Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1962, Pancawarsa Unpad dan Kasus Mochtar Kusumaatmadja

3 Desember 2018   18:00 Diperbarui: 3 Desember 2018   18:10 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemberitaan Pikiran Rakjat tentang Mochtar Kusumaatmadja-Foto: Repro Irvan Sjafari.

Aula Universitas Padjadjaran di Jalan Dipati Ukur, sejak pagi pada Senin 8 Oktober 1962 tidak saja dipenuhi ratusan para petinggi kampus, staf pengajar dan mahasiswa, tetapi juga sejumlah pejabat dan tokoh Republik Indonesia. Pada hari Universitas Padjadjaran merayakan lustrum (lima tahun) pertama, pada waktu itu juga disebut Pancawarsa Unpad.

Ketua I Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu pengetahuan) Brigjen Prof Dr Soemantri Hardjoprakorso memberikan sambutan atas Menteri PTIP. Soemantri mengatakan, perguruan tinggi haruslah menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan perubahan kebutuhan. "Hasil dari perguruan tinggi bukan hanya disertasi, tetapi baktinya kepada nusa dan bangsa dengan karya risetnya," ujar Soemantri.

Namun sosok yang paling menarik di antara yang hadir adalah tokoh pegerakan, Mr Muhammad Yamin dengan kondisi badan yang kurang sehat. Dia masih mampu memberikan dua buah buku kepada pimpinan Unpad bertajuk "Dari Proklamasi sampai Resopim" dan "Pembebasan Irian Barat". Dua buku yang membuktikan konsistensi kesetiannya pada Soekarno sejak awal Republik hingga masa pegerakan. Yamin adalah salah seorang yang terlibat dalam pendirian Unpad.

Pada acara itu, Yamin tampak berupaya tegar. Dalam sambutannya, dia menyatatakan, kekagumannya atas prestasi Unpad dalam berbagai bidang selama lima tahun, termasuk juga bidang olahraga. Di antaranya pada POM VI di Surabaya yang diikuti 65 universitas seluruh Indonesia. "Saya memberikan apresiasi kepada semua mahasiswa," katanya.

Kehadiran Yamin di Pancawarsa Unpad merupakan penampilan dia terakhir dimuka publik. Delapan hari kemudian pada 17 Oktober 1962 Yamin meninggal dunia di RSPAD Jakarta pada pukul 19.30.

Hingga perayaan Pancawarsa, tidak ada tanda-tanda yang menyolok bahwa kalangan kampus bersikap kritis terhadap pemerintah. Perjuangan merebut Irian Barat di mana mahasiswa Unpad lewat resimen mahasiswa menunjukkan partisipasinya dan sukses merayakan Asian Games pada 24 Agustus hingga 4 September 1962 menaikan nasionalisme ke puncaknya. Dukungan kalangan mahasiswa terhadap Soekarno begitu kuat.

Kegiatan mahasiswa lainnya yang mencolok, jauh dari politik. Pada akhir April 1962, Departemen Keputrian Senat Mahasiswa Unpad mengundang Rusjad Nurdin. Sekalipun dia pendiri Persis dan tokoh Masyumi, dia berceramah bukan soal politik, tetapi pernikahan di kalangan mahasiswa. 

Pada waktu itu mulai ada mahasiswa yang menikah. Hal ini menjadi persoalan karena kebutuhan seksual dengan dampaknya kepada kuliah yang sedang dijalani mahasiswa. Dalam ceramah Rusyad mengatakan tidak bertentangan dengan agama, namun membenarkan masa mahasiswa belum normal.

Perayaan pancawarsa juga dirayakan dengan pameran buku-buku ilmiah dari tujuh negara, di antaranya Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Rumania. Pameran ini di Aula Unpad dimulai pada 7 Oktober hingga 10 Oktober 1962 terbuka untuk umum. Mahasiswa Fakultas Ilmu Publististik merayakannya dengan unik dengan pawai di Kota Bandung pada 9 Oktober 1962 membagi-bagikan harian yang ada di Kota Bandung kepada warga. Selain itu juga digelar lomba olahraga antar fakultas . Rangkaian perayaan Lustrum ini ditutup pada Kamis, 11 Oktober 1962.

Menjelang perayaan lustrum Dekan Fakultas Ilmu Publististik Unpad Prof Dr Moestopo mengatakan, mahasiswa harus menyelesaikan revolusi (yang dicanangkan Bung Karno) dalam sidang 4 Oktober 1962 di depan Dewan Mahasiswa Unpad. Sekitar seminggu sebelumnya mahasiswa Fakultas Publistik juga merayakan masa perkenalannya di Pendopo Kabupaten Bandung dan dihadiri Bupati Memed Ardiwilaga pada 25 September 1962. Bahkan Unpad menjadi salah satu universitas pertama yang memberikan mata kuliah agama.

Sekalipun mahasiswa yang kuliah di Kota Bandung sudah mulai mengeluh dengan kenaikan harga buku. Dua surat pembaca kecil dari Hakim dengan alamat Jalan Lengkon dan Ahmad Fathullah di Majalengka mengeluhkan kenaikan hingga 200 persen mulai memberatkan mahasiswa.

Pemberhentian Mochtar Kusumaatmadja

Pada 25 Oktober 1962 GMNI Cabang Bandung didukung CGMI Cabang Bandung mengeluarkan pernyataan penolakannya atas Ketua Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja. Dalam kuliahnya di kampus Mochtar dituding anti Manipol dan menghina Sukarno. Pernyataan Bung Karno seorang sosialis musiman. Sukarno dalam disebut belum setara Nehru dianggap merendahkan Sukarno. Mochtar juga disebut memuji liberalisme.

Pemberitaan Pikiran Rakjat tentang Mochtar Kusumaatmadja-Foto: Repro Irvan Sjafari.
Pemberitaan Pikiran Rakjat tentang Mochtar Kusumaatmadja-Foto: Repro Irvan Sjafari.
Mochtar  menolak tuduhan itu.  Dia menyerahkan persoalan ini kepada pihak berwajib untuk melakukan pengusutan pihak bertanggung jawab yang melancarkan tuduhan itu  karena dianggap merugikan nama baiknya. 

Pembantu khusus PTIP juga Dekan Fakultas Publitistik Pro Dr Moestopo mengeluarkan pembelaan terhadap Mochtar. Dia menyebut Mochtar membantu RI dalam perkara tembakan di Bremen pada 1959.  Perkara ini menyangkut maskapai perkebunan Belanda dan Deutsch Indonesian Tabaks Handelagescellschalf.

Dia juga menjadi  anggota delegasi RI dalam konferensi hukum laut Jenewa di mana dia memperjuangkan prinsip Nusantara,  lebar laut 12 mil yang diprokamirkan pada 13 Desember 1957, padahal AS menekankan lebar laut 6 mil.  Mochtar juga mengajar di Lembaga Pendidikan Perwiara TNI, seperti Seskoad.

Presiden Unpad Soeria Soemantri meminta adanya clearing terhadap masalah ini.  Soeria meminta pihak berwajib melakukan pengusutan untuk menjernihkan masalah ini. Tuduh menuduh dan polemik, katanya tidak akan menjernihkan persoalan.

Penolakan terhadap Mochtar dari dua ormas mahasiswa yang kekuatan besar di Bandung menimbulkan suasana gelisah di kalangan mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Unpad.  Senat Mahasiswa Fakultas Huk um dan Pengetahuan Masyarakat didukung Dewan Mahasiswa Unpad  mengadakan pertemuan pada 6 November 1962 dan membantah tuduhan GMNI dn CGMI. Mochtar menurut  mereka justru orang yang setia pada Manipol .

Akhirnya pada Jumat 6 November 1962 Menteri PTIP Prof Dr Thoyib Hadiwidjaja mengeluarkan pernyataan,  memberhentikan Dr Mochtar Kusumaatmadja dari jabatannya sebagai Ketua Fakultas  Hukum dan Pengetahuan Masyarakat terhitung pada 5 November 1962.  Mochtar dituding melakukan sesuatu yang tidak patut, anti  Manipol dan menghina Pimpinan Besar  Presiden Sukarno dan Demokrasi Terpimpin. Mochtar kemudian menyerahkan jabatannya kepada Presiden Unpad Soeria Sumantri disaksikan Dewan Pimpinan unpad Judakusumah dan Prof DR Moetopo. Dewan Mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat juga mengeluarkan pernyataan agar mahasiswa tetap tenang.

Cukup aneh, Menteri PTIP malah mengeluarkan pernyataan kepada Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Unpad bahwa keputusan pemberhentian tidak ada hubungannya dengan pernyataan yang dikeluarkan GMNI dan CGMI .

Rosihan Anwar dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, Jakarta: Sinar Harapan, 1980  mengungkapkan, yang dipersoalkan oleh GMNI ialah pernyataan Mochtar ketika memberikan kuliah membandingkan Sukarno dengan Nehru. Mochtar menyebut, Nehru lebih berpengalaman dalam soal politik luar negeri. 

Aksi GMNI ini sampai ke telinga Presiden Sukarno  yang sedang berada di Tokyo, yang segera mengirimkan kawat kepada menteri PTIP Thoyib. Atas dasar telegram ini Mochtar  diminta meletakan jabatannya. Korps pengajar Unpad menjadi terkejut karena Presiden memberhentikan Mochtar  tanpa cek dan ricek.

Rosihan  menemui Mochtar di rumahnya pada pertengahan November 1962 bersama seorang kawannya.  Mochtar mengatakan, "Mengapa mereka begitu ribut mengenai saya?" sambil duduk di bangku di depan Rosihan dan kawannya, Soedjatmoko (Koko). Yang menjawab justru Koko,"Kau Cuma orang kecil bila dibandingkan dengan Sukarno."

Tercetus dalam pikiran Mochtar untuk menulis surat kepada Sukarno menjelaskan duduk perkaranya. Tetapi Koko menyarankan tidak melakukannya, agar jangan sampi timbul kesan Mochtar berjiwa peminta-minta (halaman 278).

Karir Mochtar Tidak Berakhir

Mochtar menjabat Ketua Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat pada 1961 didukung penuh oleh kalangan mahasiswa.  Pada Sabtu 14 April 1962 Mochtar meraih gelar Doktor di Unpas dengan promotor Iwa Kusumasumantri dengan disertasinya "Masalah Lebar Laut Teritorial pada Konferensi-konferensi Hukum Laut Jenewa 1958 dan 1960".

Berita Pikiran Rakjat tentang Mochtar Kusumaatmadja-Foto: Repro: Irvan Sjafari.
Berita Pikiran Rakjat tentang Mochtar Kusumaatmadja-Foto: Repro: Irvan Sjafari.
Mochtar  antara lain mengungkapkan Konferensi Hukum Laut 1958 seharusnya Panitia Hukum Internasional soal lebar laut territorial dengan tegas menetapkan "norma de legue ferende norma variable"  dengan batas minimum 3 mil dan maksimum 12 mil.

Perkembangan-perkembangan hukum laut dalam dan sesudah konferensi Tahun 1958 dan Tahun 1960, khususnya berkenaan dengan berbagai jalur-jalur tambahan (contiguous zone) memperkokoh batas lebar 12 mil sebagai batas maksimum yang layak bagi laut territorial .

"Universitas khususnya Fakultas Hukum harus menjadi bagian penting dalam pembinaan hukum nasional," kata Mochtar dalam sidang di aula Unpad.  

Diberhentikan di Fakultas Hukum Unpad  tidak membuat karir Mochtar tamat.  Dia tetap ditampung di Seskoad, Bandung. Lembaga pendidikan tertinggi Angkatan Darat. Kampus perwira untuk menjadi calon kolonel. Mochtar mengajar ilmu hukum bagi mayor senior dan letnan kolonel junior. Para calon pemimpin Angkatan Darat. 

Mochtar kemudian ke Amerika Serikat. Menimba ilmu di Harvard Law School (Universitas Harvard), dan Universitas Chicago, Trade of Development Research Fellowship pada 1964-1966. Sehingga ia memiliki enam almamater perguruan tinggi.

Menurut mingguan Mahasiswa Indonesia 3 Juli 1966 --tatkala memberitakan keluarnya keputusan Deputi Menteri PTIP merehabilitasi Mochtar-- tindakan pemecatan Mochtar di tahun 1962 itu adalah tindakan sewenang-wenang, yang diambil tanpa bukti-bukti yang sah dan tanpa proses pengadilan yang sah (15).

Kasus Mochtar Kusumaatmadja menjadi buah bibir kalangan mahasiswa yang cukup banyak di Kota Bandung.    

Ibarat main catur (politik),kasus merupakan blunder yang dilakukan Sukarno yang sebetulnya tidak perlu.  Seharusnya sebagai seorang yang sudah pengalaman sejak masa pergerakan tidak menelan mentah-mentah informasi sekalipun dari kelompok yang menjadi penyokongnya.  Mengapa keputusan tidak diambil sepulangnya ke Jakarta dan melakukan clearing?

Di Bandung kasus ini awal perpecahan di kalangan mahasiswa  yang kemudian berkembang di kemudian hari.  Tidak semua mahasiswa menyetujui tindakan yang dilakukan GMNI, CGMI dan Germindo.  

Irvan Sjafari

Sumber Primer:  Pikiran Rakjat, 14 April 1962, 30 April 1962,  26 September 1962, 3 Oktober 1962, 5 Oktober 1962,  8 Oktober 1962, 9 Oktober 1962, 10 Oktober 1962, 13 Oktober 1962, 18 Oktober 1962, 24 Oktober 1962, 6 November 1962,

Sumber Sekunder

Anwar, Rosihan  Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, Jakarta: Sinar Harapan, 1980

Republika, 18 November 2018 memberikan informasi sekilas apa yang terjadi pada Mochtar pasca pemberhentian  dan Ketika Presiden Memerintahkan Pemecatan Dosen  keduanya diakses pada 1 Desember 2018.

Media karya juga menyinggung yang memberikan laporan pada Sukarno bukan hanya GMNI, serta CGMI, tetapi juga Germindo.  Menurut laporan tiga organisasi ekstrakurikuler itu, dalam serangkaian kuliah dan kesempatan lain, sang professor telah menghina Soekarno, mengecam Manipol USDEK dan mengejek Jubir Usman(Juru Bicara Usdek Manipol) Ruslan Abdulgani. 

Konon, Mochtar memberikan penilaian bahwa pemimpin India, Nehru, lebih berkualitas dan lebih berpengalaman dalam politik luar negeri dibandingkan Soekarno. Padahal menurut Mochtar sendiri, ucapannya tak lebih dari "Bung Karno tak bisa dibandingkan dengan Nehru." Suatu pernyataan yang tak memuat perbandingan kualitatif antara keduanya dan tak menyimpulkan mana yang lebih baik

 KHM Rusyad Nurdin

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun