“..Perempuan kita sebagai iboe, sebagai pendidik, sebagai saudara haroe diboekakan matanja oentoek melihat kebodohan dan kelembekkan dirin ja sendiri, segala hal, segala penghinaan jang dikenakan padanja, jaitoe terdjadi oleh karena kebodohannja, kepasrahannja pada takdir dan adat-istiadat jang menekan padanja…”
Beberapa persoalan perempuan juga diungkap dalam surat kabar atau majalah yang segmen pasarnya tidak terbatas gender. Nani BD dalam tulisannya bertajuk “Pendidikan Bagi Kaum Perempoean” yang dimuat dalam Soeara Kaoem Betawi edisi Desember 1927 misalnya menuntut emansipasi perempuan bukan hanya diberi kesempatan untuk bisa membaca dan menulis. Tetapi lebih dari itu.
“Roepa-roepanja masih banjak kaoem terpeladjar (intelektoeal) jang beperasaan bahwa anak perempoan itoe, asal pandai membatja dan menoelis sadja, soedalah tjoekoep. Itoe sebenarnja amat keliroe. Demi mereka jang berpersaan demikian terboekti bahwa mereka masih dalam kaoem koeno (concervatif)..
Dunia Wanita: Media Perempuan Tempo Dulu
Pada akhir perang kemerdekaan hingga awal 1950-an ada majalah Dunia Wanita yang antara lain diawaki oleh jurnalis Ani Idrus. Saya ambil contoh edisi 8 Tahun 1 bertanggal 1 Oktober 1949 dengan cover: Nona dr Jetty Zain, seorang aktivis perempuan masa itu. Majalah itu memuat tulisan sang aktivis berjudul” Langkah Kedepan”.
Tulisan itu antara lain memprotes hukuman mati yang dijatuhkan Belanda atas Robert Wolter Monginsidi dan tujuh anggota TNI di Sidoardjo yang dianggap keji (kalau Jetty mengenal istilah HAM, pasti ia menyebut hukuman mati itu sudah melanggar HAM). Dia juga mengkritik kekakuan jalannya “Konperensi Medja Bundar” (pakai ejaan masa itu).
Gadis Rasyid dengan tulisannya “Kartini dan Nurdewati” mengungkapkan masa itu banyak wanita yang namanya tidak terkemuka tetapi pekerjaannya penuh tanggungjawab. Di Jakarta ada dua perempuan bernama Kartini dan Nurdewati yang mengurus para wartawan atau tamu dari luar negeri yang ingin mengunjungi daerah Republik Indonesia, tentunya setelah mendapat izin. Kalau sekarang istilah Laisson Officer (LO). Mereka menguasai Bahasa Inggris menjelaskan adat istiadat Indonesia.
Selain liputan politik dari sudut perempuan, misalnya tulisan Ani Idrus sendiri tentang “Menindjau ke Jogja”, terdapat artikel berkaitan dengan domestik. Di antaranya rubric Pendidikan bertajuk “Permainan dan Dongeng” ditulis Ny. Sujatmi Mukarana. Inti rtikel itu ialah penting dongeng bagi anak-anak untuk menanamkan ahlak. Misalnya kisah Bawang Putih dan Bawang Merah agar anak memihak orang yang halus perangainya. Sementara untuk permainan Gobag Sodor melatih anak-anak berani dan tangkas.
Pada edisi lain ada profil tokoh wanita hingga cerpen. Saya baru tahu dari majalah itu bahwa Istri dari tokoh ulama dari Aceh Daud Beureueh pernah memimpin delegasi Aceh ke Yogyakarta. Ada profil pemipin wanita dari India dan Tiongkok. Tentunya ada rubrik domestik, seperti Jahit Menjahit. Lucu juga dulu ada Celana Monyet untuk anak-anak. Ketika saya kecil pada 1970-an masih memakai celana monyet. Dunia Wanita juga disokong iklan, yang sebetulnya tidak semuanya berhubungan dengan perempuan. Misalnya Virginia Cicarettes Tjap Kiwi dan Kupu-kupu, Union Forwading Agent (usaha ekspedisi), Anggur Obat: Toko Chin Lie di Medan, toko batik Soeng Sin Foek.
Kalau disimak Dunia Wanita sebangun dengan media perempuan saat ini pada zamannya. Sekalipun karena situasi nasionalisme begitu tinggi pada akhir perang kemerdekaan membuat isu politik lebih kental.
Tetapi ada sejumlah konten tentang pemberdayaan perempuan bila dibandingkan dengan keterbatasan SDM perempuan masa itu, keberadaan patut diacungkan jempol. Dunia Wanita jelas-jelas mendukung tampilnya perempuan di ranah publik dengan lugas dan tegas. Suatu hal yang masih ditunggu pada era sekarang.