Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (23-24)

7 Mei 2017   09:17 Diperbarui: 7 Mei 2017   09:31 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koloni oleh Irvan Sjafari

Zahra memberikannya pakaian katun yang lembut berwarna kuning dan oranye. Dia juga mengenakan pakaian yang sama, hanya saja dia memakai penutup kepala oranye kesukaaanya.  Wajah Zahra dingin. Dia rupanya serius agar tidak dipermalukan oleh anak-anak lebah, semut, kunang-kunang, rayap, mungkin juga anak-anak pengagum kumbang entah serangga apalagi.   

Alif menurut dan sebetulnya anak itu masih remaja sebetulnya masih mau bermain-main itu mengajaknya turun dari flat mereka. Sebetulnya ia ingin mendapat apresiasi dari Zahra bahwa dia bisa masak. Tetapi mukanya beku. Sekali-sekali dia melirik. Akhirnya wajah dingin Zahra seperti mencair.

“Ya, udah nanti siang kakanda ikut masak ya, enak…kok! Kita masak bersama di bengkel, bersama-sama Iffa dan Tian.” Dia tertawa renyah khasnya dan mencium pipinya.

Alif menduga anak-anak di sini mau menikah muda, karena tantangannya berbeda di dunia Alif dulu. Menikah di sini tidak membuat mereka tidak bisa bermain, karena memang sudah saling kenal. Kalau pun Alif “orang luar” dan usianya cukup jauh dari rata-rata anak muda itu, tetapi mau tidak mau Alif yang harus menyesuaikan diri.  Sementara bagi Alif bergabung dengan orangtua yang ada di bagian lain pulau ini juga bukan pilihan baik, karena sudah ada Zahra.

“Mulai hari ini gantian masaknya ya dan juga gantian nyuci bajunya. Jangan Zahra terus!  Kita sama-sama cari makan, sama-sama kerja di rumah. Kakak menulis itu kan di buku, bagaimana membangun rumah tangga, ayoo?”

Zahra guru yang baik. Dia memimpin sekitar empat pasang manusia kupu-kupu termasuk dirinya.  Mereka membuat kombinasi gerakan terbang, berpegangan di udara, hingga putaran kupu-kupu yang cukup sulit. Alif sedikit kaku dalam hal ini. Dia ingin menyerah. Tetapi Zahra selalu berkata: Pokoknya harus bisa!”

Siang mereka memasak bersama. Tian, Wibowo dan Darius laki-laki lainnya juga ikut memasak selain dirinya. Mereka mampu berpadu Zahra, Iffa, Gita, dan Allysa seperti tarian kupu-kupu. Mereka memasak panggang makanan laut dan memakannya dengan nasi dari beras yang dimasak dalam bambu yang dibakar.  Alif terkagum.

Warga koloni rupanya tidak membedakan pekerjaan perempuan dan laki-laki sampai detail. Bagaimana mereka punya pengetahuan memasak dengan apa yang ada dari alam pastilah ada yang mengajarkan dan kemudian melepaskan? Para orangtua tidak ikut campur, karena mereka sudah mandiri sejak kecil atau usia tertentu.

“Bagaimana kalian bisa dapat beras?” Alif ingin tahu.

“Kami punya padi ladang, tetapi terbatas. Ya, kalau tidak ada beras ada pohon sukun, ada kentang, ada sagu tidak masalah, kak? Tapi para orangtua berapa waktu sekali menyediakan beras,” jawab Wibowo.  Dia pasangannya Gita, seperti halnya Alif dan Zahra sama-samal di perkumpulan kupu-kupu.  Sementara Darius, Iffa dan Allysa belum menikah. 

“Masih ada anak-anak kupu-kupu lain?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun