Dicontohkan mahasiswa tingkat rangkap III/IV telah lulus 90 persen dari mata kuliah yang ditempuh dan pada tingkat IV telah lulus 50% mata kuliah lolos dari screening. Pertanyaannya kalau itu diterapkan rakyat akan terkejut kehilangan 100 mahasiswa yang harus meninggalkan ITB. Â
Menanggapi ada September 1960, Presiden ITB Â Ir. O. Kosasih (ir. Raden Otong Kosasih) melontarkan bahwa dalam pelasanaan Studi Terpimpin ada tempat untuk retooling dan screening. Mahasiswa yang tidak sanggup lagi menyelesaikan studinya dalam waktu yang wajr akan dikenakan kebijakan ini. Â
Mahasiswa tingkat I-III diberikan kesempatan tiga kali ikut ujian dan menyelesaikan sarjana muda dalam empat tahun, sebelum melanjutkan sarjana .  Pada awal Desember 1960 sebanyak  178 mahasiswa ITB dikeluarkan memperhatikan faktor di luar angka ujian.
Menurut Profesor Soegiono mahasiswa dikeluarkan kemungkinan karena dua hal, tidka berbakat atau bodoh. Kalau tidka berbakat, mungkin tidak berbakat di bidang teknik, tetapi bisa ternama di bidnag hukum atau kedokteran. Â Dia menyebut bagian elektro yang dapat lulus dalam 3 tahun (sarjana muda) hanya 70 persen dari jumlah mahasiswa.
Hal yang serupa menimpa Unpad. Pada Juli 1960  Sidang Lengkap panitia Fakultas Ekonomi Unpad meminta sebanyak 50 mahasiswa ekonomi Unpad  diminta meninggalkan fakultas.  Mereka tidak memenuhi aturan yang ditetapkan pimpinan fakultas.
Masa perkenalan ini untuk melaksanakan Studi Terpimpin, karena masa perkenalan pada disiplin yang keras. Dalam Studi Terpimpin hanya mahasiswa yang disiplin saja yang berhasil. Mahasiswa yang masuk Unpad sukarela dan tidak dipaksa. Mereka yang diterima harus merasa beruntung, karena banyak yang tidak diterima .
Peminat menjadi mahasiswa di Kota Bandung saja begitu besar, Dari 10 ribu tamatan SMA A, B maupun C hanya 30% yang bisa tertampung di ITB dan Unpad. Â Mochtar Kusumatamadja dari Fakultas Hukum Unpad menyebut FH Unpad hanya meneirma maksimal 300 mahasiswa. Itu menghadapi persoalan karena jumlah mahasiswa Tingkat I sebelumnya yang belum lulus juga masih banyak .
Namun kegaduhan itu senyap pada akhir 1960. Untuk sementara mahasiswa di Bandung lebih realistis dan mematuhi kebijakan.  Terkecuali kalangan mahasiwa yang ikut organisasi ekstra, minat terhadap gerakan politik masih  belum menarik minat yang luas.
Isu politik seperti pembubaran Masyumi dan PSI hanya menarik minat kalangan tertentu saja.  Begitu juga soal  konflik lain  yang mulai terbangun, masih belum saya temukan ditanggapi kalangan mahasiswa.
Dalam Agustus 1960, Â di daerah tanda-tanda permusuhan antara Angkatan Darat dan PKI menghiasi headline Pikiran Rakjat, seperti keputusan Peperda Kalsel melarang kegiatan PKI serta organisasi di belakangnya seperti Sobsi, Pemuda Rakyat, Gerwani dan Lekra. Hal serupa terjadi di Sulsel ketika Kolonel M. Yusuf mengeluarkan surat keputusan melarang aktivitas PKI. Â Yang menjadi alasan ialah PKI disebut melakukan gerakan adu domba yang bisa memanaskan situasi. Â
Tidak saya temukan tanggapan mahasiswa. Namun bukan berarti di kalangan mahasiswa Bandung tidak ada persoalan. Dengan banyaknya perguruan tinggi di Bandung dan bertambahnya jumlah mahasiswa adalah anugerah, karena muncul lapisan "neo priyayi" atau  "neo menak" dalam jumlah besar dan ideal dibanding rasio  populasi sebuah kota seperti Bandung.  Â