Ketika kembali ke bagian aula pendopo merah, terdapat puluhan anak-anak sedang makan siang, sebagian lagi sedang mewarnai obyek berbentuk layang-layang. Yang sebagian lagi ini ada 16 anak dari Pusat Terapi Autis Yasmin. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus, mulai dari autis, down syndrome hingga tuna runggu melakukan terapi.
“Ini salah satu cara kami melatih motorik halus dan kasar.” ungkap Nur Zainah, 35 tahun.
Beberapa anak tampak mewarnai dengan bagus. Di antaranya Nissa, 7 tahun melakukan tugasnya dengan baik. Komposisi warnanya bagus dan teratur. Saya menitik air mata melihat para guru begitu sabar mengajar anak-anak down syndrome dan autis agar mau melakukan pekerjaannya.
Di pendopo lain sekitar delapan belas murid SD Binus School Bekasi mengikuti pelajaran membuat layang-layang dari instruktur museum. Menurut Sherry, 35 tahun gurunya. Kunjungan ke museum upayanya agar anak-anak mengenal budaya Indonesia semenjak dini.
“Saya melihat museum ini salah satunya. Layang-layang bagaimana pun budaya Indonesia,” ucapnya.
Romantis Historis
Ketika saya masih kecil pada 1970-an, bermain layang-layang merupakan salah satu permainan anak-anak. Ketika itu di Jakarta masih banyak tanah lapang, termasuk di daerah Tebet tempat tinggal saya dahulu. Hampir setiap setiap sore atau pagi di akhir pekan layang-layang menghiasi langit. Kalau diamati dari loteng rumah tampak dari kejauhan.
Layang-layang putus menjadi atraksi sendiri, karena anak-anak usia sekolah dasar hingga SMP berebut menegjar, menerabas sema-semak, menelusuri gang ke gang beramai-ramai. Bukan al yang jarang kalau di atasp loteng saya ada layang-layang jatuh dan tak bertuan. Sekali-sekali saya main dari atas loteng walaupun tidak mahir. Begitu juga adik saya.
Pada masa itu agar menang adu layang-layang, benang yang digunakan adalah benang gelasan alais diberikan serbuk kaca. Maksudnya agar layang-layang lawan putus kalau berada. Benang itu menajdi masalah besar ketika jatuh melukai penendara motor atau pejalan kaki yang tidak awas.
Layang-layang ada yang dibuat sendiri, tetapi ada yang dibeli dari penjual layang-layang yang betebaran di Jakarta, mulai dari toko kelontong di pasar tradisional, warung, hingga lapak. Benang layang-layang di kaleng bekas susu juga ikut dijual terpisah.
Menurut cerita ibu saya bermain layang-layang hobi anak-anak dan remaja pada 1950-an. Di daerah Menteng mereka bermain di lapangan dekat Jalan Kendal tempat tinggal keluarganya. Saking asyik bermain pernah seorang kakak ibu tidak menyadari bahwa ia sudah di lintasan kereta. Dia tidak menyadari kereta datang, tetapi pada saat menentukan, lolos mendengar teriakan teman sebayanya.