafari

Sumber lain;

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun