![Pasar Senen 1950-an/Kredit Foto: Republika.com.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/09/24/becak-di-jakarta-tempo-doeloe-151115190909-605-republika-59c728a8ea492965bb726f12.jpg?t=o&v=555)
"Selendang Merah" (1955) Â kisah tentang penarik doger (cokek) bernama Sinah di Tanah Abang. Sinah dinikahi seorang tukang becak dan berhenti menari hingga punya anak. Suatu ketika anaknya sakit keras membutuhkan biaya pengobatan kembali menari. Â Sinah mendapat uang dari hasil doger, sayang anaknya meninggal.
Cerita menarik lainnya ialah "Tukang Pijat" (ditulis pada 1950). Rupanya di Jakarta pada 1950-an dan sejak masa Belanda ada profesi tukang pijat keliling (biasanya buta) dengan memukul kaleng berteriak pijat-pijat (tidak pernah saya temui masa sekarang).
Tukang pijat dalam cerita ini bertemu tokoh utamanya seorang tua ditemani gadis muda. Disangkanya berprofesi sebagai pekerja seks (karena masih tabu masa itu), ternyata hanya mencari nafkah karena suaminya meninggal.
"Rumah" (juga pada 1950) bercerita tentang kesukaran perumahan di Jakarta masa itu. Cerita tokoh utamanya diundang sahabatnya yang dipanggil Bung Harun untuk menginap di rumahnya di Jakarta pada masa liburan. Ternyata dia sudah pindah menumpang di rumah iparnya yang juga menyewa. Â Bagaimana keadaan rumahnya?
Dan dalam yang Cuma punya dua kamar itu ada sembilan belas orang yang tempati. Tidur di lantai saja dengan kembang tikar. Seperti ikan dencis. Dan kalau mandi atau buang air dan lain-lain berebut. Dan celakanya, isteri atau nyonya rumah itu galak sehingga percecokan-percecokan sering terjadi...(halaman 3).
Bisa dibayangkan tinggal di rumah seperti itu yang nyaris tanpa privasi. Namun untuk mendapatkan rumah yang lebih baik sulit dan kalau pun ada mahal.
Lainnya adalah "Harapan"(1950) tentang anak jalanan bernama Mili berusia sebelas tahun hidup mengemis dan kerap mencuri dan mencopet untuk bertahan hidup. Â Mili merasa senang hidup di kawasan Senen yang dikenalnya dan dianggap wilayah petualangannya karena di sana restoran dan bioskop seperti Rex, Grand dan Rialto (yang masa itu kehidupan gemerlap).
Sekalipun kawasan itu rawan dalam cerita polisi ada kejadian polisi militer menembak penjahat bersenjata yang masa itu masih banyak berkeliaran, sekalipun Mili diminta orang Indonesia yang merasa malu karena orang Indonesia mengemis, Mili memilih tetap dalam petualangannya.Â
Membaca cerpen Husseyn Umar tentang situasi Indonesia 1950-an memberikan gambaran bahwa kemerdekaan itu bukan hanya sekadar merebut, tetapi juga bagaimana mengisinya. Â Hal yang butuh perjuangan lebih berat dan jatuh bangun. Namun pilihan yang lebih baik daripada menjadi budak bangsa asing.
Irvan Sjafari  Â