Kerusuhan Menjalar ke Sumedang, Bogor dan Sukabumi
Kerusuhan juga terjadi di Sumedang pada 11 Mei 1963, bahkan tidak diduga sama sekali. Sejumlah orang yang diduga mahasiswa dan pelajar menyerang  dan merusak 20 toko milik orang Tionghoa dan WNI. Mereka datang dari luar kota dengan memakai kendaraan dan mampir di sebuah SLTA untuk mengajak para pelajar di Sumedang untuk ikut melakukan penyerangan.  Beberapa pelajar Sumedang kedapatan ikut terlibat dalam penyerangan.
Kerusuhan di Sumedang terjadi justru ketika Bupati Sumedang mengadakan rapat dengan Kepala Sekolah SLTP dan SLTA di Sumedang dengan wakil-wakil dari golongan Tionghoa untuk membahas kerusuhan di Bandung.  Mereka membicarakan pencegahan, namun  baru saja selesai rapat kerusuhan sudah meletus.
Sejumlah mahasiswa dan pelajar yang ditahan masih mengalami pemeriksaan hingga Senin 1963 tidak diketahui berapa persisnya. Â Namun di antara yang tertangkap terdapat pelajar tanggung atau masih di bawah umur.Â
Selain di Bandung, kerusuhan rasial ini meletus di Bogor pada 15 Mei 1963. Peristiwa ini bermula pada perkelahian antara pelajar pribumi dan pemuda Tionghoa juga dilatarbelakang kesenjangan sosial antara pribumi dan Tionghoa. Peristiwa itu bermula dari terbunuhnya seorang pelajar SMPN Bogor dari Sukaraja, Sukabumi bernama Ahmad Tajuddin yang meninggal akibat ditikam seorang pemuda Tionghoa.
Reaksi keras terjadi dipelopori para pelajar dengan melakukan perusakan terhadap harta benda milik orang Tionghoa di Bogor.
Kerusuhan menjalar ke Sukabumi ketika jenazah Amad Tajuddin di bawah ke rumah orangtuanya di Sukaraja. Â Prosesi pemakaman diiringi oleh ratusan pelajar SMPN Bogor yang tak henti-hentinya memberitahu masyarakat bahwa Tajuddin dibunuh orang Tionghoa, melalui pengeras suara.Â
Jenazah dibawa keliling Kota Sukabumi meneriakaan kata-kata rasialis. Pucaknya, pidato anggota DPRD-GR Kabupaten Sukabumi bernama Dedi Iskandar menyulut emosi massa. Â Dedi menyinggung pembunuhan Tajuddin
Sabtu 18 Mei 1963 para pemuda dan pelajar dari Sukaraja mempelopori aksi perusakan rumah-rumah, toko-toko dan membakar kendataan milik orang Tionghoa di Sukabumi. Â Aksi itu mereda menjelang senja ketika polisi dan tentara masuk dari lima penjuru kota, Sukaraja, Cisaat, Baros, Jalan Pelabuhan dan Jalan Salabintana.
Tetapi pada 19 Mei 1963 gerakan massa rakyat pribumi lebih besar walau kota sudah dijaga. Â Cukup menajdi tanda tanya aparat keamanan membiarkan massa rakyat masuk asalkan jangan lewat di depan mereka. Â Kerusakan hari kedua lebih besar, truk, bis, becak milik orang Tionghoa dibakar dan dimusnahkan. Â
Kerusakan menjalar ke tempat abu persembahyangan penganut Kong Hu Chu yang dianggap sebagai pusaka orang Tionghoa yang selalu dipuja dan membuat mereka kaya.