Dalam tulisan saya pada 26 September 2016 berjudul "Bandung Kota Musik (Tanpa Perlu) Dideklarasikan"  saya menyebutkan  saya sudah menemukan 160 nama kelompok musik dan band, mulai dari duo hingga lebih lima personel yang berdiri dan pernah berdiri  di Kota Bandung antara periode 1990-2015, baik yang indie maupun label.
Maka dalam tulisan ini jumlah band dan kelompok musik  yang berdiri dan pernah berdiri di Kota Bandung  sudah terdata sekitar 250 nama ( sejak 1990 hingga pertengahan 2018), mulai dari duo maupun big band. Nama-nama band ini termasuk nama yang sudah masuk menjadi band nasional seperti Gigi, Cokelat, hingga Band Indie seperti Mocca, Burgerkill. Â
Saya memperkirakan masih banyak jumlah yang tercecer. Jumlah itu yang didata dari Pikiran Rakyat edisi 2013-2018, situs Djarumcokelat, Band Indie Bandung dan sejumlah situs musik lainnya. Persoalannya berbagai event yang diliput media seperti Hellprint diikuti puluhan band lokal. Jadi jumlah yang tercecer membuat angka itu bisa lebih besar dari 250 nama, sekalipun    Â
Jumlah ini  bisa dua kali lipat dari band dan kelompok musik  yang berdiri di kota yang sama pad periode 1970-1990.  Pada periode ini termasuk Giant Step, Harry Roesli, Bimbo hingga KSP dan Kahitna.  Kalau digabungkan maka angka 400 kelompok musik dan band  yang lahir di kota kembang ini sepanjang sejarah bukan tidak mungkin tercapai. Riset ini akan terus berjalan hingga didapat data yang akurat. Bisa jadi suatu ketika diperlukan Ensiklopedia Musik Bandung.
Jadi berapa jumlah musisi yang berasal dari Bandung?  Karena band dan kelompok musik dari dua personel hingga lebih dari sepuluh orang.  Sayangnya masih termasuk musisi yang "bongkar-pasang". Tetapi yang terlibat langsung dan masih aktif saya prediksi lebih dari seribu orang (tidak termasuk yang tinggal ke Jakarta), termasuk penyanyi single seperti Yura Yunita, Isyana Sarasvati, Rita Tila, Dhira Sugandi, Tulus,  belum lagi peserta pencarian bakat  di Bandung.
Jumlah itu  masih ditambah dengan komunitas musik Bandung seperti blues yang jumlahnya 700, Komunitas Swingging Friends yang menetap di Bandung dan aktif ikut kelas Mocca,mereka yang terlibat di Saung Udjo dan komunitas musik (yang aktif lainnya),  kemungkinan angka 3 ribu tercapai.  Kalau ditambah dengan manajemen, musisi penggiring single (Yura Yunita yang saya lihat selalu diiringi 4-5 personel), belum lagi komunitas musik di kampus, maka angka dua ribu akan tercapai.
Kalau diperluas lagi dengan komunitas fans kelompok underground seperti Begundal untuk Burgerkill yang jumlah ribuan dan sejumlah event musik di Bandung ditonton puluhanribu orang, dari Bandung dan sekitarnya. Â Kalau populasi penduduk Kota Bandung, Cimahi dan sekitarnya sekitar tiga juta orang, maka dari jumlah itu tiga puluh ribu orang saja terlibat pada aktivitas musik, maka jumlah itu satu persen dari populasi. Â Â Â Â
Kalau dari angka-angka kasar seperti di atas, saya berani mengklaim Bandung layak jadi kota musik. Kalau riset ini diteruskan akan didapat angka yang lebih akurat.
Kegiatan Kreatif
Kegiatan musik yang menonjol selama 2018 antara lain kompetisi musik akustik yang digelar di sekitar The Lodge Maribaya pada Maret 2018. Pesertanya 14 band akustik. Â Dalam kompetisi dengan juri Erlan dari "Wachdach Band", Noey dari "Java Jive" dan Dudo dari "D'Cinammons" Band Aksha dari Bandung tampil sebagai Juara Pertama.
Kegiatan  yang rutin dan kreatif ialah apa yang disebut Pengadilan Musik.  Kegiatan ini dilaksanakan di Kantin Nasion, The Panas Dalam, Jalan Ambon, Kota Bandung sejak 2016.  Pengagasnya adalah  Supervisor Kantin Nasion The Panas Dalam Irfan Nurdiansyah.  Model kegiatan ini hanya ada di Bandung.
Menurut dia pengadilan musik menggugat artis yang baru saja  menggugat artis mengeluarkan album dan mempertimbangkan album itu layak atau tidak.  Seperti layaknya pengadilan, terdapat hakim, penggugat dan tergugat yang mengadili album band atau artisnya (Tribunnjabar Online 2 Agustus 2017).
Pada episode ke 23, tanggal 4 Mei 2018 band indie kondang Burgerkill diwakili empat personelnya Ebenz (gitar), Vicky (vokal), Ramdan (bas), serta Putra (durm) menjadi terdakwa. Â Mereka menghadapi Jaksa musisi Budi Dalton, Pidi Baiq, Hakim Mad Jasad dan panitera Wanda urban. Â Sebagai pembela hadir Gebeg, Yoga PHB dan Andre Vinsen.
Dalam sidang, Budi Dalton mendakwa Burgerkill dari mana ide mengkoloborasikan metal dan orkesta, mengapa tidak dengan badminton atau kerambol? Â Pertanyaan mengundang gelak tawa. Ebenz menjawab tak kalah nyelenehnya,"Penginnya koloborasi sama karapan sapi, tapi nggak ada treknya?"
Tapi akhirnya Vicky menjawab bahwa ide konser orchestra sejak 2012, namun karena jadwal padat baru terwujud pada 2018 dan Burgerkill terinspiasi oleh Metallica (Pikiran Rakyat, 7 Mei 2018). Sekalipun sejumlah musisi dari genre ikut menjadi terdakwa, tetapi band denagn genre rock,metal dan sejenisnya dominan dalam kegiatan ini.
Genre rock, metal, hardcore dan yang sebangun cukup dominan dari sekitar 250 band atau kelompok musik yang saya data. Â Bandung rutin menyelenggarakan event besar mengakomodasi begitu kuatnya penggemar musik metal, di antaranya "Bandung Berisik" yang disebut sebagai festival musik cadas terbesar di Indonesia dan menjadi aspirasi musikunderground. Â Bandung Berisik pertama kali diselenggarakan pada 23 September 1995 di Ujungberung.
Event lainnya ialah Hellprint yang digelar pertama kali sekitar 2011, mulanya hanya tingkat lokal, namun sejak 2015 sudah mendatangkan band metal antar negara. Â Hellprint yang paling anyar digelar pada Februari 2018 itu diikuti puluhan band dan dihadiri puluhan ribu penonton.
 Ajang yang paling anyar untuk mewadahi band-band lokal di Bandung, sebetulnya juga untuk mengangkat kuliner dan distro, yaitu apa yang disebut Bandung Original Festival (Borfest) yang berlangsung sejak 30 Maret hingga 1 April 2018.  Acara ini berlangsung pertama kalinya digelar di Lapangan Pussneif PPI Bandung, diikuti puluhan band lokal hingga nasional (Pikiran Rakjat, 3 April 2018).
Masih banyak event lain yang menjadi tempat kiprah band lokal, yaitu Kickfest yang digelar rutin tahunan, hingga berkala seperti "An Intimacy". Saya dalam tulisan 'Bandung Kota Musik (Tanpa) Dekalarasi" menyebut antara pertengahan 2013-pertengahan 2016 terdapat 15-20 pertunjukkan musik setiap bulannya yang diliput media. Â Itu artinya lebih dari 100 event musik besar dan kecil setiap tahun. Tapi agaknya pada pertangahan 2016 Â hingga 2017 jumlahnya menurun dan baru meningkat lagi pada 2018 ini.
Kaderisasi JazzÂ
Dinamisator musik lainnya ialah Dwi Cahya Yuniman, pengagas Klab Jazz pada 9 Mei 2004. Ide ini didukung sepenuhnya oleh pakar jazz Sudibyo PR, Yongky Nusantara, Terlen Handayani pendiri Toko Buku Kecil. Misinya antara lain memasyarakatkan musik jazz dengan prioritas kepada masyarakat musik Kota Bandung hingga melakukan kaderisasi pemusik jazz. Â Â
Kelahiran Bandung 10 Juni 1960 ini rela meninggalkan pekerjaannya dan mencurahkan waktunya untuk Klab Jazz sejak 2010.  Klab Jazz  gigih menggelar mulai dari pertunjukan jazz rutin seperti Jash Dazz, diskusi musik dan kelas jazz.  Kontribusi utama Klab Jazz adalah meruntuhkan stigma bahwa musik jazz hanya untuk kalangan atas  dan membuat jazz diterima oleh kaum muda Bandung.
Tidak mengherankan kalau Bandung punya Nadine Andriana, yang masih berusia 11 tahun ketika tampil bersama kelompoknya Nadine The Infinity di acara TP Jazz Weekend di Stage Hotel The Papandayan. Â Nadine bahkan mampu berkoloborasi dengan pemusik senior Ari Firman (Pikiran rakyat, 16 Mei 2016).
Kegiatan TP Jazz  cukup rutin berlangsung  dan menjadi program  Hotel Papandayan, Jalan Gatot Subroto. Program ini  berawal pada 2013  bekerja sama dengan Harry Pochang.  Wali Kota Bandung Ridwan Kamil pada 31 Oktober 2015 menyebutnya "The Adress of Jazz Bandung".  Pada TP Jazz Bandung festival 24-29 Oktober 2016 sebanyak lebih dari seratus musisi jazz lokal dan mancanegara tampil.
Universitas Padjadjaran juga punya event jazz internasional rutin yang dinamakan Kampoeng Jazz pada 2018 ini sudah berlangsung ke delapan kalinya. Musisi yang tampil mulai dari tingkat lokal hingga musisi jazz internasional.  Saya sendiri hanya sempat hadir pada perlehatan 2014 dan 2015 di mana jago saya dari Bandung  Yura Yunita mulai menonjol.
Aktivitas jazz rutin lainnya ialah apa yang disebut sebagai "Braga Jazz Night".  Pada 21 Juni 2018 mengelar edisi ke 48 dengan  tema "Tribute to The Doors".  Dalam pertunjukkan itu selain tampilnya band The Hedgehoc, juga tampil penyanyi yang baru berusia 12 tahun Fatima Favel Fauziah, dengan iringan gitaris senior Hardi Suryana.
Kontribusi Perguruan Tinggi  Â
Dari hasil riset saya genre musik cadas sudah menonjol di Bandung terutama sejak 1970-an dengan munculnya Giant Step, Harry Roesli dan paling eksis di kalangan kaum muda, sehingga regenerasinya begitu cepat. Â Hal yang serupa terjadi di negara lain di mana rock adalah musik kaum muda dan menjadi musik perlawanan.Â
Yang menarik ialah musisi banyak yang lulus atau setidaknya mengenyam  perguruan tinggi. Setahu saya almarhum Albert Wanerin, gitaris Giant Step adalah alumni Fakultas Hukum Unpad dan almarhum Harry Roesli dari ITB. Sejumlah band yang berdiri sejak era 1990, yang saya riset dimulai dengan pertemanan di kampus kota kembang ini. Â
Saya menyebut mereka yang terdidik di perguruan tinggi ini sebagai "neo menak" dan tampaknya memberikan kontribusi musik mereka menjadi kreatif dan berisi. Â Â
Tentunya pada musisi dan penyanyi jazz latar belakang perguruan tinggi lebih menonjol. Namun jazz lebih baru muncul di kalangan kaum muda, terutama pada era 2010-an. Â Munculnya Ridwan Kamil sebagai wali kota Bandung, Â yang juga dari kalangan "neo menak" tampaknya memberikan perhatian pada perkembangan musik jazz.
Kalangan "neo menak" ini juga menyelamatkan regenerasi musik keroncong di Kota Bandung, seperti Keroncong 7 Puteri dari kalangan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia. Â Bahkan juga untuk Indonesia, karena hanya beberapa muncul seperti di Surabaya dan Yogyakarta. Â Tentunya juga pada genre lagu ballad, pop hingga musik tradisional, elektronik, bahkan pengaruh idol Jepang dan K-Pop juga ada di Kota Bandung. Â Â
Sejumlah band atau kelompok musik dari berbagai genre pun lahir di perguruan tinggi. Band Seratus Persen lahir di Sekolah Tinggi Seni Indonesia  Bandung pada 1999, Sigmund didirikan para personel yang belatar belakang pendidikan Seni Rupa dan Desain ITB pada 2011, Mocca juga lahir dari para personel yang kuliah di Itenas dan ITB.
Bandung juga memiliki Sekolah Tinggi Musik Bandung, jurusan seni musik di perguruan tinggi, selain di Universitas Pendidikan Indonesia, jurusan musik juga diajarkan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung dan Universitas Pasundan. Â Selain itu terdapat beberapa pendidikan musik informal, seperti Sekolah Musik Harry Roesli dan Elfas.
Beberapa band di Bandung juga menggelar kelas musik.  Mocca misalnya beberapa kali menggelar kelas musik. Misalnya, pada 29 Januari 2017 berkoloborasi dengan Nu Art Music Lab, mengadakan kelas di Nu Art Sculpture Park  yang diikuti 50 musisi .  Ruang kelas yang lus dimanfaatkan Mocca untuk menggelar lokakarya bersama.
Para musisi dibagi kelompok per isntrumen di empat titik di Nu Art Sculpture Park. Para peserta berlatih memainkan gitar, ukulele, alat musik gesek, alat musik tiup, perkusi hingga vokal. Yang menarik di antara para peserta terdapat kaum difabel. "Siapa pun berhak memainkan musik," cetus Ketua Komunitas Swingging Friends Agung Kurniawan (Pikiran Rakjat, 3 Februari 2017).
Faktor Geografis dan Sejarah
Selain ditopang dengan keberadaan perguruan tinggi, situasi geografis Kota Bandung yang sejuk hingga perkembangan pariwisata mendukung keberadaan band. Setidaknya  sejak 1950-an, ketik a aneka pertunjukkan hiburan dan lomba musik kerap digelar di Kota Bandung.  Ebed Kadarusman, Theresa Zen, Sam Saimun datang dari era ini.
Pada era 1950-an, pertunjukkan musik  kerap di gelar dalam frekuensi  yang cukup sering  di Hotel Savoy Homman, Hotel Lembang, Bumi Sangkuriang di Cimbeleut,  Lyceum di Jalan Dago, Karang Setra, hingga bioskop Varia dan berlanjut di Bioskop Nusantara.  Musik rock n roll dari Barat, jazz (sekalipun masih minoritas)  menjadi kiblat musisi era itu.  Di satu sisi musik tradisional tetap eksis berkat upaya seniman seperti Mang Koko dan Mang Udjo. Â
Kota Bandung yang punya catatan  perkembangan musik  dibanding kota-kota lain di Indonesia, bahkan Jakarta yang masa itu baru berupa The Big Village.  Hasil riset saya menunjukkan bahwa  jumlah rasio pertunjukkan musik, band dan keberadaan musisi dibanding populasi penduduk, Bandung menunjukkan keunggulan.  Bandung adalah kota metropolis pertama, sejak masa Hindia Belanda ketika sudah menjadi Parys van Java.Â
Beberapa ajang yang mendukung kegiatan musik yang pernah berlangsung pada 2000-an seperti Braga Festival, ternyata sudah pernah diadakan akhir Agustus hingga awal September 1961, diadakan untuk menyambut Pon ke V di Kota Bandung beberapa minggu kemudian. Â Jawara musik Bandung tahun 1950-an seperti Theresa Zen, Â menurunkan penyanyi yang juga mumpuni seperti Lita Zen.
Jadi sebetulnya kultur musik sudah lama berakar di kota Bandung. Hanya tinggal keberanian pemerintah kota Bandung untuk menyatakannya. Â
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H