Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (19-20)

6 Mei 2017   18:28 Diperbarui: 6 Mei 2017   19:25 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koloni oleh Irvan Sjafari

SEMBILAN BELAS

Tempat tidak diketahui waktu tidak diketahui

Serangga sudah ada sejak berjuta-juta tahun lalu sebelum munculnya reptilia purba 800 ribu jenis yang telah diberi nama.   Kebanyakan serangga purba musnah diganti jenis baru, namun ada yang baru seperti sibar dan kecoa.

Serangga diperkirakan berasal dari cacing. Hanya saja cacing tertutup lapisan lendir dan kemudian beberapa jenis cacing purba mengeras dan berkembang menjadi cangkang. Serangga digolongkan filum arthropoda atau kaki yang beruas.

Kebanyakan spesies ini manakjubkan. Lalat kecil menggelepar sayapnya 1000 kali per detik, sementara kutu mampu meloncat 200 kali panjang tubuhnya. Seekor semut mampu mengangkat beban yang lebih besar dari tubuhnya. 

Sibar-sibar bersenggama di udara. Yang jantan menangkap yang betina dan memegang lehernya dengan sepit yang tertempel pada ujung-ujung abdomen. Keduanya terbang ke sana ke mari berlekatan. Mereka bisa menangkap mangsa sambil terbang. Hewan yang sangat romantis.

Suara Zahra begitu lantang membacakan buku harian milik Alif, hingga laki-laki itu terbangun. Perempuan itu duduk ranjang di sampingnya. “Dari mana kamu dapat?”

Alif langsung terlompat. Sekejab rasa kantuknya hilang. Dia tidak ingin Zahra membacanya.

Zahra kemudian meloncat dari tempat tidur dan berlari ke luar kamar. Hari sudah pagi.

“Memangnya kakanda bisa seperti sibar-sibar. Jadi kupu-kupu saja gemetaran.

“Dia tertawa meledek. Sepertinya perempuan ini punya energi luar biasa.

Alif segera meloncat turun dan ke luar kamar. Zahra tidak lari dia menunggu dengan tenang. Wajah Alif merah padam.  Buku itu catatan harian yang selalu ia bawa.  Itu pasti buku catatan terakhir ketika ia berangkat ke pesawat.  Halaman yang dibacakan Zahra adalah halaman-halaman pertama. Itu dia harap.

“Kakak.” Dia berkata lembut.

“Barang-barang apa lagi yang tersisa? Kamu menyimpan semua.” Alif panik.

“Anggap saja sebagai salah satu tukaran untuk mendapatkan bidadarimu?” Dia berdiri tanpa rasa takut sedikit pun, matanya yang tajam seperti elang menatapnya sejajar matanya karena tinggi mereka memang sepantar terasa lebih menusuk.

“Kamu baca semua?”

Zahra tidak menjawab. Dia kemudian mengajak Alif menuju sebuah lemari di rumahnya.  Dia mengeluarkan sebuah kotak. Wajahnya takjub melihat Zahra mengeluarkan fotonya waktu masih sembilan tahun dengan seorang bayi, sudah kusam karena sudah belasan tahun perkiraannya. 

Selain itu ada ponselnya yang dia prediksi sudah rusak. Mungkin ditemukan di kantungnya. Alif menebak siapa yang memberi foto itu pada Zahra.

“Zahra ingin tahu seperti apa tampang penyelamat hidupku.” ucapnya lirih. “Orang yang lebih baik dari ayahku. Mungkin juga ibuku.”

“Ayahmu memang brengsek. Tetapi ibumu tidak,” ucap Alif.

Zahra melotot. “Kamu tahu ibuku? Ceritakan?”

Alif mengangguk. “Tidak di sini, tetapi di luar…”

“Baik, …artinya aku boleh tahu semua tentang diri kamu dan apa yang kamu tahu tentang diri aku.”

Alif memeluknya.

“Kalau begitu di luar kita ngobrol saja. Soal sibar-sibar kapan-kapan, kalau kamu mau?” Dia berhenti bersedih. Dia kembali memperlihatkan wajahnya yang meledek. Sesuatu yang mulai disuka oleh Alif, Zahra bisa mengontrol emosinya.

“Kalau begitu, main-mainnya sekarang saja…”

Alif menyerah. Dia seperti panglima pasukan penjaga kota terkepung mengibarkan bendera putih.  Tapi yang menyerbunya bukan pasukan besar, hanya Zahra sendiri.

Tapi jawab dulu pertanyaannya.Siapa Mariana? Siapa Yola?  Siapa Frisca? Siapa  pula Nanda?”

“Nanti aku jelaskan. Tiga orang perempuan yang dekat dengan saya selain ibumu. Hanya kamu bidadariku.”

“Kamu tidak akan mencari sampai tujuh, kan? Apalagi sampai 72?”

“Ya, nggaklah. Satu saja sudah repot.”

Zahra mengangguk. Tampaknya dia percaya. Alif lega.

“Besok kita harus kerja seperti yang lain. Hari ini hari terakhir kita senang-senang. Aku harus kembali ke bengkel dan kakak ke tempat orangtua.”

Mereka makin merapat.

“Mandi dulu sana…!” katanya mendorong Alif masuk.

Alif membersihkan diri. Kemudian ia mengakhirinya berendam di air rempah-rempah dan wewangian itu. Dia merasa relaks dan seluruh syarafnya pulih. Dia tak menyadari Zahra sudah muncul  di samping bak mandi bertopang dagu menatap matanya lewat mata tajamnya menusuk.

“Kalau sudah wangi kan sama-sama enak. Laki-laki maunya kan  perempuannya saja yang wangi.”

Alif terperanjat dan tak menyangka perempuan itu masuk. Dia merasa tersindir.

Zahra tahu. Dia juga tahu bagaimana membuat Alif tidak marah. Dia tergelak. Libido Alif tiba-tiba melecut sampai ubun-ubun. Zahra menangkap gestur tubuh suaminya yang makin gelisah.

“Jaka Tarub kan bisa minta baik-baik pada bidadarinya,” katanya halus.

Alif mencium punggung tangan halus. Zahra kembali tergelak khasnya. Dia tahu itu permohonan. Dia pun mencium tangan laki-laki itu kemudian melepas baju mandinya, menggantungkannya di tempat gantungan bersama baju mandi Alif.  

Dia ikut masuk ke dalam bak berhadapan dengan Alif.  Kali ini dia tidak tergelak, tetapi matanya menatap tajam seperti siren menghipnotis para pelaut.  Alif kembali seperti ditarik ke langit ke tujuh.

Satu setengah jam kemudian mereka berdua sudah di bengkel tempat Zahra bekerja. Iffa dan Tian sudah tahu tugas mereka. Mereka berdua terbang menuju pantai dan mendarat di suatu tempat. Di bawah pohon kelapa mereka melepas alat kupu-kupunya. Lalu pelan-pelan Alif bercerita.

“Yola teman sekampus aku. Sahabat. Frisca itu adik aku tahu! Umurnya kira-kira sepantar kamu! Nanda itu reporter di kantor aku.  Tidak lebih dari teman. Kami satu tim mengungkap satu kasus yang pernah menyangkut Mariana Rosa. Dia adalah ibu kamu sayang! Harusnya menjadi ibu kamu. “

Lalu pelan-pelan Alif bercerita apa yang dia tahu tentang Mariana Rossa.

 

Zahra mendengarkannya dengan seksama. Dia hanya sekali menangis. Dia berkata lantang. “Aku mau memaafkan ibu aku, karena memilih melahirkan aku dan tidak menggugurkan aku. Tetapi aku tidak memaafkan laki-laki yang seharusnya jadi ayahku.”

“Selanjutnya ketika sudah besar, Kakanda bertemu ibumu kembali. Karirnya bagus. Dia tidak pernah menikah.  Kemudian…”

Zahra menutup mulut Alif. “Sudah aku tidak siap mendengar cerita selanjutnya.  Manusia di luar sana lebih kejam dari binatang. Bagi aku  yang penting ke depan, kakanda tidak akan meninggalkan aku, kan? Kakanda tinggal di dunia aku saja, ya? Apa pun yang kakanda mau aku layani asal tidak meninggalkan aku?”

Alif mengangguk.

“Sudah siang. Kita tangkap ikan, lalu kita masak sendiri,” kata Zahra dengan cepat tertawa. “Aku diajarkan caranya oleh kawan yang bertugas untuk itu. Kita menangkapnya dari udara Kak.”

Zahra mengeluarkan semacam jala dari kantungnya yang digulung dengan rapi. “Harus kerjasama ya, kak?”

DUA PULUH

Beberapa hari setelah pesawat dari maskapai penerbangan Archipelago Airlines jatuh di laut di Kepulauan Riau. Bandara Hang Ngadim

Ibu tua itu termanggu di lobi bandara. Didekapnya foto Alif erat-erat. Sang suami termanggu. Mata mereka tak henti-hentinya menyaksikan melihat televisi berita jatuhnya pesawat Archipelago Airlines.

 

Dia bersama ratusan orang lain menunggu berita dari SAR.  Delapan orang dinyatakan selamat terdampar di sebuah pulau.  Mereka ditemukan oleh kapal nelayan.  Puluhan lain masih hilang termasuk Alif Muharam, Reporter harian Membaca Indonesia.

Darwin Suseno, Redaktur Membaca Indonesia ada di dekat ibu itu.  Dia berusaha menghibur dan tampak terpukul. “Seharusnya saya ke Singapura.  Tetapi narasumber kami memaksa Alif meliput kasus ini. Alif sendiri mau!”

“Memang kasus apa Dik? Kasus apa yang membuat Alif begitu keras untuk meliput? Jangan-jangan kasus yang sama di Bandung itu…?”

Darwin Suseno mengangguk. “Human trafficking. Alif mengungkap kasus lima belas perempuan dari Jawa Barat dan Jawa Tengah diambil dari kampungnya dijanjikan bekerja di luar negeri, tetapi dijadikan wanita penghibur. Dia juga yakin itu terkait dengan pembunuhan misterius Mariana Rosa Nilamaya, Coorporate Communication Hotel Bandung Permai beberapa tahun lalu.

“Katanya soal matinya TKW?”

“Iya, TKW itu korban human trafficking juga.”

“Tunggu nama Mariana Rosa. Kamu menyebut nama itu.  Rasanya Ibu kenal nama itu… “

“Katanya Mariana itu korban pertama dari sindikat yang melibatkan sejumlah pengusaha besar, serta elite politik di negeri ini. Tetapi belum ada bukti yang kuat hingga kami tak bisa menurunkan laporannya.”

Tak lupa kemudian seorang anak muda seusia Alif lari tergopoh-gopoh ke arah mereka. Bajunya tampak lecek seperti berhari-hari tak diganti.Tandanya dia bekerja keras menunggu berita.

“Ganang Wicaksono… sahabat karib Alif Bu!”

Anak bertubuh kurus itu berbisik. “Salah satu dari delapan orang yang selamat itu Pandu Pratama, CEO Asian Pandawa Securities. Dia orang terakhir berbicara Alif di pesawat, saya dapat wawancara Bang…”

Alif lalu berbisik yang membuat Darwin takjub.

Darwin mengacungkan jempol pada reporter itu. “Kamu boleh pulang setelah buat laporan… Good job!”

“Demi Alif Bang. Kawan kita…”

“Ok, saya tunggu laporannya. Mudah-mudahaan bukan hanya basa-basi.”

(BERSAMBUNG)

Irvan Sjafari

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun