Buku Derap Djakarta, terbitan Badan Perentjana Pembangunan DCI Djakarta, 1972 mengatakan karena banyak buah-buahan yang ditanam petani di Pasar Minggu, tiada bulan tanpa buah. Rambutan mungkin ada musimnya, akan digantikan buah lain seperti mangga, pisang, jeruk dan sebagainya. Memang seperti itu yang saya lihat.
Sebuah reportase dari Merdeka.com edisi 8 Agustus 2012 bertajuk "Pasar Minggu dan Kenangan Pasar Buah di Jakarta"  memuat kesaksian warga di sana bernama Rokib, yang waktu itu berusia 50 tahun.  Dikatakannya  ketika ia masih menjadi siswa sekolah dasar di Pasar Minggu buah-buahan masih berlimpah.
 "Dulu kawasan  Duren Tiga, Buncit, Pejaten masih lebat dengan berbagai macam buah, tapi tiap lokasi itu selalu ada yang dominan.  Kawasan Pejaten hingga Ragunan didominasi buah rambutan. Sedangkan Jati Padang, menurut Rokib, sangat kesohor dengan durian montong. Pohon-pohon duren di sana berukuran besar dengan diameter tiga lingkaran tangan orang dewasa," cerita Rokib, seraya menyebutkan bahwa orang Betawi masih dominan di Pasar Minggu.
Waktu saya kecil membayangkan tinggal di Pasar Minggu di satu sisi rasanya menakutkan, dengan pertanyaan seperti apa malam hari di daerah itu? Tetapi di hati kecil ada keinginan tinggal di daerah yang masih kampung atau sisa apa yang disebut sejarawan sebagai sisa terkahir The Big Village.
Tetapi ketika berangkat remaja, saya memilih melanjutkan sekolah di SMAN 28 di Jalan Ragunan, ketika kami pindah ke kawasan Cinere. Tadinya ayah menawarkan SMA 34. Tetapi saya emoh di situ dan lebih suka di SMA 28. Keinginan tahuan begitu menggebu. Â
Ternyata saya jatuh hati bersekolah di situ. Â SMAN 28 waktu itu hingga sepuluh tahunan kemudian masih didominasi oleh "anak-anak pinggiran" yang mempunyai nilai guyub, religius, kesantunan yang masih cukup tinggi. Â
Saya jatuh hati pada sekolah yang bangunannya tertata seperti deretan gerbong kereta dua jalur. Â Sekolah yang tidak punya lapangan olahraga, hingga kalau ada kegiatan olahraga yang penting ke lapangan sepak bola dekat sekolah atau ke Kompleks Olahraga di Ragunan. Â SMAN 28 berdiri sejak 1972 ketika pohon buah masih mendominasi Ragunan. Â
Saya pulang pergi dari skeolah ke rumah naik angkutan "kodok", minibus yang dimodifikasi bagian belakangnya, terbuat dari besi kaleng yang bakal hancur total kalau tabrakan keras. Saya baru bisa dapat angkutan umum setelah mahgrib, karena angkot tidak mau ambil belajar yang ambil pelajar yang bayarnya lebih murah.
Kini sopir angkot yang dulu pernah membawa saya waktu masih sekolah menyesal, dua puluh tahun kemudian. "Dulu kami kualat ya, kini kami menunggu pelajar selesai pacaran untuk sewa, karena penumpang berkurang drastis," ucapnya dengan getir ketika saya ajak mengobrol nostalgia.
Pembukaan Universitas Indonesia di perbatasan Kecamatan Pasar Minggu dan Depok pada 1987 pelan-pelan membawa perobahan. Â Satu demi satu perumahan mewah bermunculan. Â Salah seorang kawan SMA saya bercerita bahwa dulunya orangtuanya yang tinggal di perumahan yang hanya tujuh buah berkeras menolak pindah, ditawar sebuah developer.Â