Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Floating Market Lembang: Wisata Keluarga yang cerdas, Tidak Efisien karena Macet

15 Januari 2017   16:40 Diperbarui: 15 Januari 2017   16:57 2896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu view floating market pada 8/1 2017. Foto: Irvan Sjafari

Minggu pagi (8/1) lalu  sekitar pukul 9.30  yang lalu saya dan rekan saya sesama jurnalis, Widya Yustina berangkat dari kawasan Dago, Bandung menyewa GrabCar menuju Floating Market Lembang. Destinasi wisata favorit warga Bandung dan Jakarta.  Dikatakan favorit karena begitu banyak foto-foto yang dipamerkan di media sosial dan tulisan di blog yang berkaitan dengan pasar apung ini. Sekalipun kerap ke Bandung, tetapi saya baru kali ini berkesempatan ke tempat wisata itu, sementara Widya sudah kelima kalinya.

Tadinya saya kira sampai sekitar tengah hari karena disergao kemacetan. Namun rupanya Widya dan sang supir tahu jalan memotong yang tidak melalui jalur konvensional, melalui Jalan Sethiabudi, namun terus ke atas melalui Dago Pakar dan akhirnya tiba di pelataran parkir Floating Market sekitar pukul 10.30.  Pengelola wisata tahu tidak perlu pengemudi Grab Car membayar karena mengantar wisatawan-malahan diuntungkan-sehingga kami cukup membayar Rp20.000 per orang tiket masuk yang bisa ditukarkan dengan voucher minuman.

Konsep dari Floating Market Lembang memang ditujukan kepada segmen keluarga. Terbukti bukan saja aneka kuliner yang berada di pinggir situ  yang menjadi “jualan”, tetapi juga wahana bermain dengan kelinci, kandang angsa, hingga ayam kate. Keberadaan “kebun binatang” kecil ini  memikat anak-anak.  Terbukti kami melihat anak-anak bermain kelinci dengan antusias. Keberadaan saung-saung untuk beristirahat (sayangnya harus disewa) memperkuat konspe keluarga. 

 “Yang baru adalah ayam kate. Kalau tidak salah  angsa juga dipindah dan di atas bukit ada pengembangan kebun bunga,” celetuk Widya ketika kami sudah setengah berkeliling menuju tempat makan utama. 

Kandang Ayam Kate (kredit Foto: irvan sjafari)
Kandang Ayam Kate (kredit Foto: irvan sjafari)
Bermain dengan kelinci (kredit foto: irvan sjafari)
Bermain dengan kelinci (kredit foto: irvan sjafari)
Di tengah situ terdapat replika bangunan khas  Negeri Belanda dan juga Jepang. Wahana ini tempat berfoto dan tentunya harus membayar. Pengunjung tidak diperbolehkan memotret sendiri di spot tertentu.  Pengunjung juga bisa menyewa konstum ala Jepang dan dengan riasan untuk di foto studio ala orang Jepang dan sepintas seolah-olah di Jepang.  “Begitu juga dengan  wahana berbau Jepang , sebelumnya hanya Belanda,” tutur Widya, guide yang baik.

View dengan Bangunan Khas Negeri Belanda/Foto: Widya Yustina
View dengan Bangunan Khas Negeri Belanda/Foto: Widya Yustina
Saya sendiri sebetulnya kurang suka dengan keberadaan wahana bangunan berbau asing dengan arsitekturnya, sepertinya bertentangan bangunan-bangunan khas arsitektur Sunda.  Mengapa tidak rumah-rumah khas Sunda, seperti di Kampung Naga? Bukankah memikat wisatawan asing. Tetapi tampaknya sasarannya memang family.  Apa boleh buat pengaruh J-Pop dan sebetulnya juga K-Pop cukup kuat di anak muda Bandung, terbukti beberapa kali event cosplay disambut baik.  Terbukti peminat foto dengan kostum Jepang di Floating market didominasi kalangan muda.   

Kami berdiskusi cukup seru, karena Widya juga menyukai pop art Jepang dan Korea. Menurut dia Sunda sudah terwakili dengan bangunan di pinggir situ. Dia juga benar karena ada figur wayang golek  Cepot di salah sudut mewakili jati diri Priangan. 

View bangunan khas Jepang di atas situ (kredit foto: irvan Sjafari)
View bangunan khas Jepang di atas situ (kredit foto: irvan Sjafari)
Sudut dengan nuansa Priangan (kredit foto: Irvan sjafari)
Sudut dengan nuansa Priangan (kredit foto: Irvan sjafari)
Taman Mini Kuliner Bandung

Untuk berbelanja kuliner, kami membeli koin sebagai pengganti  pembayaran. Koin berwarna-warni sesuai belanjaannya, mulai seharga Rp5000, Rp10.000 hingga Rp20.000.  Bukan hal yang baru. La Piazaa Kelapa  Gading dalam berapa event kuliner-nya menggunakan konsep ini. Pengunjung akan menghabiskan koin yang dibelinya.  Widya bilang Rp50.000 per orang cukup sudah termasuk minum sudah terbukti. Namun tentu saja lebih karena ada kuliner lain pantas dicicipi.  Hanya saja pengunjung harus berhitung berapa budget yang dihabiskan karena koin tidak bsia lagi ditukarkan dengan uang.

Dari segi kuliner Floating Market Lembang mewakili kuliner yang ada di Bandung. Saya sendiri menikmati sate kelinci untuk pertama kali di stand penjualan sate. Selain sate kelinci, terdapat sate sapi dan sate ayam. Khususnya sate sapi dan kelinci banyak bertebaran di Bandung. Tadinya saya mengincar sate sapi yang pernah saya cicipi di berapa tempat di Bandung, namun habis. Akhirnya saya memilih sate kelinci dihidangkan dengan lontong senilai Rp35.000.

Rasa sate kelinci kalau dari segi tekstur dagingnya mendekati daging ayam, namun sedikit lebih keras. Cocok juga buat saya.

gerai sate kelinci (Irvan Sjafari)
gerai sate kelinci (Irvan Sjafari)
Widya sendiri memilih Bakso Malang dan Tempe Mendoan. Kami juga mencicipi  Tahu Susu Lembang yang rasanya gurih, teksturnya lembut dibanding Tahu Sumedang.  Ada Ronde Jahe Gardujati di salah satu stand. Tentu  tidak bisa  kami lewatkan.  Kami juga mencicipi pisang goreng yang disajikan dengan gula aren.  Bandung memang kreatif dalam kuliner, Ada kuliner dari luar tetapi diracik untuk lidah Indonesia.

Kami baru menukarkan voucher minuman menjelang makan siang, dua jam setelah berada di areal Floating Market. Menurut Widya ketika pertama kali berkunjung hanya ada tiga macam pilihan. Namun ketika kami datang variannya sudah lebih banyak.  Kami berdua memilih minuman Milo.

Sekalipun tidak mewakili keseluruhan, tetapi apa yang disajikan di Floating Market Lembang semacam Taman Mini Kuliner (yang ada) di Bandung. Dari segi penyajian variasi kuliner menjadi  keunggulan tempat wisata ini .  Pihak pengelola tinggal mempertahankan agar harganya bisa ekonomis dan terjangkau lebih banyak kalangan.            

Dari segi fasilitas umum toilet dan mushala cukup memadai bagi muslim dan muslimah menuaikan ibadah salat zuhur dan asar.  Begitu juga untuk tempat sampah ada di berapa sudut membuat pengunjung tidak membuang sampah sembarangan.

Gerai pisang goreng (kredit foto: Irvan sjafari)
Gerai pisang goreng (kredit foto: Irvan sjafari)
Plus dan Minus

Konsep Floating Market Lembang terobosan menarik untuk sebuah destinasi wisata bagi mereka yang baru pertama atau bagi keluarga yang memang ingin seharian.  Tetapi bagi sebuah rombongan tour yang ingin dalam sehari mengunjungi tiga atau empat wisata dalam sehari tidak efesien dan itu jadi masalah besar bagi wisata Jawa Barat: kemacetan, serta infrastruktur tentunya.

Saya berdiskusi dengan Widya, bagaimana kalau seandainya saya membawa rombongan wisatawan yang membuat trip Bandung-Lembang alam sehari bisa lebih dari tiga atau empat wisata apa yang bisa dilakukan dengan kondisi macet pada akhir pekan. Sementara wisatawan umumnya bisanya akhir pekan.

Menurut Widya hanya bisa dua atau tiga tetapi waktunya sebentar-sebentar.  Kalau pertama kali mengunjungi Floating Market Lembang dari pagi,maka setelah siang bisa menjadikan Farm House Lembang sebagai tempat kedua. Tetapi sulit untuk yang ketiga.  Supir Grab menyela menyebutkan bahwa wisatawan harus menginap di Lembang dan menyewa mobil bisa Tangkuban Parahu,  Floating market, lalu  Farm House.

Saya berpikir mungkin juga kebun stoberi sebagai selingan.  Namun umumnya wisatawan menginginkan kalau bisa dari Bandung dan bisa menyapu 2-3 kuliner plus 2-3 tempat wisata dalam sehari seperti yang pernah saya alami ikut rombongan tur Palembang.  Butuh perencanaan yang matang. Itu baru  untuk yang bikin paket  perjalanan Bandung-Lembang, 

Kami sendiri merasakan kemacetan ketika pulang melalui jalur yang sama ketika berangkat. Dua jam habis dan tiba bada asar. Namun menurut  Widya kalau melalui jalur Setiabudi bisa lebih lama untuk kembali ke Bandung. Rasanya Pemkot Bandung, Pemda Kabupaten Bandung dan Provinsi Jawa Barat bisa duduk bersama membicarakan ketidakefesienan ini.

saung dengan wayang golek.
saung dengan wayang golek.
Para pembuat kebijakan juga harus mengakomodasi wisatawan backpacker yang ingin ongkos murah tetapi bisa banyak mengunjungi tempat wisata.   Termasuk juga untuk mengikutsertakan warga lokal yang tidak hanya bisa jadi tukang ojek-yang kadang memeras kantung wisatawan yang budgetnya pas-pasan? Atau maunya Pemprov Jawa Barat atau Pemda Kabupaten Bandung, Pemot Bandung dan Pemda Kabupaten Bandung Barat hanya mau mengkomodasi wisatawan kelas menengah atas?

Ketidak efesienan ini juga terjadi di Ciwidey. Habis enam jam untuk mengunjungi satu destinasi wisata seperti Kawah Putih yang sebetulnya tidak terlalu istimewa.  Ironisnya Bandung pnya satu program pendidikan master untuk wisata di ITB dan satu sekolah tinggi pariwisata, tetapi kebijakan pariwisata tidak ekonomis.

Irvan Sjafari, Widya Yustina

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun