Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bukankah Tayangan Televisi Cerminkan Pemirsanya?

27 Maret 2018   09:44 Diperbarui: 27 Maret 2018   12:08 1813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: popmagz.com)

Saya percaya apa yang disajikan di televisi merupakan cerminan pemirsa atau penontonnya. Setidaknya dapat mewakilkan keinginan penontonnya. Jika ada program yang mempertunjukkan perilaku bullying atau risak sebagai hal yang lucu dan bukan sebagai hal yang mengkhawatirkan, tidak mengherankan kalau kenyataannya perilaku bullying di sekolah, kampus, hingga di lingkungan pemukiman masih kerap terjadi.

Saya tidak heran kalau masyarakat Indonesia begitu terpesona kepada gemerlap hidup selebritas, karena itu keinginan di bawah sadarnya. Tayangan infotainment lebih banyak bertebaran hampir di semua stasiun televisi dengan isi mengupas kehidupan pribadi selebritas, termasuk masalah rumah tangga, selingkuh, pelakor dan sejenis itu. Bukankah acara tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat yang menyukai gibah?

Begitu juga pilihan terhadap tontonan sinetron, entah itu jenis drama atau komedi situasi, hanya ada dua tema besar yang saya amati. Yang pertama yang menampilkan kemewahan para tokohnya dengan segala intrik pelakunya, sebangun dengan telenovela, Bollywood, hingga drama K-Pop. Tidak ada yang berubah, kecuali kemasannya.

Termasuk juga drama yang katanya berbau religi yang salah kaprah. Soundtrack-nya memang religi dengan pelakunya yang menggunakan busana muslim, tetapi inti ceritanya sebetulnya 11-12 dengan tayangan sinetron tahun 1990-an.

Yang kedua, ialah tayangan tentang kehidupan orang pinggiran, kampung, seperti Tukang Ojek Pengkolan dan Dunia Terbalik yang penontonnya mencapai ratusan hingga ribuan episode. Ada pemirsa menyukai tayangan ini karena memang serupa dengan apa yang mereka rasakan sehari-hari. Sebetulnya juga hal yang baru, karena formula itu sudah dipelopori Si Doel Anak Sekolahan.

Karena formula itu laku, maka stasiun televisi berlomba-lomba membuat program yang sama, seperti halnya infotainment, acara musik, reality show, dan akhirnya stasiun televisi hampir tidak punya karakter.

Terobosan membuat sinetron seperti Salah Asuhan, seperti yang saya duga, dihentikan di tengah jalan dengan alasan rating menurun. Sebetulnya banyak sinetron yang serupa yang punya visi, tetapi apa boleh buat, harus tunduk dengan kondisi pasar. Tidak ada pertanggungjawaban, pokoknya ganti saja.

Bagaimana dengan tayangan religi? Guru Besar Ilmu komunikasi UIN Bandung dalam tulisannya Citra Baru Islam dalam Pikiran Rakyat, 27 Februari 2018 menyebutkan, televisi lebih banyak menyajikan tayangan keislaman yang lebih bernuansa guyonan tidak serius, kasual, dan cenderung lebih mudah diterima logika masyarakat awam.

Itu sebabnya televisi lebih banyak menampilkan Ustad Maulana karena lebih mudah dicerna masyarakat muslim umum di Indonesia ketimbang sajian Islam dalam corak pemikiran Quraish Shibab. Kecuali jika pemirsa ingin mencari kedalaman pemaparan tentang substansi ajaran Islam. 

Hanya pada momen tertentu, seperti Ramadan hal yang kedua ini dimunculkan.

Bagaimana dengan tayangan musik? Indosiar mencoba menjadikan dangdut sebagai ikonnya, lewat pencarian bakat mulai Akademi Dangdut Indonesia hingga Asia. Di satu sisi saya salut terhadap upaya ini. Untuk pertama kalinya dangdut "menyatukan" Sabang sampai Merauke, bahkan juga Asia Tenggara.

Saya jadi kagum ketika Thailand (selatan) ternyata punya penyanyi dangdut, begitu juga dengan negara Timor Leste. Peserta dari luar Indonesia, bukan hanya negara yang punya budaya Melayu, seperti Brunei, Singapura, dan Malaysia.

Di sisi lain pengemasannya lebih banyak menyajikan komentar para juri yang memakan durasi cukup banyak, lebih banyak guyonan. Apa boleh buat, penonton menyukainya. Tapi bagi saya akhir itu mencerminkan bahwa begitu karakter penonton acara ini, sebetulnya sebangun dengan acara dakwah keislaman yang lebih suka guyon.

Selain itu stasiun televisi kerap memutar ulang film Hollywood atau Hongkong. Film Home Alone, Baby's Day Out, Rush Our Jacky Chan, dan sebagainya bergantian hampir di semua stasiun televisi. Apakah memang stasiun televisi kehabisan ide atau kehabisan dana untuk mengisi slot?

Kalau memang menghadapi masalah-masalah itu, mengapa televisi memaksakan diri untuk siaran 24 jam? Saya kira itu juga merupakan faktor, selain kehilangan karakter. Saya melihat bukan lebay, tetapi pengelola stasiun televisi gamang mencari cara untuk bertahan.

Saya yakin SDM di televisi melalui seleksi yang baik. Di antara mereka juga sadar kalau ada tayangan yang tidak mendidik. Tetapi stasiun butuh dana dari iklan dan iklan hanya mau pasang pada tayangan yang ditonton banyak orang.

Pertanyaan lain berapa penonton yang kritis sebetulnya? Saya khawatir tidak banyak. Mereka masih ada di jalan di tengah macet, sedang nongkrong di kafe bagi yang lajang bersama komunitasnya, ketika prime time di televisi. 

Yang tinggal di rumah siapa? Ibu rumah tangga (yang bukan wanita karir atau pekerja), para pembantu rumah tangga, anak-anak sekolah? Dari golongan menengah, setahu saya punya televisi kabel atau nonton DVD. 

Saya sendiri orang yang terpaksa masuk perangkap rutinitas. Acara favorit saya "Jazzy Nite" dari Kompas TV, kalau perlu saya nonton langsung dari Citos kalau penyanyinya favorit saya seperti Yura atau Mocca.

Sekali-sekali saya nonton Indonesian Idol atau pencarian bakat hanya untuk bisa memetakan siapa penyanyi masa depan. Acara pagi di Kompas TV atau Net TV kalau saya sedang tidak shift kerjaan saya ikuti, karena ada penyanyi band indie, alternative.

Pada 1990-an saya selalu menanti X-Files, yang Alhamdullilah diputar agak larut malam. Jadi pulang kerja bisa nonton. Hanya dua atau tiga episode yang terlewat. Dulu RCTI pernah memutar Dunia Tanpa Koma, saya usahakan menonton kalau tidak di rumah, ya di kantor. Pulang malam, pulang malam.

Jejak Petualang, juga sebetulnya terobosan yang bagus, bisa memberikan referensi. Sayang setelah ditinggal Riyanni Djangkaru dan Medina Kamil jadi tidak menarik. Kalau acara musik, tergantung penyanyinya siapa.

Acara Indonesia Lawyer Klub Karni Ilyas, Mata Najwa atau sejenisnya berisi, tetapi berada di jam yang saya sedang di jalan. Kalau pun saya di rumah harus berebut dengan anggota keluarga yang lebih suka menonton Dunia Terbalik atau film.

Saya pernah bertanya sama ibu-ibu mengapa tidak suka tayangan mencerdaskan itu? Dengan santai mereka menjawab, "Ngapain menonton tayangan yang rumit, hidup saja sudah susah!" Kalau politik, debat capres, yang peduli adalah mereka yang di jalan waktu acara dimulai, bukan segmen prime time. Mereka hanya ingin tahu, kok listrik tolken kok jatuhnya lebih mahal dari yang abondemen? Kok kebutuhan hidup makin mahal?

Nah!

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun