Aktivis itu namanya Esti Ayudya. Seorang psikolog. Alif sudah memberikan kartu namanya sekaligus nama Harum Mawar dan kontaknya. “Pendidikannya hanya SMP, Kang?” katanya.
Harum menatap matanya dengan lembut memberikan simpati, lalu memeluknya.
“Keumaha neng, saha yang ajak neng?” Harum mendekati Elin sambil membelai rambutnya dengan lembut. Pendekatan seorang kakak. “Saya juga dari kampung, neng! Kita senasib...”
“Kang Darja, pacarku. Mengaku dari Jakarta. Katanya pegawai. Saya terpikat Teteh, orangnya royal dan pandai memikat bapak dan ibu. Tetapi ketika sudah kenal, dia menjual aku…” selanjutnya mulut Elin muntah seperti senapan mesin. Dia menangis di pelukan Harum. Bahkan Inspektur Brata pun terpaksa mengeluarkan catatannya. Ada informasi baru.
Esti, dari aktivis perempuan mengacungkan jempolnya pada Alif. “Pintar kamu pilih anak buah...”
Dari mulut Elin disebut nama William Suhendra atau dipanggil Om Willy. Inspektur Brata hanya menggeleng kepala. “Orang itu memang germo kelas kakap. Tidak bisa ditangkap...off the record...”
Elin mengaku sudah melayani seorang politisi Senayan, serta seorang pengusaha tetapi dia tidak tahu namanya.
Tiga jam sudah mereka mengorek keterangan Elin. Dia dijemput oleh orangtuanya. Bahkan Harum diberi nomor teleponnya. Wawancara dengan Inspektur Brata dan Esti tidak sesulit Elin. Semua lancar. Begitu juga orangtua Ellin. Mission complete.
Alif kemudian mengajak Harum keluar dari Polres Bandung untuk mencari makan siang.
“Di Dago Pojok saja Alif… He...Kang Alif. Ada warung yang enak langganan aku sejak masih SMA,” ajak Harum. “Boleh kan perempuan yang traktir…?” sekali lagi Harum dingin. “Hitung-hitung balas jasa diajak liputan...”
Alif tersentak.