Di Jawa Barat, beredar isu bahwa buruh-buruh juga akan mengambil alih perkebunan milik Warga Negara Belgia, mengikuti aksi di Sumatera Utara. Â Khawatir aksi ini bakal menjalar ke Jawa Barat, Â pada Rabu, 22 Maret 1961 Kepala Penerangan Peperda Jawa Barat Mayor M. Jamil menyampaikan pesan Pangdam Siliwangi Kolonel Ibrahim Adjie kepada pers.
Isi pengumuman itu melarang siapapun yang melakukan tindakan anarki terhadap Warga Negara Belgia beserta hak miliknya. Pangdam mengancam akan menindak para pelaku sesuai dengan UU Peraturan.
"Pengumuman ini tidak mengurangi simpati atas perjuangan rakyat Kongo menentang kolonialisme," ujar Ibrahim Adjie  seperti dikutip dari Pikiran Rakjat, 23 Maret 1961. Â
Untuk meredam kekhawatiran para pemilik perkebunan diadakan pertemuan antara Kepala PPN Jawa Barat Perwira Pengawas Kolonel Oon Abdurrachman dengan perwakilan Warga Negara Belgia, serta pihak kepolisian pada 7 April 1961.
Pertemuan ini dilakukan di Kantor Kepolisian Komisariat Jabar Jalan Braga menghasilkan keputusan bahwa perkebunan milik Warga Belgia diawasi PPN Jawa Barat. Â Pihak PPN menjamin bahwa pengawasan bukan pengambilalihan. Hadir dalam pertemuan itu Gubernur Jawa Barat R. Basarah Adiwinata, Kepala Polisi Komisariat Jawa Barat RE Danubrata.
Bukan hanya golongan kiri, reaksi keras ditunjukkan juga ditunjukkan kalangan mahasiswa. Pada 22 Februari 1961 Dewan Mahasiswa Universitas Padjajaran mengeluarkan pernyataan mengutuk pembunuhan Lumumba oleh apa yang disebut komplotan kolonialisme dan imprealisme terhadap Pahlawan Kemerdekaan Kongo.
Isu Kongo di PBB Â
Bagi Indonesia isu Kongo bersamaan dengan semangat pembebasan Irian Barat. Itu sebabnya dalam sidang PBB Indonesia menyatakan dukungannya. Â Pada Kamis 12 Januari 1961, Delegasi Indonesia di PBB mengecam Belgia agar menghentikan kejahatannya di negara itu.
Dalam sebuah komunike, Â Indonesia mendesak Belgia menarik personel militer, setengah militer, maupun sipil dari Kongo. Indonesia menyebutkan, Belgia memanfaatkan Rwanda dan Urundi sebagai pengkalan untuk melakukan penyerangan ke Kongo.
Yang menarik ialah pada waktu itu Sekjen PBB dijabat oleh Dag Hammarskjold dari negara Norwegia, negara yang relatif netral dalam perang dingin. Â Dalam sebuah pernyataannya pada awal Februari 1961 Hammarskjold menuding Angkatan Darat Kongo menjadi ancaman bagi ketertiban di negaranya sendiri.
Dia meminta Angkatan Darat Kongo yang dipimpin Mobutu dibebaskan dari kegiatannya. Tindakan ini bisa mengurangi pertempuran antar golongan di Kongo. Hammarskjold meminta Dewan Keamanan PBB memperkuat mandatnya. Â Â