“Dahulu layangan bagus-bagus buatannya. Anak-anak membeli di toko kelontong milik orang Tionghoa. Anak-anak semua kalangan menggemari layang-layang, tidak mengenal kasta sosial. Bermain layang-layang menyatukan anak Ambon yang waktu itu diidentikan dengan anak KNIL, anak Indo, anak Tionghoa hingga anak pribumi berbagai etnik lainnya,” papar ibu saya.
Sayang seiring dengan berkurang lahan, permainan layang-layang juga berkurang. Adanya festival layang-layang hanya untuk orang yang hobi, mungkin meneylamatkan permainan ini dari kepunahan. Kalau dulu anak-anak menjadi terbiasa antara lain, karena adanya layang-layang. Anak-anak sekarang lebih suka ke mal, main play station dan kurang permainan di ruang terbuka.
Museum layang-layang membuat ingatan saya melayang ke masa silam yang tidak akan kembali.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H