Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pasar Minggu, "Sentra Buah" yang Hilang

30 September 2018   12:51 Diperbarui: 30 September 2018   13:26 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Pasar Minggu Tempo dulu-Foto: Pinterest.

 "Pepaya, mangga, pisang, jambu/dibawa dari Pasar Minggu/di sana banyak penjualnya/di kota banyak pembelinya" . Demikian petikan lagu  yang berjudul Pepaya Cha Cha Cha  yang dirilis pada 1957 yang dibawakan oleh Adi Karso. Lagu itu pas menggambarkan Pasar Minggu pada 1950-an. Ketika ribuan kilogram buah-buahan dikirim dari Pasar Minggu melalui kereta api ke kota.

Pada masa sebelum perang produksi buah-buahan dari daerah  pinggiran  mencapai 25 ribu ton untuk kebutuhan Jakarta saja dan 400 ribu ton untuk ekspor ke Singapura.  Sayangnya pada masa pendudukan Jepang banyak pohon yang ditebang untuk kayu bakar, bahan bangunan, hingga perabot.

Buku  Djakarta Raya yang diterbitkan  oleh Kementerian Penerangan pada 1953 menyebut  Pasarminggu sudah terkenal sebagai sentra buah-buahan.  Bahkan menurut buku itu Pasarminggu sudah terkenal sampai ke luar negeri dibanding di tanah airnya sendiri.  Pada waktu itu Pasarminggu bukanlah sebuah kecamatan, tetapi termasuk bagian dari kewedanaan Kramat Jati.

"Apa bila kita berjalan-jalan di sekitar Pasar Minggu ini maka akan kita dapati jenis buah-buahan yang tumbuh dengan subur seperti jeruk besar, sawo, rambutan, jeurm siam, jeruk manis, jeruk sitrun, jambu bol,jambu air, kweni, kelembem, cempedak, nangka, salak, durian, belimbing manus, jambu mede, kedondong, sirsak, mangga, pisang dan duku" . Begitu buku itu menyebutkan keragaman buah-buahan di kawasan Pasarminggu.

Sebenarnya bukan hanya Pasar Minggu yang menjadi sentra buah-buahan tetapi juga kawasan Kebayoran.  Namun dengan adanya pembukaan kota baru Kebayoran, maka Jakarta kehilangan 800 hektare lahan perkebunan, termasuk 28 ribu pohon buah-buahan.  Total di dua kewedanaan, Kebayoran dan Pasar Minggu  terdapat 40 ribu pohon mangga, 50 ribu pohon nangka, 40 ribu pohon sawo, 50 ribu pohon jeruk, 3 ribu pohon papaya dan 50 ribu pohon jambu dan 60 ribu pohon rambutan.

Sebuah artikel berjudul "Kesan-kesan dari Pasar Minggu: Ahli2 Tetanaman dan Makanan in Aksi.." dimuat dalam Star Weekly Nomor 221 edisi 23 Februari 1952 menyebut terdapat sebuah kebun percobaan di Pasar Minggu dari Kementerian Pertanian. Tujuan  Kebun Percobaan yang dilengkapi Laboratorium ini untuk mengembangkan potensi buah-buahan.    

Itu sebabnya para pedagang buah menyebut buah-buahan dari Pasar Minggu sebagai Pepaya Landbouw, Rambutan Landbouw, Jeruk Landbouw, karena kelezatan buah-buahannnya.  Landbouw ini mengacu hasil kebun percobaan.  Selain itu dibuat makanan camilan dari buah seperti pisang sale

Dalam artikel itu, Kepala  Bagian Teknologi Makanan dari Kebun Percobaan itu, Harsono mengatakan, tugas bagian teknologi makanan untuk mengawetkan makanan buah-buahan dan sayuran agar bisa tahan lebih lama, sekaligus tidak hilang kandungan vitaminnya.

"Hasil penyelidikannya akan disebarkan ke rakyat," ujar Harsono.

Kepala Perkebunan Percobaan Soenarjo  dalam artikel itu mengungkapkan kebun itu menyelidiki beras vitamin yang dinamakan parboiled rice.  Beras yang masih berupa gabah direndam, dikukus dan dikeringkan  lebih dahulu, lalu disingkirkan kulitnya.

"Beras seperti ini akan tahan lebih lama hingga setahun hingga tidak menjadi rusak. Kandungan vitamin B-nya lebuh tinggi," papar Soenarjo.

Artikel ini juga memberikan informasi bahwa papaya baru muncul di Pasar Minggu pada 1932.  Artikel ini menyitir cerita Tan Kim San, ahli praktik di kebun percobaan itu menjelaskan bagaimana papaya bisa sampai di Indonesia. Ada yang menyebut papaya dibawa orang Belanda dari sebuah pulau di Lautan Pasifik, tetapi juga ada yang mengatakan dari Garut.

Menurut beberapa referensi, seperti karya S. Budhisantoso dan kawan-kawan, berjudul "Alat Penjaja Tradisional Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, terbitan Dekdikbud, 1986 menyebutkan sebelum 1920 lokasi pasar awal bukanlah di tempat yang sekarang, yaitu bersebelahan dengan terminal dan di pertigaan, melainkan di Kampung Lio, Pinggir Ciliwung.

Kegiatan pasar memang berlangsung hari Minggu, bukan saja menjual kebutuhan sehari-hari, tetapi ada permainan judi kopyok dan pangkalan ronggeng. Kegiatan pasar berlangsung sejak pukul 7 hingga 10 pagi. Sangat singkat.

Baru pada 1920 pasar dipindahkan ke dekat Stasiun Kereta Api dan berseberangan dengan terminal sekarang. Walaupun kegiatan pasar masih seperti waktu Pasar Lio, tetapi kegiatan perdagangan beras yang dikelola orang Tionghoa berlangsung setiap hari. Pada 1921 Jalan Pasar Minggu yang tadinya dari tanah diperkeras denagn batu.

Baru pada 1930 Pemerintah Hindia Belanda membangun pasar dengan lantai ubin, bertiang besi beratap seng  di lokasi yang sekarang.  Sejak  itu walaupun hari MInggu lebih ramai, kegiatan pasar sudah berlangsung setiap hari.  

Pada 1952 penduduk Jakarta menurut Mutohar Sudiro dalam artikelnya berjudul "Keadaan Kota Djakarta dan Kemungkinan Jang Dihadapi" dalam Mimbar Indonesia, 21 November 1952 mengungkapkan  Jakarta berpenduduk sekitar 2,5 jiwa juta pada 1952.  Padahal pada 1950 penduduknya 1,5 juta jiwa dan 1940 berjumlah 681 ribu jiwa jadi ada lompatan.  Kepadatan ini menimbulkan masalah kekurangan perumahan, terutama di daerah kota. 

Pada 1948 kekuarangan rumah mencapai 80 ribu.  Pemecahannya adalah pembukaan kota baru Kebayoran yang waktu masih disebut sebagai kota satelit.  Pasarminggu tidak disebut dalam artikel itu. Kemungkinan masih dianggap kawasan pinggiran tidak menarik para pendatang.     

Kenangan Eksotis

Ketika saya masih kanak-kanak tinggal di wilayah Kebayoran kemudian pindah ke Tebet pada 1970-an awal.  Kalau ingin piknik di akhir pekan, pilihan ayah mengajak keluarganya kalau tidak ke Bina Ria, Taman Mini, ke Kebun Binatang Ragunan.  

Masih tergiang di kepala saya kalau naik mobil melintasi jalan yang masih banyak pohon dan agak "eksotik", kesannya seperti ke pedalaman.  Kalau naik angkutan umum,kalau tidak bis atau oplet rasanya seperti tamasya ke dunia yang bukan Jakarta. 

Ayah selalu menghindari  pasar dan lebih suka memotong lewat Pejaten,  mungkin wkatu itu sudah macet. Tetapi sekali-sekali lewat juga dan banyak tukang buah pikulan di pinggir jalan.  Yang paling saya suka adalah jambu biji dan rambutan. 

Buku Derap Djakarta, terbitan Badan Perentjana Pembangunan DCI Djakarta, 1972 mengatakan karena banyak buah-buahan yang ditanam petani di Pasar Minggu, tiada bulan tanpa buah. Rambutan mungkin ada musimnya, akan digantikan buah lain seperti mangga, pisang, jeruk dan sebagainya. Memang seperti itu yang saya lihat.

Sebuah reportase dari Merdeka.com edisi 8 Agustus 2012 bertajuk "Pasar Minggu dan Kenangan Pasar Buah di Jakarta"  memuat kesaksian warga di sana bernama Rokib, yang waktu itu berusia 50 tahun.  Dikatakannya  ketika ia masih menjadi siswa sekolah dasar di Pasar Minggu buah-buahan masih berlimpah.

 "Dulu kawasan  Duren Tiga, Buncit, Pejaten masih lebat dengan berbagai macam buah, tapi tiap lokasi itu selalu ada yang dominan.  Kawasan Pejaten hingga Ragunan didominasi buah rambutan. Sedangkan Jati Padang, menurut Rokib, sangat kesohor dengan durian montong. Pohon-pohon duren di sana berukuran besar dengan diameter tiga lingkaran tangan orang dewasa," cerita Rokib, seraya menyebutkan bahwa orang Betawi masih dominan di Pasar Minggu.

Waktu saya kecil membayangkan tinggal di Pasar Minggu di satu sisi rasanya menakutkan, dengan pertanyaan seperti apa malam hari di daerah itu? Tetapi di hati kecil ada keinginan tinggal di daerah yang masih kampung atau sisa apa yang disebut sejarawan sebagai sisa terkahir The Big Village.

Tetapi ketika berangkat remaja, saya memilih melanjutkan sekolah di SMAN 28 di Jalan Ragunan, ketika kami pindah ke kawasan Cinere. Tadinya ayah menawarkan SMA 34. Tetapi saya emoh di situ dan lebih suka di SMA 28. Keinginan tahuan begitu menggebu.  

Stasiun Pasar Minggu Tempo dulu-Foto: Pinterest.
Stasiun Pasar Minggu Tempo dulu-Foto: Pinterest.
Jatuh Hati pada Pasar Minggu

Ternyata saya jatuh hati bersekolah di situ.  SMAN 28 waktu itu hingga sepuluh tahunan kemudian masih didominasi oleh "anak-anak pinggiran" yang mempunyai nilai guyub, religius, kesantunan yang masih cukup tinggi.  

Saya jatuh hati pada sekolah yang bangunannya tertata seperti deretan gerbong kereta dua jalur.  Sekolah yang tidak punya lapangan olahraga, hingga kalau ada kegiatan olahraga yang penting ke lapangan sepak bola dekat sekolah atau ke Kompleks Olahraga di Ragunan.  SMAN 28 berdiri sejak 1972 ketika pohon buah masih mendominasi Ragunan.  

Saya pulang pergi dari skeolah ke rumah naik angkutan "kodok", minibus yang dimodifikasi bagian belakangnya, terbuat dari besi kaleng yang bakal hancur total kalau tabrakan keras. Saya baru bisa dapat angkutan umum setelah mahgrib, karena angkot tidak mau ambil belajar yang ambil pelajar yang bayarnya lebih murah.

Kini sopir angkot yang dulu pernah membawa saya waktu masih sekolah menyesal, dua puluh tahun kemudian. "Dulu kami kualat ya, kini kami menunggu pelajar selesai pacaran untuk sewa, karena penumpang berkurang drastis," ucapnya dengan getir ketika saya ajak mengobrol nostalgia.

Pembukaan Universitas Indonesia di perbatasan Kecamatan Pasar Minggu dan Depok pada 1987 pelan-pelan membawa perobahan.  Satu demi satu perumahan mewah bermunculan.  Salah seorang kawan SMA saya bercerita bahwa dulunya orangtuanya yang tinggal di perumahan yang hanya tujuh buah berkeras menolak pindah, ditawar sebuah developer. 

Tetapi setalah satu demi satu tetangganya menghilang, keluarganya menyerah juga.  Pembukaan jalan lingkar luar lebih mendorong perubahan demografis.

Saya sependapat dengan Merdeka 8 Agustus 2012 bahwa sejak  1990-an Pasar Minggu tidak lagi jadi sentra buah, lahan kebun tergusur menjadi pemukiman dan jalan raya. SMAN 28 kini menjadi sekolah megah dengan bangunan bertingkat.  Area sekitarnya masih seperti dulu.  Hanya berapa perkantoran sudah berdiri di tepi Jalan Ragunan.

Tetapi sudahlah itulah nikmatnya sejarah.  Saya sudah senang mempunyai catatan yang banyak mengenai masa sekolah dulu sebagai bagian anak-anak pinggiran.

Irvan Sjafari 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun