Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerusuhan Rasial 10 Mei 1963, Analisa Awal

10 Mei 2018   20:52 Diperbarui: 10 Mei 2018   21:29 3585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haedline Pikiran Rakjat 11 Mei 1963-Foto: irvan Sjafari Repro Pikiran Rakjat.

Sekitar tengah hari Pasar Sukabumi dan toko-toko serta rumah-rumah milik orang Tionghoamusnah dibakar massa. Rasa kebencian semakin memuncak ketika ditemykan timbunan barang-barang keperluan hidup seperti teksti,  gula pasir,minyak tanah dan beras di rumah-rumah orang Tionghoa.  Barang-barang itu dibutuhkan  masyarakat dan waktu itu harganya sangat tinggi.

Presiden soekarno menyatakan gerakan rasialis itu merupakan gerkan kontarevolusi  dan emnuduh bahwa di belakang kerusuhan itu partai-partai politik yang sudah dilarang seperti Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia.  Akhir Juli 1963 Dedi Iskandar divonis enam bulan penjara.

Gambaran kerusuhan - Foto; irvan Sjafari Repro Pikiran Rakjat.
Gambaran kerusuhan - Foto; irvan Sjafari Repro Pikiran Rakjat.
Kesenjangan Sosial di Kalangan Kaum Terpelajar

Sejumlah literatur menyebutkan bahwa latar belakang kerusuhan 10 Mei 1963 akibat dikuasainya perekonomiaan oleh orang Tionghoa baik di kota-kota mapun di desa.  Pada pertengahan tahun 1960 hampir 75% toko-toko tingkat grosir dan agen di Jawa Barat dikuasai orang Tionghoa dan sampai 1963 hanya 15% yang  dikuasai pribumi (Lubis, 2003:316).

Kesenjangan kehidupan ekonomi antara orang pribumi dan orang Tionghoa  juga terjadi di sektor pendidikan.  Kesulitan keuangan selama masa Demokrasi Terpimpin dirasakan oleh sekolah-sekolah negeri.  Kekurangan guru, ruangan dan ala-alat mengajar dirasakan sekolah negeri yang mayoritasnya pribumi. 

Sementara anak-anak Tionghoa karena ekonomi lebih baik belajar di sekolah swasta yang prasarana relatif baik hingga menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan. 

Kesenjangan sosial terlihat dari fasilitas yang dimiiliki untuk berangkat ke sekolah, anak-anak Tionghoa menggunakan  kendaraan sepeda motor maupun mobil. Sementara anak-anak pribumi umumnya berjalan kaki.  Menurut sumber dari mahasiswa ITB yang kuliah pada masa itu, perilaku mahasiswa keturunan di dalam kampus seperti "booking" tempat duduk di depan kelas.

Kecemburuan ini sepertinya tidak terbaca oleh Pemerintah Soekarno yang terkonsentrasi dengan masalah Pembebasan Irian Barat hingga anti imprealismenya.  Pada Mei 1963 kebetulan ada bencana meletusnya Gunung Agung. Sementara penentu kebijakan ekonomi stagnan dengan Deklarasi Ekonominya. 

Prolog peristiwa Bandung sebetulnya sudah dimulai pada peristiwa Kerusuhan Cirebon pada 28 Maret 1963.

Ceritanya pada 26 Agustus 1962 terjadi kecelakaan lalulintas antara seorang pelajar SMAN Cirebon bernama khriswanto mengendarai mobik bak terbuka menabrak sebuah sepeda motor yang dikendarai dua pemuda Tionghoa Tan Gie Tjang dan Lie Oey.  Dalam kecelakaan itu Gie Tjang tewas dan Oey Sie luka berat.  Tidak ada masalah awalnya.

Namun pada sidang Pengadilan di Cirebon pada 27 Maret 1963 pernyataan hakim The Yoan Goang, SH dianggap para pelajar menghina seorang guru sekolah pribumi menjadi saksi.  Hal ini mengundang kemarahan para pelajar dan sidang terpaksa ditangguhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun