Tetapi mungkin si penulis atau sineas punya visi yang lain. Nah, dari segi ini ada yang menarik, yaitu kebebasan berekspresi remaja begitu kuat. Â Di sisi negatif media sosial, penyebaran video yang kerap asusila menjadi viral adalah keniscayaan era milenial sekarang.
Cukup membuat saya puas, wah ini ciri remaja (urban) khas zaman sekarang. Sekalipun saya setuju dengan pandangan seorang pengacara yang jadi komite sekolah: Mengapa hanya Rani (baca perempuan) yang harus dikeluarkan dari sekolah, mengapa penyebarnya tidak? Padahal Rani kan korban?  Kemudian tindakan  Arkan dan Gibran mengajak kawan-kawan SMA berdemo dengan spanduk "Save Rani", itu menarik dan berapa kali terjadi di sekolah.  Benar-benar era pasca reformasi,orang bebas berekspresi.Â
Kalau kisah cintanya saya tidak terlalu masuk. Tetapi adegan ketika Gibran mengiringi lagu gubahan dengan lirik dari Rani di ruang perpustakaan itu menyentuh. Rani menangis dan Arkan di luar ruangan juga tertengun. Akhirnya dia cemburu dengan kedekatan Rani dengan Gibran. Â Sekalipun ada warna sinetron sekali, tokoh Loli yang cemburu ingin merebut Arkan. Â Lagu berjudul "Masih Adakah Namaku?" cukup manis didengar dan menyentuh.
Dari segi sinematografi, tokoh Rani yang naik sepeda, Gibran yang naik motor, anak muda gaul Bandung benar. Â Panorama Taman Vanda yang akrab bagi warga Bandung, pusta kota Bandung sisorot dari atas hingga kawah putih di Ciwidey memikat mata.Â
Kalau dari tokoh, saya suka karakter Gibran. Dia pahlawan sebenarnya dalam film ini. Â Seandainya saja orang seperti dia yang menjadi elite politik di negeri iini, sekalipun urakan tetapi rela berkorban untuk orang lain, tentu membantu negeri ini.
Untuk Mawar de Jongh, saya nantikan akting di Bumi Manusia  untuk membuktikan apakah benar prediksi saya,kamu artis masa depan Indonesia.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H