Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Iga Mawarni: Jazz Itu Musik Skill dan Spontanitas (Catatan Harian Pribadi 1999-2001)

12 Maret 2017   13:03 Diperbarui: 12 Maret 2017   13:08 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyanyi jazz biasa spotan dan bisa bermain dengan skill-nya masing-masing dan mainnya pakai rasa. Misalnya kamu lihat musisi (genre) lain  mengiringi saya: Mereka tanya Mbak Iga, lagunya apa? Duh! Jangan deh sayanya nggak berani. Saya nggak pernah mendengar lagunya.  Sementara kalau orang-orang jazz nggak begitu.  Q-nya di mana? Saya bisa duluan menyanyi, tanpa mereka tahu lagunya. Karena memang punya skill jazz itu lebih kaya,  maka semua lagu bisa dinyanyikan dengan jazz. Lagu jazz penuh dengan spontanitas dan skill-nya paling depan.  

Irvan: Pernah ada  (musisi) Jazz Prancis (Andre)  berkoloborasi dengan Embong Rahardjo menggunakan gamelan, ternyata biasa. Seperti itu yang Iga maksud?

Iga: Mmmh..termasuk.  Juga Krakatau itu koloborasi etnis dengan kontemporer jazz-nya sama sekali tidak menutup kemungkinan dengan jenis musik apapu.  Jazz dan gamelan itu sebetulnya grass-root sama. Jazz itu sendiri awalnya dari orang-orang kulit hitam. Bukan kalangan elite karena lahir dari itu (kaum negro). Begitu juga gamelan musiknya daerah sekali, orang kalangan bawah.

Seorang wartawan dari koran ibukota bernama Winoto kemudian ikut bergabung dalam wawancara.

Winoto:  Nggak takut improvisasi?

Iga: Nggak takut. Dalam kondisi apa pun saya nggak nyanyi dengan orang-orang yang basically jazz. Kita tahu seseorang itu musisi jazz bukan dari cara pegang alat musik. Rock (itu di perut), jazz pasti di sini (menunjuk) dada.

Winoto: Mengapa jazz eksklusif?

Iga: Kelihatan ekslusif karena orang di sini tidak mau mikir, ya, kan? Mereka menganggap jazz itu sulit. Yang mereka terima kan yang gampang diingat, yang melankolis. Akhirnya yang (melankolis) lebih memasyarakat.  Semntara jazz itu karena berperasaan dia,accord-nya pun miring-miring, seperti perbudakan zaman dahulu.  Seperti negro zaman dahulu: Mereka menangis dari cabikan gitarnya,  Kalau blues dia bisa spontan. Alam memanjakan kita. Kita makan nggak susah. Itu mempolakan orang kita fighting spirit-nya kurang. Basic dalam batin kita menerima sesuatu yang gampng diterima.  Kayak budaya  MTV bisa masuk, (bagi) orang kita lebih sangat bahabya dibanding  (masyarakat) negara lain, karena begitu mudah menerima sesuatu yang baru dan gampang. Tetapi menerima sesuatu yang indah, yang rada sulit sedikit nggak mau begitu loh.

Irvan: Dalam Album “Iga Lagi” , Anda memasukkan unsure tradisional. Apakah itu sudah diplot atau direncanakan?

Iga: Sebenarnya waktu itu tidak terkonsep benar. Munculnya gara-gara batin saya, muncul dari lagu-lagu (lain) yang sudah terbuat. Lagunya kok platonic ke suatu daerah tertentu. Lalu kita masukkan unsur etnis. Jadi bukan terencanakan.

Winoto: (Pertanyaannya nggak terdengar di rekaman)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun