Minggu pagi (8/1) lalu sekitar pukul 9.30 yang lalu saya dan rekan saya sesama jurnalis, Widya Yustina berangkat dari kawasan Dago, Bandung menyewa GrabCar menuju Floating Market Lembang. Destinasi wisata favorit warga Bandung dan Jakarta. Dikatakan favorit karena begitu banyak foto-foto yang dipamerkan di media sosial dan tulisan di blog yang berkaitan dengan pasar apung ini. Sekalipun kerap ke Bandung, tetapi saya baru kali ini berkesempatan ke tempat wisata itu, sementara Widya sudah kelima kalinya.
Tadinya saya kira sampai sekitar tengah hari karena disergao kemacetan. Namun rupanya Widya dan sang supir tahu jalan memotong yang tidak melalui jalur konvensional, melalui Jalan Sethiabudi, namun terus ke atas melalui Dago Pakar dan akhirnya tiba di pelataran parkir Floating Market sekitar pukul 10.30. Pengelola wisata tahu tidak perlu pengemudi Grab Car membayar karena mengantar wisatawan-malahan diuntungkan-sehingga kami cukup membayar Rp20.000 per orang tiket masuk yang bisa ditukarkan dengan voucher minuman.
Konsep dari Floating Market Lembang memang ditujukan kepada segmen keluarga. Terbukti bukan saja aneka kuliner yang berada di pinggir situ yang menjadi “jualan”, tetapi juga wahana bermain dengan kelinci, kandang angsa, hingga ayam kate. Keberadaan “kebun binatang” kecil ini memikat anak-anak. Terbukti kami melihat anak-anak bermain kelinci dengan antusias. Keberadaan saung-saung untuk beristirahat (sayangnya harus disewa) memperkuat konspe keluarga.
“Yang baru adalah ayam kate. Kalau tidak salah angsa juga dipindah dan di atas bukit ada pengembangan kebun bunga,” celetuk Widya ketika kami sudah setengah berkeliling menuju tempat makan utama.
Kami berdiskusi cukup seru, karena Widya juga menyukai pop art Jepang dan Korea. Menurut dia Sunda sudah terwakili dengan bangunan di pinggir situ. Dia juga benar karena ada figur wayang golek Cepot di salah sudut mewakili jati diri Priangan.
Untuk berbelanja kuliner, kami membeli koin sebagai pengganti pembayaran. Koin berwarna-warni sesuai belanjaannya, mulai seharga Rp5000, Rp10.000 hingga Rp20.000. Bukan hal yang baru. La Piazaa Kelapa Gading dalam berapa event kuliner-nya menggunakan konsep ini. Pengunjung akan menghabiskan koin yang dibelinya. Widya bilang Rp50.000 per orang cukup sudah termasuk minum sudah terbukti. Namun tentu saja lebih karena ada kuliner lain pantas dicicipi. Hanya saja pengunjung harus berhitung berapa budget yang dihabiskan karena koin tidak bsia lagi ditukarkan dengan uang.
Dari segi kuliner Floating Market Lembang mewakili kuliner yang ada di Bandung. Saya sendiri menikmati sate kelinci untuk pertama kali di stand penjualan sate. Selain sate kelinci, terdapat sate sapi dan sate ayam. Khususnya sate sapi dan kelinci banyak bertebaran di Bandung. Tadinya saya mengincar sate sapi yang pernah saya cicipi di berapa tempat di Bandung, namun habis. Akhirnya saya memilih sate kelinci dihidangkan dengan lontong senilai Rp35.000.
Rasa sate kelinci kalau dari segi tekstur dagingnya mendekati daging ayam, namun sedikit lebih keras. Cocok juga buat saya.
Kami baru menukarkan voucher minuman menjelang makan siang, dua jam setelah berada di areal Floating Market. Menurut Widya ketika pertama kali berkunjung hanya ada tiga macam pilihan. Namun ketika kami datang variannya sudah lebih banyak. Kami berdua memilih minuman Milo.
Sekalipun tidak mewakili keseluruhan, tetapi apa yang disajikan di Floating Market Lembang semacam Taman Mini Kuliner (yang ada) di Bandung. Dari segi penyajian variasi kuliner menjadi keunggulan tempat wisata ini . Pihak pengelola tinggal mempertahankan agar harganya bisa ekonomis dan terjangkau lebih banyak kalangan.
Dari segi fasilitas umum toilet dan mushala cukup memadai bagi muslim dan muslimah menuaikan ibadah salat zuhur dan asar. Begitu juga untuk tempat sampah ada di berapa sudut membuat pengunjung tidak membuang sampah sembarangan.
Konsep Floating Market Lembang terobosan menarik untuk sebuah destinasi wisata bagi mereka yang baru pertama atau bagi keluarga yang memang ingin seharian. Tetapi bagi sebuah rombongan tour yang ingin dalam sehari mengunjungi tiga atau empat wisata dalam sehari tidak efesien dan itu jadi masalah besar bagi wisata Jawa Barat: kemacetan, serta infrastruktur tentunya.
Saya berdiskusi dengan Widya, bagaimana kalau seandainya saya membawa rombongan wisatawan yang membuat trip Bandung-Lembang alam sehari bisa lebih dari tiga atau empat wisata apa yang bisa dilakukan dengan kondisi macet pada akhir pekan. Sementara wisatawan umumnya bisanya akhir pekan.
Menurut Widya hanya bisa dua atau tiga tetapi waktunya sebentar-sebentar. Kalau pertama kali mengunjungi Floating Market Lembang dari pagi,maka setelah siang bisa menjadikan Farm House Lembang sebagai tempat kedua. Tetapi sulit untuk yang ketiga. Supir Grab menyela menyebutkan bahwa wisatawan harus menginap di Lembang dan menyewa mobil bisa Tangkuban Parahu, Floating market, lalu Farm House.
Saya berpikir mungkin juga kebun stoberi sebagai selingan. Namun umumnya wisatawan menginginkan kalau bisa dari Bandung dan bisa menyapu 2-3 kuliner plus 2-3 tempat wisata dalam sehari seperti yang pernah saya alami ikut rombongan tur Palembang. Butuh perencanaan yang matang. Itu baru untuk yang bikin paket perjalanan Bandung-Lembang,
Kami sendiri merasakan kemacetan ketika pulang melalui jalur yang sama ketika berangkat. Dua jam habis dan tiba bada asar. Namun menurut Widya kalau melalui jalur Setiabudi bisa lebih lama untuk kembali ke Bandung. Rasanya Pemkot Bandung, Pemda Kabupaten Bandung dan Provinsi Jawa Barat bisa duduk bersama membicarakan ketidakefesienan ini.
Ketidak efesienan ini juga terjadi di Ciwidey. Habis enam jam untuk mengunjungi satu destinasi wisata seperti Kawah Putih yang sebetulnya tidak terlalu istimewa. Ironisnya Bandung pnya satu program pendidikan master untuk wisata di ITB dan satu sekolah tinggi pariwisata, tetapi kebijakan pariwisata tidak ekonomis.
Irvan Sjafari, Widya Yustina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H