Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Museum Layang-layang, Melayang ke Masa Silam

20 April 2017   10:16 Diperbarui: 22 April 2017   18:00 1651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Layang-layang yang ku-sayang/Layang yang ku-sayang/Jauh Tinggi sekali melayang/Layang-layang benang panjang/layang benang panjang/Ku tarik kencang putus di tangan.Demikian lirik lagu Koes Plus dirilis kira-kira pada pertengahan tahun 1970-an bertajuk “Layang-layang”.

Saya teringat lagu itu ketika menapak kaki memasuki halaman areal Museum Layang-layang, Selasa (17/04/2017), sekitar pukul sebelas siang. Terletak di Jalan Haji Kamang nomor 38, sekitar 350 meter dari Jalan Raya Fatmawati-Pondok Labu, Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan, nyaris membuat museum ini tersembunyi di tenaga padatnya hunian dan bangunan sekolah.

Ada sebuah bus wisata terparkir di halaman sempit. Oleh penjaga di sana saya diminta membeli tiket di loket. Di dalam areal museum ada dua pendopo  utama dan beberapa bangunan kecil. Bangunan pendopo  berfungsi sebagai tempat koleksi layang-layang dan satu bangunan utama lagi berfungsi sebagai tempat edukasi pembuatan layang-layang. 

Bangunan kecil lainnya berfungsi sebagai loket, tempat pemutaran film  dan sebuah tempat makan. Terdapat juga sebuah musala dan toilet yang tampak apik dan bersih. Sementara di tengah areal museum terdapat aneka pohon yang memberikan kesejukan di areal seluas sekitar 2700 meter persegi ini. Arsitektur bangunan dominan campuran etnik Jawa dan Bali.    

Hari ini ada puluhan murid setingkat sekolah dasar menunjungi museum. Saya ditemani (Kang) Asep Triawan, 50 tahun pemandu museum. Menurut dia museum yang berdiri pada 2003 mengoleksi sekitar 500 layang-layang dari dalam dan luar negeri. Yang menarik ialah museum ini didirikan secara oleh Endang Ernawati di tanah pribadinya. Wajarlah kalau tiketnya cukup mahal Rp15.000. Saya menduga jumlah ini juga kurang untuk pemeliharaan museum dan gaji pegawainya. Tentu ada subsidi dari pemilik dan berapa pihak.  Sayangnya publikasinya kurang.

“Memang tidak banyak publikasi, tetapi kami menyasar ke sekolah-sekolah,” kata Asep mengakui.

Asep kemudian mengajak saya memasuki Ruang Pendopo “Merah”. Di aulanya tergantung sebuah layang-layang berbentuk delman, kreasi seorang bernama Yanto dari Jepara. Layang-layang itu diperkuat rangka bambu dan bahan polyster penahan angin dan pada 2000-an mengikuti beberapa festival. Masih ada layang-layang lain, berbentuk Garuda.

Begitu memasuki  ruang utama terdapat layang-layang Tari Burung Merak ciptaan ayahnya Asep Triawan bernama Lili Sunarya. Menurut cerita Asep, layang-layang ini diciptakan antara tahun 1980-an akhir dan awal 1990-an, dia tidak ingat persis. Di hadapannya terdapat layangan capung diameter 4 meter ciptaan Asep Triawan sendiri.

“Sepengetahuan saya layang-layang berasal dari Tiongkok. Tetapi kalau Anda lihat lukisan di Gua Muna Sulawesi terdapat sebuah lukisan layang-layang,yang kemungkinan dari daun lontar atau daun gadung- diperkirakan  2500 Sebelum Masehi. Itu artinya tidak sepenuhnya layang-layang berasal dari Tiongkok, tetapi ada juga asli Indonesia. Lukisan ini menandakan pencarian Tuhan,” papar Asep.

Di ruangan lain yang lebih sempit ada beberapa layang-layang dari luar negeri, Malaysia, Turki dan India yang sempat saya perhatikan. Sayangnya tidak ada ruang perpustakaan di museum ini yang bisa menceritakan sejarah layang-layang atau literatur berkaitan dengan layang-layang. Mungkin karena keterbatasan lahan. Tapi bagi saya ada orang yang punya inisiatif menghadirkan museum ini saja sudah luar biasa.

Sarana Edukasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun