Gadis-gadis desa sekarang sudah menggunakan ponsel. Saya juga sepakat dan tahu persis teman-teman saya di desa juga menggunakan ponsel. Kawan perempuan saya yang tinggal di Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Malang lebih "gadget freak" dari saya.
"Kalau menyelipkan bunga di rambutnya, anak desa yang main harmonika sudah nggak lihat," kata Mutia. Â
Saya sebetulnya sudah menduga hal itu. Anak desa saat ini sudah akrab dengan internet, band dan tentunya gawai, termasuk bermain gim. Â Mereka tidak lagi memainkan harmonika, apalagi seruling seperti puluhan tahun yang lampau. Â Entah bagaimana di kawasan lain, yang tak terpantau oleh saya, bisa saja masih.
Ketika saya main ke Kabupaten Bogor dan Sukabumi karena saya punya kenalan di sana, yang sering saya lihat gadis-gadis menggunakan sepeda motor. Termasuk buruh pabrik sekali pun. Itu yang saya lihat sendiri.  Ketika saya mengunjungi  kegiatan komunitas pendidikan alternatif di Ciawi beberapa tahun yang silam, perempuan desa sudah berubah. Mereka memotret dengan ponsel.
Gambaran yang diberikan sinetron atau FTV kita tentang orang desa yang lugu kerap keliru. Gadis atau pemuda desa digambarkan akrab dengan kambing, sudah tidak tepat lagi. Memang masih ada.  Apalagi gadis desa yang bisa dengan mudah jatuh hati  pada pemuda kota, seperti gambaran FTV. Saya meragukan hal itu.  Â
Gambaran yang lebih baik diungkapkan sinetron berseri "Dunia Terbalik", perempuan Desa Ciraos malah menjadi pencari nafkah, digambarkan lebih pandai karena menjadi TKW (dapat pelatihan), sementara laki-lakinya menjadi bodoh dan pemalas. Saya khawatir justru ini mendekati kenyataan.
Yang masih relevan ialah nasih buruh pabrik. Tingkat pendidikan perempuan di banyak desa mungkin masih rendah, pernikahan dini masih terjadi, hingga angka perceraian juga jadi tinggi. Adanya kawin kontrak juga menjadi persoalan.Â
Selain itu patut juga ada penelitian apakah kehidupan orang desa masih harmonis, memegang kearifan lokal, peduli pada lingkungan? Laporan kawan jurnalis saya di Lampung masih membenarkan hal itu. Setahu saya di Kampung Naga, Tasikmalaya masih berlaku.
Persoalan paling krusial bukan soal gaya hidupnya. Tetapi lahan pertanian makin berkurang tergerus oleh keberadaan pabrik, industri, bahkan  pendirian "kota mandiri" untuk orang kaya di Jakarta, terutama di Jawa Barat.  Â
Selain itu apakah pemuda desa masih mau menjadi petani? Juga menjadi tanda tanya. Mereka ragu apakah kehidupan petani menjanjikan. Dalam Bahasa Inggris petani kita adalah Peasant alias petani penggarap, bukan Farmer, petani pemilik lahan yang mengerjakan ladangnya dengan teknologi seperti di Amerika.
Yang punya kesadaran bertani untuk model kedua justru kalangan kelas menengah perkotaan denagn gerakan berkebun yang digagas antara lain oleh Wali Kota Bandung  Ridwan Kamil. Orang-orang seperti ini menggunakan hidroponik dan teknologi  memanfaatkan lahan sempit.