Yang cukup konyol ialah sosok Ayah Chrisye tahun 1970-an masih segagah dan serupa 1990-an. Sekalipun akting Ray Sahetapy sebagai  aktor kawakan  tidak kalah menawan dengan logat berbau Bahasa Belanda.  Yang menarik sebetulnya ialah bagaimana para pemeran musisi dan produser.Â
Saya ingin tahu apa yang ada di benak Erwin Gutawa dan Adhie MS ketika menonton film ini. Â Pasha Chrismansyah, salah seorang anak Chrisye berperan sebagai adik Chrisye justru mencuri perhatian. Begitu juga pemeran anak-anaknya. Saya suka ekspresi salah seorang putri Chrisye dibully kawan-kawannya tidak bisa menyanyi.
Lepas dari catatan di atas, Â secara keseluruhan saya menyambut baik film "Chrisye" sebagai tontonan bermutu, menghibur. Â Bagaimana pun juga Chrisye bukan saja legenda musik, tetapi juga memberikan inspirasi. Lagu-lagunya masih tetap relevan hingga sekarang. Chrisye berkarya seperti menulis dengan tinta, kemudian diteruskan oleh musisi generasi berikutnya.
Pulang dari bioskop yang full box(pertanda baik bahwa film ini akan laris) Â pada jam pertunjukkan kedua di sebuah bioskop di kawasan Jakarta Pusat, Kamis 7 Desember 2017, ada yang saya bawa pulang. Â Bagaimana seandainya kalau ayah Chrisye tidak mengizinkannya ke New York? Seperti apa dunia musik Indonesia? Bagaimana dengan lagu "Lilin-lilin Kecil", jika tidak dinyanyikan Chrisye?
Kemasan musiknya juga pas untuk telinga penonton yang didominasi anak-anak zaman "Now". Mungkin ini juga alasan memilih Vino G Bastian dan Velove Vexia. Kalau alasan itu rasanya "Chrisye" berhasil. Tiga Bintang untuk film ini.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H