Malam itu purnama dan tidak menyenangkan bagi sepasukan marinir dan Siliwangi yang sedang stelling di sekitar Goa Pawon. Beberapa wartawan juga tergeletak. Luka Nana baru mengering. Mereka tidak belum bisa meninggalkan tempat walau pasukan bantuan datang. Kontak senjata masih terjadi.
Seorang serdadu kemudian naik ke bukit.
“Kapten diminta kembali ke Bandung. Gencatan senjata!”
Aku mendengarnya bersyukur. Sekalipun Dhimas didukung kekuatan asing masih berkuasa di beberapa tempat, tetapi setidaknya ada kedamaian.
Kami pulang bersama dengan kendaraan bernama Ciung Wanara. Mobil listrik pengganti jip buatan Gedebage Bandung Technopolis yang bisa melayang satu meter di atas tanah. Persis seperti motor listrik. Kendaraan itu terbatas dan hanya berapa buah digunakan oleh Siliwangi sebelum Perang Dunia ke III pecah.
Kabarnya Amerika Serikat maupun Tiongkok sama-sama berminat pada motor listrik ini. Yang jelas pasukan mereka bisa menghindari ladang ranjau kalau menggunakan kendaraan ini. Tetapi ilmuwan dari Gedebage Bandung Technopolis tidak mau kendaraannya dipakai negara lain untuk perang. Bahkan keluar Jawa Barat pun tidak mau. Tetapi ketika Indonesia memutuskan membantu Thailand, ilmuwan dari Gedebage mengizinkan dua jipnya berangkat dan dipersenjatai pelontar listrik.
Sebetulnya kalau hanya orang asing melawan Bangsa Indonesia, Ilmuwan Gedebage bersedia membantu pemberontak memproduksi massal pelontar listrik dan kendaraan seperti Ciung Wanara. Tetapi ada orang Indonesia yang terlibat, walau mereka tidak menyukainya, ilmuwan Gedebage tidak mau ciptaan mereka membunuh sesame anak bangsa.
“Kami tidak mau penemuan kami digunakan membunuh sesama orang Indonesia dalam Perang Saudara,” kata Yuyi Namara salah seorang ilmuwan muda.
Aku, Nanda masih ingat kata-katanya.
(BERSAMBUNG)
Irvan Sjafari