"Kami bisa menerima karyawan seperti kamu yang pagi harus sekolah. Tetapi kamu di sini harus bekerja keras. Tahu tidak kamu? Wali Kota Bandung saja takut sama saya," ujar seorang pengusaha restoran ketika Rani (Mawar de Jongh) diantar kawan sekelasnya sebuah SMA di Bandung, Gibran (Mauxime Brouttier).
Dialog yang lucu dalam film bergenre cinta remaja bertajuk "Serendipty", karena pemeran pengusaha restoran itu adalah Ridwan Kamil, yang tak lain adalah Wali Kota Bandung hingga September mendatang, sebelum ia naik kelas menjadi Gubernur.Â
Itu adalah ketiga kalinya Kang Emil jadi cameo, setelah "The Wedding and Bebek Betutu" (2015) Â dan "Dilan 1990" (2018), sebetulnya masih satu lagi, yang menjadikannya Wali Kota yang paling banyak jadi cameo dalam film, selain rajin bertutur di media sosial dan membuatnya populer di kalangan milenial.
Dari tiga penampilan Kang Emil, tiga-tiganya sangat memihak Kota Bandung. Â Dan itu juga yang membuat orang seperti saya mau-maunya datang ke bioskop menonton film remaja, yang tidak terlalu banyak ditonton.
Saya juga tidak pernah baca novel karya Erisca Febriani ini, namun setting kota Bandung dalam adaptasi ke layar lebar ini jadi daya tarik sendiri dan saya ingin tahu bagaimana citra remaja milenial kota Bandung dalam film ini. Jadi Kang  Emil dan Bandung memang alasan pertama membuat saya menyaksikan film yang sepintas tampak renyah.
Kedua, pendatang baru Mawar Eva de Jongh sudah mencuri perhatian dalam sinetron yang tidak panjang berjudul "Dia yang Tak Terlihat" dan juga mendapat peran utama adaptasi novel "Bumi Manusia". Saya baca di berapa situs pembaca novel ini kecewa karena Mawar yang memerankan Rani yang diceritakan "nyambi" menjadi Lady Escort untuk bisa melunasi hutang ayahnya, yang sudah meninggal.Â
Ketika diketahui kekasihnya bernama Arkan (Kenny Austin), tidak saja hubungan mereka putus tetapi video dia bersama seorang pria berumur, pengusaha kaya menyebar melalui WA grup, yang tidak saja membuat dia dibully kawan-kawannya tetapi juga didepak dari sekolahnya. Â Â Â
Akting Mawar tidak buruk memerankan seorang siswi yang broken home, sekaligus jadi lady escort yang gamang.  Cukup baik. Namun masih di bawah penampilannya  dalam dua peran di "Dia yang Tak Terlihat", sebagai hantu Kania yang pendendam dan Audy yang smart.Â
Yang jadi sorotan saya ialah karakter Rani sebagai perempuan yang lemah dan diselamatkan oleh seorang "bad boy", vlogger ternama bernama Gibran dan begitu tergantungnya dia sama Arkan. Begitu juga ibunya Rani (Marissa Nasution) selingkuh dengan ayahnya Arkan juga perempuan yang minta diselamatkan, karena butuh uang menghadapi para penagih hutang. Â Ibunya Arkan juga sama saja.
Tiga karakter perempuan dalam film ini  begitu bergantung pada laki-laki. Mereka diam saja menghadapi perlakuan sewenang-wenang.  Untungnya ada seorang ibu guru yang jadi penyelamat hancurnya citra perempuan dalam film ini.  Padahal diangkat dari novel yang ditulis seorang perempuan, apakah begini citra perempuan (juga remaja perempuan) di era milenial khusus di kota Bandung.
Lady Escort memang diasosiasikan tipis menjadi prostitusi (walaupun tidak selalu begitu).  Justru sebetulnya menarik kalau untuk didalami oleh si penulis maupun sineas.  Hidup yang tidak hitam putih dan korban kultur patriaki.  Di mana laki-laki menjadi pihak berkuasa. Kalau  ada Lady Escort mengapa tidak ada Boy Escort?Â
Tetapi mungkin si penulis atau sineas punya visi yang lain. Nah, dari segi ini ada yang menarik, yaitu kebebasan berekspresi remaja begitu kuat. Â Di sisi negatif media sosial, penyebaran video yang kerap asusila menjadi viral adalah keniscayaan era milenial sekarang.
Cukup membuat saya puas, wah ini ciri remaja (urban) khas zaman sekarang. Sekalipun saya setuju dengan pandangan seorang pengacara yang jadi komite sekolah: Mengapa hanya Rani (baca perempuan) yang harus dikeluarkan dari sekolah, mengapa penyebarnya tidak? Padahal Rani kan korban?  Kemudian tindakan  Arkan dan Gibran mengajak kawan-kawan SMA berdemo dengan spanduk "Save Rani", itu menarik dan berapa kali terjadi di sekolah.  Benar-benar era pasca reformasi,orang bebas berekspresi.Â
Kalau kisah cintanya saya tidak terlalu masuk. Tetapi adegan ketika Gibran mengiringi lagu gubahan dengan lirik dari Rani di ruang perpustakaan itu menyentuh. Rani menangis dan Arkan di luar ruangan juga tertengun. Akhirnya dia cemburu dengan kedekatan Rani dengan Gibran. Â Sekalipun ada warna sinetron sekali, tokoh Loli yang cemburu ingin merebut Arkan. Â Lagu berjudul "Masih Adakah Namaku?" cukup manis didengar dan menyentuh.
Dari segi sinematografi, tokoh Rani yang naik sepeda, Gibran yang naik motor, anak muda gaul Bandung benar. Â Panorama Taman Vanda yang akrab bagi warga Bandung, pusta kota Bandung sisorot dari atas hingga kawah putih di Ciwidey memikat mata.Â
Kalau dari tokoh, saya suka karakter Gibran. Dia pahlawan sebenarnya dalam film ini. Â Seandainya saja orang seperti dia yang menjadi elite politik di negeri iini, sekalipun urakan tetapi rela berkorban untuk orang lain, tentu membantu negeri ini.
Untuk Mawar de Jongh, saya nantikan akting di Bumi Manusia  untuk membuktikan apakah benar prediksi saya,kamu artis masa depan Indonesia.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H