Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ayat-ayat Cinta 2 dan Paradigma Baru Film Religi

8 Januari 2018   14:06 Diperbarui: 8 Januari 2018   14:16 2030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan falam Film Ayat-ayat Cinta 2 (kredit Foto: id.bookmyshow.com)

Ayat-ayat Cinta 2, dalam satu hal sebangun dengan 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika (masing-masing punya sekuelnya).  Dua yang terakhir diangkat dari novel karya Hanum Salsabila Rais.

Menguji Thesis Huntington dalam Film Religi Indonesia  

Film-film ini seperti menguji thesis pakar ilmu politik Samuel Huttington tentang benturan peradaban (terutama Barat dan Islam)  yang disinggung dalam debat terbuka Fahri di Edinburgh.  Bagaimana kegalauan muslim yang tinggal di dunia Barat terhadap Islamphobia, isu terorisme dan mereka harus membuktikan bahwa Islam itu Rahmatan lil' alamin.  Hal yang sama juga ditunjukkan oleh My Name is Khan karya Sharul Khan.

Dalam karya anyar Kang Abik dan Hanum sikap humanis yang diunjukkan para tokoh-tokohnya adalah bantahan terhadap tudingan itu. Para tokohnya menunjukkan sikap toleran dan plural. Hulusi adalah mantan preman Turki yang dibantu oleh Fahri hingga jadi asistennya, Catarina tetangga Yahudi, hingga kakak beradik Keira dan Jason merupakan simbol plural.

 Pernyataan Fahri bahwa Pancasila itu ada dalam diri manusia Indonesia dan kebhinekaan itu ada di mana-mana tergambar baik.   

Fahri  seperti pasangan Rangga-Hanum merupakan orang Indonesia yang terdidik dan mampu beradaptasi dengan kehidupan Barat tanpa meninggalkan nilai-nilai Islamnya.  Rangga dan Hanum tidak menghakimi rekannya yang mabuk bahkan orang berbuat zhalim pada mereka seperti halnya Fahri. 

Sikap Hanum yang memberikan masakan Indonesia pada tetangga bule yang memusuhinya sama dengan cara Fahri mengantar Nenek Catrina ke Sinagog (tempat ibadah orang Yahudi). Walau di sana dia diperlakukan kasar oleh jemaah Yahudi.

Hal-hal seperti paradigma baru dalam beberapa film religi Indonesia kontemporer.  Tokoh muslim laki-laki tidak lagi harus berbaju kokoh atau gamis tetapi berpakaian ala Barat seperti tokoh Fahri mengenakan jas dan dasi,  maupun pakaian kasual.

Tokoh perempuan tetap berhijab (dan ada yang bercadar) karena perintah agama.  Tetapi Bulan Terbelah di Langit Amerika dan 99 Cahaya di Langit Eropa para muslimah mengenakan hijab modis.  

Para tokoh perempuan digambarkan lebih mandiri, diberikan kesempatan yang sama dalam pendidikan, berekspresi, walau pun laki-laki menjadi imam.

Dalam beberapa film yang diangkat dari karya Asma Nadia hal yang sebangun juga terjadi. Para tokoh-tokohnya memahami kehidupan zaman global dan para tokoh perempuannya mengenyam pendidikan yang sama dengan pria dan mendapat kebebasan berekspresi atau berkarir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun