Memang Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie waktu kerusuhan sedang berada di luar kota, tetapi beberapa perwira Siliwangi seperti Kosasih sudah lama mempunyai kecenderungan anti pada ekspansif ekonomi Tionghoa (Sundahaussen, 1986:313).Â
Dalam catatan saya praktik spekulasi kebutuhan bahan pokok, ijon, Â diidentikan dilakukan orang-orang Tionghoa. Â Sekalipun rasanya tidak adil kalau menuding semua orang Tionghoa yang bergerak di bidang perdagangan berlaku curang. Â
Persoalannya, ekonomi warga kota sejak akhir 1950-an hingga awal 1960-an dalam kesulitan. Â Warga Bandung beberapa kali dihadapkan dengan menghilangnya gula, beras, minyak tanah, serta bahan pokok lainnya. Â Â
Selain faktor ekonomi dan keresehan di kalangan mahasiswa, sulit disangkal faktor politik juga beperan dalam kerusuhan itu. Â Para perwira Siliwangi, kata Sundahaussen menyembunyikan tokoh-tokoh mahasiswa di rumah mereka untuk menghindari penangkapan polisi pada minggu-minggu berikutnya setelah kerusuhan.Â
Apa yang diungkapkan Sundahaussen merupakan keniscayaan, sejumlah literatur sejarah menyebut, pada era 1960-an  Angkatan Darat adalah lawan dari  PKI.  Setelah kerusuhan 10 Mei 1963, PKI  dan organisasi mahasiswanya mengecam huru-hara itu.  Jadi Angkatan Darat mempunyai kepentingan untuk melindungi tokoh-tokoh mahasiswa.
Kerusuhan Mei 1963 menurut saya sebetulnya adalah kerusuhan rasial yang paling gawat dalam sejarah Republik Indonesia karena melibatkan golongan pelajar dan mahasiswa yang harusnya lebih toleran dan kepala dingin, mengedepankan dialog. Â Kalangan terpelajar ini bahkan ikut dalam pengerusakan merupakan ciri khas kerusuhan ini, sementara rakyat jelata mengikuti.Â
Pada waktu itu belum ada media sosial dan akses terhadap media cetak juga terbatas, tetapi skala luas cakupan wilayah kerusuhan  tergolong besar. Apalagi  hanya terjadi  dalam waktu sekitar dua minggu.
Irvan Sjafari
Sumber Primer:
Pikiran Rakjat, 11, 13 Mei 1963
Sumber Buku: