Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tragedi Kongo dan Kiprah Pasukan Garuda II 1960-1961

2 Maret 2018   18:47 Diperbarui: 2 Maret 2018   20:48 6070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Letkol Solichin dan Mobutu di Kongo/Foto: Repro Pikiran Rakjat, 1960 oleh Irvan Sjafari

"Tragedi Lumumba memberi petunjuk pada kita bahwa para pemimpin Kongo masih berjiwa terlalu bernafsi-nafsi dan belum meningkat pada kesadaran bahwa mereka ini termasuk suatu bangsa. Keadaan begini dengan mudah saja dipergunakan Belgia mengadu domba rakyat Kongo". Demikian tulis Rosihan Anwar 'Matinya Patrice Lumumba' (Anwar,1980:12).

Pikiran Rakjat edisi 14 Februari dan  18 Februari 1961 menjadikan terbunuhnya Perdana Menteri Kongo pada hari Minggu 12 Februari 1961 menjadi salah satu headlinenya.  Harian itu menulis bahwa Lumumba tewas oleh Kapten (polisi) Belgia bernama Tshombe.

Dalam harian itu disebutkan, pernyataan pemerintah Kongo,  Lumumba justru dibunuh oleh penduduk desa di Katanga.  Anehnya, pemerintah juga menyatakan tidak melakukan pengusutan atau memperkarakannya. Sejumlah referensi menyebut bahwa kematian Lumumba justru dilakukan oleh regu tembak Pasukan Kongo sendiri. Pembunuhan itu sebenarnya terjadi  pada 17 Januari 1961 di tempat yang dirahasiakan (Mukthi, MF, 2012).

Lumumba terbunuh bersama Wakil Ketua Senat Joseph Okita, Menteri Urusan Pemuda dan Olahraga Maurice Mpolo di sebuah desa di Katanga.  Lawan politiknya trio Kasavubu-Mobutu-Tshombe beberapa kali berusaha menyingkirkan Lumumba.

Kelahiran Katako Kombe, 2 Juli 1925 ini mendapatkan pendidikannya di sekolah misi  dan kemudian bekerja sebagai kantor pos di Stanleyville. Kiprah politik Lumumba sebetulnya baru mencuat pada 1958 ketika dia menjadi Presiden Gerakan Nasional Kongo.

Awalnya Lumumba seorang moderat, tetapi kemudian dia merasa tidak puas dan memisahkan diri dari partainya, menjadi aktivis politik yang lebih radikal pada Juli 1959. Sayap radikal yang dipimpinnya tumbuh menjadi lebih kuat dan dia dipenjara pemerintah Kolonial Belgia pada November 1959.

Namun gerakan kemerdekaan Kongo tidak bisa dibendung lagi. Setelah melalui perundingan meja bundar, Kongo memperoleh kemerdekaan pada tengah malam 30 Juni 1960. Lumumba menjadi Perdana Menteri Kongo.

Analis politik masa itu menuding Lumumba adalah korban persekongkolan dunia Barat, Belgia yang tadinya penjajah Kongo, Prancis dan kemungkinan Amerika Serikat. Encyclopedia Americana  Volume 17, 1983 menyebutkan, Lumumba tewas karena mencoba melarikan diri. Secara tersirat diungkapkan bahwa Lumumba mencoba meminta bantuan Uni Soviet. Sekalipun pada pertengahan 1960  Lumumba mengatakan, tidak anti AS dan Eropa.

Di mata AS dan sekutunya Lumumba begitu radikal  dan "nasional ekstrem". Lumumba tewas pada usia 36 tahun, pemimpin muda yang berjasa mendatangkan kemerdekaan bagi bangsanya.

Patrice Lumumba/Foto: Africant Exponent.https://www.africanexponent.com/post/8734-the-us-and-belgium-killed-patrice-lumumba
Patrice Lumumba/Foto: Africant Exponent.https://www.africanexponent.com/post/8734-the-us-and-belgium-killed-patrice-lumumba
Perang Saudara Pecah  Setelah Proklamasi

Belgia seperti setengah hati melepas Kongo. Perang Dingin memang membuat situasi di Kongo bertambah runyam. Walaupun upacara kemerdekaan republik ini dipimpin langsung oleh Raja Belgia Boudouin I pada tengah malam 30 Juni 1960.  Patrice Lumumba sebagai Perdana Menteri terpilih melalui pemilu yang demokratis pada 24 Juni 1960.

Bahaya perpecahan di Kongo sudah diprediksi media massa sejak kemerdekaan diproklamirkan.  Penyebabnya ada berbagai faktor, di antaranya kesenjangan antar satu provinsi dengan provinsi lainnya, serta banyaknya suku di Kongo.  

Provinsi Katanga adalah kawasan kaya akan mineral, seperti uranium, tembaga dan intan.  Lumumba dan Kasavubu sejak awal memang dianggap tokoh kunci dalam penyatuan politik negara itu. Media massa Barat tidak menggolongkan Lumumba sebagai orang beraliran kiri awalnya.

Yang dianggap orang beraliran kiri sebetulnya adalah Wakil Perdana Menteri Antoine Gizenga, pimpinan Partai Setiaka dan berkuasa di kawasan Leopodville dan Menteri Penerangan Kashamura. Orang-orang ini sebetulnya bisa menerima gagasan komunisme.  Persoalannya justru Lumumba merangkul mereka dan menawarkan kedudukan menteri.

Prediksi ini benar. Hanya 6 hari setelah Kongo merdeka sejumlah tentara Kongo memberontak terhadap perwira mereka di Leopoldville. Mereka menuntut upah mereka dinaikan dan perwira kulit putih digantikan bangsa Afrika. 

Tentu saja pemberontakan ini merusak reputasi Lumumba yang sudah menjamin bahwa para perwira bangsa Belgia masih memimpin sejumlah pasukan hingga perwira bangsa Afrika sendiri mampu. Tidak diketahui siapa yang memprovokasi pemberontakan itu, tetapi pemicunya adalah kesenjangan gaji.  Hal yang tampaknya tidak diperhitungkan Lumumba ialah terlalu percaya pada sistem demokrasi Barat dan melupakan peran tentara yang mempunyai penghidupan rendah.      

Masalah lebih besar terjadi bukan saja sekadar perlawanan terhadap perwira Eropa, tetapi juga teror kemudian terhadap penduduk bangsa Eropa di Thysville.  Rumah mereka digedor dan terjadi beberapa pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan kulit putih.  Kerusuhan itumenelan korban jiwa beberapa orang Eropa. 

Tentu saja kejadian ini memberikan angin kepada Belgia melakukan intervensi. Pasukan payung Belgia kemudian muncul di Leopoldville dalam berapa hari. Mereka punya dalih untuk melindungi warga negaranya.  

Khawatir akan dampak lebih luas lagi, PBB  segera mengirim pasukan perdamaian. Pasukan ini kemudian tiba di Kongo pada pertengahan Juli 1960. Seperti yang diduga, pada pertengahan Juli itu juga Majelis Provinsi Katanga mensahkan keputusan Moise Tshomba menyatakan Katanga memisahkan diri dari Kongo. Antisipasi PBB terlambat.

Kekacauan ini memberikan legitimasi kepada lawan politik Lumumba. Pada 5 September 1960 Kasavubu melengserkan Lumumba karena dianggap memicu perang antar suku di Kongo. Dia mengangkat Ketua Senat Joseph Ileo sebagai Perdana Menteri baru.

Lumumba menolak hal itu dalam pidatonya dia mengatakan pemerintah yang dipilih secara demokratis tidak bisa diberhentikan, kecuali kalau tidak lagi dipercaya oleh rakyat. 

Hammarksjoeld memprotes masih adanya pasukan Belgia di Kongo. Pasukan itu terdiri dari 400 orang berada di lapangan terbang di Provinsi Katangga pada akhir Agustus 1960 .  Lumumba sendiri pada Kamis 15 September 1960 berada di bawah perlindungan pasukan PBB dari kepungan pasukan Bawaknga lawannya di Leopoldville.

Ironinya, Lumumba  dalam seeuah pidatonya sempat meminta pasukan PBB meninggalkan Kongo, sehari sebelumnya. Dia yakin Kongo bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Suatu sikap bahwa dia sendiri sebetulnya gamang menghadapi situasi yang tidak diduganya.

Pemerintah Uni Soviet pada pertengahan Februari 1961 menuntut, supaya pasukan PBB yang ditempatkan di Kongo menangkap Kepala Staf Tentara Kongo Mayor Jenderal Joseph Mobutu dan Moise Tshombe, yang menamakan dirinya Presiden Katanga untuk dibawa ke muka pengadilan.

Perjuangan Kemerdekaan Kongo segera menarik perhatian orang Indonesia yang saat itu sedang berjuang untuk pembebasan Irian Barat dan juga solidaritas yang berhasil ditanamkan lewat Konferensi Asia Afrika pada 1955.  Perjuangan kemerdekaan Kongo bersamaan dengan Aljazair dan beberapa negara Afrika lainnya, seperti Nigeria dan Angola 

Tiga hari setelah pembunuhan terungkap pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia dikeluarkan.  Menteri Luar Negeri Subandrio menerangkan, Lumumba bukan hanya pejuang kemerdekaan Kongo, tetapi ia merupakan simbol dari perjuangan dunia menentang kolonialisme.

Presiden Soekarno mengirimkan kawat belasungkawa kepada Wakil PM Republik Kongo Antonie Gizenga di Stanleyville, pada 19 Februari 1961 yang isi pernyataan, Indonesia sangat terkejut terhadap peristiwa pembunuhan Lumumba,  Okita dan Mpolo.

"Itu perbuatan jahat dari Kaum Imprealisme dan Kolonialisme," tuding Soekarno seperti dirilis Pikiran Rakjat, 23 Februari 1961.  Soekarno sendiri dalam pernyataan bersama dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Naser pada pertengahan Desember 1960 meminta kepada PBB memperbaiki keadaan di Kongo dan memungkinkan pemerintah yang sah secara bebas bekerja di bawah pimpinan Patrice Lumumba.

Kebetulan pada 10-15 April 1961 Indonesia menggelar Sidang Setia Kawan Asia Afrika di Bandung. Sidang itu diikuti 23 delegasi. Di antaranya terdapat delegasi dari Kongo dan Kamerun. Hadirnya delegasi Kongo juga menandakan bahwa simpati Indonesia pada negara itu begitu besar.  Dalam pembukaannya Soekarno mengatakan bahwa jika rakyat (negara terjajah) sedunia bersatu, imprealisme pasti runtuh.

Konferensi itu tampaknya ingin mengingatkan pada Konferensi Asia Afrika pada 18-24 April 1955. Namun hadirnya delegasi Uni Soviet dan RRC membuat kegiatan ini membuat persepsi bahwa Indonesia sebetulnya sedang bergerak ke arah kiri.

Reaksi di Masyarakat

Pembunuhan atas Lumumba terjadi saat  kelompok kiri  di Indonesa  secara politik sedang menguat. Mereka  memanfaatkan pembunuhan Lumumba untuk kepentingannya.  Mereka tahu bahwa rakyat Indonesia juga masih ingat waktu Perang Kemerdekaan, Belgia adalah wakil Belanda dalam Komisi Tiga Negara. 

Buruh-buruh perkebunan  di Labuan Batu, Sumatera Utara, marah. Mereka mengambil-alih perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belgia di daerah Mrangir, Aek Paminke. Pemuda Rakyat, organisasi onderbouwPKI dalam Kongres di Kupang pada 20-22 Juli 1961 mengutuk pembunuhan Lumumba.

Di Jawa Barat, beredar isu bahwa buruh-buruh juga akan mengambil alih perkebunan milik Warga Negara Belgia, mengikuti aksi di Sumatera Utara.  Khawatir aksi ini bakal menjalar ke Jawa Barat,  pada Rabu, 22 Maret 1961 Kepala Penerangan Peperda Jawa Barat Mayor M. Jamil menyampaikan pesan Pangdam Siliwangi Kolonel Ibrahim Adjie kepada pers.

Isi pengumuman itu melarang siapapun yang melakukan tindakan anarki terhadap Warga Negara Belgia beserta hak miliknya. Pangdam mengancam akan menindak para pelaku sesuai dengan UU Peraturan.

"Pengumuman ini tidak mengurangi simpati atas perjuangan rakyat Kongo menentang kolonialisme," ujar Ibrahim Adjie  seperti dikutip dari Pikiran Rakjat, 23 Maret 1961.  

Untuk meredam kekhawatiran para pemilik perkebunan diadakan pertemuan antara Kepala PPN Jawa Barat Perwira Pengawas Kolonel Oon Abdurrachman dengan perwakilan Warga Negara Belgia, serta pihak kepolisian pada 7 April 1961.

Pertemuan ini dilakukan di Kantor Kepolisian Komisariat Jabar Jalan Braga menghasilkan keputusan bahwa perkebunan milik Warga Belgia diawasi PPN Jawa Barat.  Pihak PPN menjamin bahwa pengawasan bukan pengambilalihan. Hadir dalam pertemuan itu Gubernur Jawa Barat R. Basarah Adiwinata, Kepala Polisi Komisariat Jawa Barat RE Danubrata.

Bukan hanya golongan kiri, reaksi keras ditunjukkan juga ditunjukkan kalangan mahasiswa. Pada 22 Februari 1961 Dewan Mahasiswa Universitas Padjajaran mengeluarkan pernyataan mengutuk pembunuhan Lumumba oleh apa yang disebut komplotan kolonialisme dan imprealisme terhadap Pahlawan Kemerdekaan Kongo.

Isu Kongo di PBB  

Bagi Indonesia isu Kongo bersamaan dengan semangat pembebasan Irian Barat. Itu sebabnya dalam sidang PBB Indonesia menyatakan dukungannya.  Pada Kamis 12 Januari 1961, Delegasi Indonesia di PBB mengecam Belgia agar menghentikan kejahatannya di negara itu.

Dalam sebuah komunike,  Indonesia mendesak Belgia menarik personel militer, setengah militer, maupun sipil dari Kongo. Indonesia menyebutkan, Belgia memanfaatkan Rwanda dan Urundi sebagai pengkalan untuk melakukan penyerangan ke Kongo.

Yang menarik ialah pada waktu itu Sekjen PBB dijabat oleh Dag Hammarskjold dari negara Norwegia, negara yang relatif netral dalam perang dingin.  Dalam sebuah pernyataannya pada awal Februari 1961 Hammarskjold menuding Angkatan Darat Kongo menjadi ancaman bagi ketertiban di negaranya sendiri.

Dia meminta Angkatan Darat Kongo yang dipimpin Mobutu dibebaskan dari kegiatannya. Tindakan ini bisa mengurangi pertempuran antar golongan di Kongo. Hammarskjold meminta Dewan Keamanan PBB memperkuat mandatnya.   

Pada Februari itu juga terjadi pertempuran sengit di Kindu, Provinsi Kivui, Kongo antara Pasukan PBB dari Nigeria melawan Pasukan Kongo. Pasukan Nigeria terkepung  oleh pasukan Kongo berkekuatan 7 kali lipat. Dalam pertempuran itu seorang perwira Nigeria berpangkat Letnan tewas dan 4 serdadunya hilang. Tidak diketahui berapa jumlah korban pasukan Kongo.

Mayor Surja dan Solichin/Foto: Repro Pikiran Rakjat, 1960 oleh Irvan Sjafari.
Mayor Surja dan Solichin/Foto: Repro Pikiran Rakjat, 1960 oleh Irvan Sjafari.
Kiprah Pasukan Garuda II di Kongo

Kongo juga punya arti penting, karena Indonesia mengirim tentara untuk menjadi bagian pasukan perdamaian PBB.   Di antara pasukan yang dikirim adalah  Batalyon Kujang 1 Siliwangi untuk Garuda II dipimpin  Letkol Solichin Gautama Purwanegara. Upacara timbang terima dari Dan Jon sebelumnya Mayor Surya Prasodjo ke Solichin  dilakukan meriah pada pukul 16.00 di Gelora, Bandung pada 29 Agustus 1960. Upacara ini dihadiri Gubernur Jawa Barat Kolonel Mashudi  dan Wali Kota Bandung Prijatnakusuma.

Pasukan Bataliyon Kujang I kemudian mengadakan defile keliling kota melalui Jalan Aceh, Wastukencana, Braga , Naripan, Asia Afrika dan Oto Iskandar Dinata. Penduduk Kota Bandung memagari setiap jalan yang dilalui.  Namun Pasukan Bataliyon Kujang I baru berangkat dari Bandung menuju Jakarta, Kamis 8 September 1960.

Solichin seperti dikutip Pikiran Rakjat, 10 September 1960 mengucapkan,

"Jakinlah, kami seluruh anggota Bataliyon Garuda II akan melaksanakan tugas yang dibebankan negara, dengan tekad jang ada pada kami, jaitu jang meliputi pyhisic dan mental. Tugas kami di luar negeri tak akan beda dengan di dalam negeri.."  

Pasukan Batalyon Garuda II berangkat ke Kongo menumpang Kapal USS Boxer, Sabtu 10 September 1960. Turut mengantarkan Ibu Fatmawati Soekarno, memberikan kalungan bunga kepada Letkol Solichin.  Para tokoh lain yang mengantar adalah KSAL Kolonel Jos Sudarso,  Panglima V Kodam V Umar Wirahadikusuma,  Brigjen Ahmad Yani.

Solichin, Kelahiran Tasikmalaya 21 Juli 1926 mempunyai latar belakang akademik menempuh pendidikan di ELS, MULO masa Hindia Belanda hingga US Army Infrantri School pada 1957. Sejarawan tentang Indonesia dari Australia  Ulf Shundausen mengungkapkan bahwa dalam Perang Kemerdekaan Solichin berasal dari latar belakang Tentara Pelajar (Shundausen, 1986, 310).   

Mantan Komandan Pasukan Garuda I yang menjadi pasukan perdamaian PBB di Sinai pada 1956-1957 Brigjen Suadi mengatakan dalam sebuah wawancara dengan media massa akhirAgustus 1960, tugas pasukan PBB di Kongo lebih berat karena menjadi juru damai orang sebangsa. Selain itu medannnya berupa hutan dan rawa. Mereka ditugaskan di Provinsi Kivu, di mana Albert Kalonji memprokalamirkan lepas dari Kongo, menyusul Provinsi Katangga.

Kiprah pasukan Indonesia di Kongo yang pertama terungkap di Pikiran Rakjat edisi 29 Oktober 1960. Pasukan Indonesia yang diberbantukan kepada Komando PBB dikerahkan ke garnizun Thysville dengan perintah menghalangi-halangi setiap kendaraan berlapis baja dari Mobutu,  yang bergerak ke Leopoldsville.

Insiden yang cukup serius menimpa pasukan PBB terjadi pada pertengahan November 1960, ketika pecah pertempuran antara pasukan PBB dengan pasukan Kongo yang mencoba memasuki Kedutaan Ghana (negara yang mendukung Lumumba di Leopoldville) yang berada di bawah perlindungan PBB.

Dalam pertempuran itu jatuh korban  7 orang tewas dan 7 luka-luka. Di antara yang tewas terdapat Kolonel Kokolo, orang kedua dalam komando setelah Mobutu.  Yang membuat kejadian Kongo menjadi perhatian media massa  di Indonesia munculnya berbagai laporan  yang memprediksi, adanya kemungkinan serangan kepada posisi pasukan Indonesia di Kongolo dari pasukan Suku Baluba di Katanga Utara.

Pada pertengahan Desember 1960, seorang prajurit dari Batalyon Garuda II gugur dan dua orang lain luka-luka. Mereka terkena ledakan ranjau di Selatan Kongo, Provinsi Katangga.  Ranjau itu ditanam pasukan Baluba. Pasukan Indonesia melakukan patroli keamanan ketika pasukan Baluba melakukan pemberontakan. Pikiran Rakjat, edisi 17 Desember 1960, menulis:

Suatu regu patroli dari pasukan Indonesia jang terdiri dari 3 orang memasuki jaringan ranjau dan seorang anggota regu patroli itu berusia 23 tahun bernama A. Basari telah tewas dan rekannya mendapat luka ringan.

Jenazah Prajurit kader Anumerta A Basari kemudian dipulangkan ke Indonesia pada Rabu 28 Desember 1960 dengan pesawat SAS di Lapangan kemayoran. Jenazah kemudian dikebumikan di Taman Makan Pahlawan Kuningan.  Upacara militer menyambut jenazah Basari dipimpin Deputi II KASAD Brgjen A. Yani.

Pertempuran antara pasukan PBB dengan pasukan Mobutu kerap terjadi. Pada waktu hampir bersamaan di Bukavu, Provinsi Kivu terjadi pertempuran antara pasukan Nigeria dengan pasukan Mobutu. Sebanyak 10 serdadu Mobutu dan seorang tentara Nigeria tewas .

Informasi lain tidak hanya menyangkut pertempuran, tetapi juga human interest dari Pasukan Batalyon Garuda II didapat dari surat yang dkirim Kapten Anjar Rachman, ajudan Solichin. Kapten Anjar mengatakan kerinduannya pada tanah air dan haus berita tentang kiprah pasukan Siliwangi. Dalam suratnya, antara lain dikatakan;

Pada 17 September di atas kapal diselenggarakan malam Indoensia untuk para opsir kapal dan sedikit pemberian buku-buku dalam Bahasa Inggris. Kami juga memamerkan wayang golek  dan ukiran-ukiran (Pikiran Rakjat 17 November 1960). 

Cerita menarik lainnya datang dari Kolonel Prijatna Padamawidjaja perwira penghubung PBB dan Batalyon Garuda II di Kongo medio November 1960  mengungkapkan,  kalau dari logistik kebutuhan pasukan dari Indonesia dicukupi PBB. Hanya saja mereka merindukan terasi, untuk sambal terutama. Prijatna juga menceritakan sejumlah orang Kongo sudah bisa berbahasa Sunda. Sementara serdadu Indonesia juga belajar Bahasa Nanggala, bahasa penduduk setempat.  Batalyon Garuda II bertugas sejak September 1960 hingga Mei 1961.

Diplomat Indonesia juga mengalami insiden di Kongo. Pada 9 November 1960, Diplomat Indonesia Surjono Darusman sempat ditahan selama dua jam oleh pasukan Mobotu ketika ia bertugas membuka perwakilan di Leopoldville. Surat yang dibawanya telah dilemparkan oleh para serdadu.  Dia dituduh mengadakan komplotan melawan Mobutu. Tentu saja Menteri Luar Negeri Subandrio memprotes insiden ini.

Sejarah kemudian mencatat apa yang terjadi pada 1960 hingga 1961 masih merupakan awal dari rangkaian perang saudara melanda negeri di Afrika itu. Sentimen primordialisme, rendahnya tingkat pendidikan, kesenjangan sosial membuat sitausi di Kongo mudah dimainkan negara-negara besar. Tentu saja apa yang terjadi di Kongo bisa dijadikan pelajaran bagi negara lain.   

Patrice Lumumba bukan saja tokoh satu-satunya yang mendunia tewas dalam tragedi di negerinya. Sekjen PBB Dag Hammarskjold sendiri meninggal dalam sebuah kecelakaan di Afrika pada September 1961 di utara Rhodesia (sekarang Zambia), dalam perjalanan menegosiasikan genjatan senjata di Katangga. Kecelakaan ini punya cerita kontroversi sendiri.  Sikapnya terhadap Kongo tidak menyenangkan negara-negara Barat dan kerap Uni Soviet sendiri.

Bagi Indonesia, sikap terhadap Kongo adalah hal yang menarik. Selain keterlibatan pasukan Garuda II, belum pernah suatu pergolakan kemerdekaan di negara Asia-Afrika mendapatkan reaksi yang begitu kuat, baik dari pemerintah Indonesia maupun dari bawah.  Padahal  isu Kongo baru mendapat perhatian besar pada 1960.  

Sayangnya tema ini belum banyak digarap para sejarawan atau pun calon sejarawan untuk mengkaji lebih dalam.  Hingga saat ini belum ada referensi yang saya saya temukan berkaitan dengan hubungan Indonesia-Kongo.

Irvan Sjafari

Sumber Primer:

Pikiran Rakjat, 1 Juli 1960, 7 Juli 1960, 8 Juli 1960, 9 Juli 1960, 15 Juli 1960,  19 Juli 1960, 30 Agustus 1960, 1 September 1960, 2 September 1960, 7 September 1960, 12 September 1960,   29 Oktober 1960,  16 November 1960, 23 November 1960, 1 Desember 1960, 13 Desember 1960,  20 Desember 1960, 28 Desember 1960, 29 Desember 1960, 4 Februari 1961, 6 Februari 1961, 14 Februari 1961, 15 Februari 1961, 16 Februari 1961,  18 Februari 1961, 23 Februari 1961,  23 Maret 1961, 8 April 1961, 11 April 1961

Referensi Sekunder

Anwar, Rosihan, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, Jakarta: Sinar Harapan, 1980.

Encyclopedia Americana, Volume 17, Connecticut, 1983

Klinken, Gerry Van, Making of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota Kupang, 1930-1n-1980-an, Jakarta: KITLV, Brill, 2014

Mukthi, MF, "Patrice Lumumba: Hilangnya Sebuah Mutiara Hitam" dalam Historia.id, 23 Maret 2012

Shundaussen, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967:  Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: LP3ES, 1986.

https://internasional.kompas.com/read/2017/10/18/10031951/mulai-terkuak-misteri-kecelakaan-pesawat-yang-tewaskan-sekjen-pbb

http://intisari.grid.id/Unique/Others/60-Tahun-Jadi-Pasukan-Pbb-Tunjukkan-Indonesia-Terus-Memperjuangkan-Perdamaian-Timur-Tengah?page=3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun