Layang-layang yang ku-sayang/Layang yang ku-sayang/Jauh Tinggi sekali melayang/Layang-layang benang panjang/layang benang panjang/Ku tarik kencang putus di tangan.Demikian lirik lagu Koes Plus dirilis kira-kira pada pertengahan tahun 1970-an bertajuk “Layang-layang”.
Saya teringat lagu itu ketika menapak kaki memasuki halaman areal Museum Layang-layang, Selasa (17/04/2017), sekitar pukul sebelas siang. Terletak di Jalan Haji Kamang nomor 38, sekitar 350 meter dari Jalan Raya Fatmawati-Pondok Labu, Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan, nyaris membuat museum ini tersembunyi di tenaga padatnya hunian dan bangunan sekolah.
Ada sebuah bus wisata terparkir di halaman sempit. Oleh penjaga di sana saya diminta membeli tiket di loket. Di dalam areal museum ada dua pendopo utama dan beberapa bangunan kecil. Bangunan pendopo berfungsi sebagai tempat koleksi layang-layang dan satu bangunan utama lagi berfungsi sebagai tempat edukasi pembuatan layang-layang.
Bangunan kecil lainnya berfungsi sebagai loket, tempat pemutaran film dan sebuah tempat makan. Terdapat juga sebuah musala dan toilet yang tampak apik dan bersih. Sementara di tengah areal museum terdapat aneka pohon yang memberikan kesejukan di areal seluas sekitar 2700 meter persegi ini. Arsitektur bangunan dominan campuran etnik Jawa dan Bali.
Hari ini ada puluhan murid setingkat sekolah dasar menunjungi museum. Saya ditemani (Kang) Asep Triawan, 50 tahun pemandu museum. Menurut dia museum yang berdiri pada 2003 mengoleksi sekitar 500 layang-layang dari dalam dan luar negeri. Yang menarik ialah museum ini didirikan secara oleh Endang Ernawati di tanah pribadinya. Wajarlah kalau tiketnya cukup mahal Rp15.000. Saya menduga jumlah ini juga kurang untuk pemeliharaan museum dan gaji pegawainya. Tentu ada subsidi dari pemilik dan berapa pihak. Sayangnya publikasinya kurang.
“Memang tidak banyak publikasi, tetapi kami menyasar ke sekolah-sekolah,” kata Asep mengakui.
Asep kemudian mengajak saya memasuki Ruang Pendopo “Merah”. Di aulanya tergantung sebuah layang-layang berbentuk delman, kreasi seorang bernama Yanto dari Jepara. Layang-layang itu diperkuat rangka bambu dan bahan polyster penahan angin dan pada 2000-an mengikuti beberapa festival. Masih ada layang-layang lain, berbentuk Garuda.
Begitu memasuki ruang utama terdapat layang-layang Tari Burung Merak ciptaan ayahnya Asep Triawan bernama Lili Sunarya. Menurut cerita Asep, layang-layang ini diciptakan antara tahun 1980-an akhir dan awal 1990-an, dia tidak ingat persis. Di hadapannya terdapat layangan capung diameter 4 meter ciptaan Asep Triawan sendiri.
“Sepengetahuan saya layang-layang berasal dari Tiongkok. Tetapi kalau Anda lihat lukisan di Gua Muna Sulawesi terdapat sebuah lukisan layang-layang,yang kemungkinan dari daun lontar atau daun gadung- diperkirakan 2500 Sebelum Masehi. Itu artinya tidak sepenuhnya layang-layang berasal dari Tiongkok, tetapi ada juga asli Indonesia. Lukisan ini menandakan pencarian Tuhan,” papar Asep.
Di ruangan lain yang lebih sempit ada beberapa layang-layang dari luar negeri, Malaysia, Turki dan India yang sempat saya perhatikan. Sayangnya tidak ada ruang perpustakaan di museum ini yang bisa menceritakan sejarah layang-layang atau literatur berkaitan dengan layang-layang. Mungkin karena keterbatasan lahan. Tapi bagi saya ada orang yang punya inisiatif menghadirkan museum ini saja sudah luar biasa.
Sarana Edukasi
Ketika kembali ke bagian aula pendopo merah, terdapat puluhan anak-anak sedang makan siang, sebagian lagi sedang mewarnai obyek berbentuk layang-layang. Yang sebagian lagi ini ada 16 anak dari Pusat Terapi Autis Yasmin. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus, mulai dari autis, down syndrome hingga tuna runggu melakukan terapi.
“Ini salah satu cara kami melatih motorik halus dan kasar.” ungkap Nur Zainah, 35 tahun.
Beberapa anak tampak mewarnai dengan bagus. Di antaranya Nissa, 7 tahun melakukan tugasnya dengan baik. Komposisi warnanya bagus dan teratur. Saya menitik air mata melihat para guru begitu sabar mengajar anak-anak down syndrome dan autis agar mau melakukan pekerjaannya.
Di pendopo lain sekitar delapan belas murid SD Binus School Bekasi mengikuti pelajaran membuat layang-layang dari instruktur museum. Menurut Sherry, 35 tahun gurunya. Kunjungan ke museum upayanya agar anak-anak mengenal budaya Indonesia semenjak dini.
“Saya melihat museum ini salah satunya. Layang-layang bagaimana pun budaya Indonesia,” ucapnya.
Romantis Historis
Ketika saya masih kecil pada 1970-an, bermain layang-layang merupakan salah satu permainan anak-anak. Ketika itu di Jakarta masih banyak tanah lapang, termasuk di daerah Tebet tempat tinggal saya dahulu. Hampir setiap setiap sore atau pagi di akhir pekan layang-layang menghiasi langit. Kalau diamati dari loteng rumah tampak dari kejauhan.
Layang-layang putus menjadi atraksi sendiri, karena anak-anak usia sekolah dasar hingga SMP berebut menegjar, menerabas sema-semak, menelusuri gang ke gang beramai-ramai. Bukan al yang jarang kalau di atasp loteng saya ada layang-layang jatuh dan tak bertuan. Sekali-sekali saya main dari atas loteng walaupun tidak mahir. Begitu juga adik saya.
Pada masa itu agar menang adu layang-layang, benang yang digunakan adalah benang gelasan alais diberikan serbuk kaca. Maksudnya agar layang-layang lawan putus kalau berada. Benang itu menajdi masalah besar ketika jatuh melukai penendara motor atau pejalan kaki yang tidak awas.
Layang-layang ada yang dibuat sendiri, tetapi ada yang dibeli dari penjual layang-layang yang betebaran di Jakarta, mulai dari toko kelontong di pasar tradisional, warung, hingga lapak. Benang layang-layang di kaleng bekas susu juga ikut dijual terpisah.
Menurut cerita ibu saya bermain layang-layang hobi anak-anak dan remaja pada 1950-an. Di daerah Menteng mereka bermain di lapangan dekat Jalan Kendal tempat tinggal keluarganya. Saking asyik bermain pernah seorang kakak ibu tidak menyadari bahwa ia sudah di lintasan kereta. Dia tidak menyadari kereta datang, tetapi pada saat menentukan, lolos mendengar teriakan teman sebayanya.
“Dahulu layangan bagus-bagus buatannya. Anak-anak membeli di toko kelontong milik orang Tionghoa. Anak-anak semua kalangan menggemari layang-layang, tidak mengenal kasta sosial. Bermain layang-layang menyatukan anak Ambon yang waktu itu diidentikan dengan anak KNIL, anak Indo, anak Tionghoa hingga anak pribumi berbagai etnik lainnya,” papar ibu saya.
Sayang seiring dengan berkurang lahan, permainan layang-layang juga berkurang. Adanya festival layang-layang hanya untuk orang yang hobi, mungkin meneylamatkan permainan ini dari kepunahan. Kalau dulu anak-anak menjadi terbiasa antara lain, karena adanya layang-layang. Anak-anak sekarang lebih suka ke mal, main play station dan kurang permainan di ruang terbuka.
Museum layang-layang membuat ingatan saya melayang ke masa silam yang tidak akan kembali.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H