Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Media Cetak Khusus Perempuan Belum Menapaki Senjakala

25 Desember 2016   16:12 Diperbarui: 25 Desember 2016   17:24 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabloid nova edisi Akhir Desember (Foto: Irvan sjafari)

Beberapa waktu lalu Tabloid Nova merayakan edisi ke 1500-nya dan seminggu lalu. Pada usianya yang hampir 30 tahun, Tabloid Nova menerbitkan bundling dua edisi sekaligus dengan cover Revalina Sayuti Temat dan edisi lainya Laudya Cynthia Bella bersama Raline Shah dengan mengambil moment menjelang diluncurkan film Surga Yang tak Dirindukan 2. Tabloid dengan pangsa pasar perempuan (wanita) itu adalah salah satu dari media cetak yang masih bertahan di era rontoknya media cetak.  

Selain Tabloid Nova, Tabloid Wanita Indonesia, Tabloid Nyata dan majalah seperti Femina dan Kartini masih eksis. Fenomena ini mengungkapkan bahwa segmen perempuan masih merupakan segmen potensial karena dukungan iklan dan kuat dan sebetulnya juga komunitas pembaca yang sudah terbentuk. Itu sebabnya media perempuan yang bertahan adalah media yang punya sejarah panjang. Namun yang baru terutama yang franchise justru tutup.

Berbicara tentang media perempuan bagi saya ada dua hal. Pertama media tentang perempuan dan aspek-aspek kehidupannya -yang kerap dikaitkan dengan perempuan karena budaya -seperti dapur, kecantikan, mode pakaian, mode rambut, mengurus anak, kesehatan, menata rumah. Ada media yang menjadikan fenomena modern dan global, pernikahan antar bangsa, atau punya cinta lain selain suami karena pekerjaan kantor, gaji isteri lebih tinggi dari suami, single parent yang umumnya media membidik segment A hingga A+ atau menengah atas. 

Kedua, yang lebih sulit ditemui ialah media dengan perspektif perempuan dengan tema umum. Saya pernah menjadi awak Tabloid Fortuna pada 1999 dalam berapa edisi pernah mencoba formula ini. “Peristiwa Trisakti 12 Mei 1998” dilihat dengan narasumber para ibu dari empat mahasiswa Triskati yang gugur dari peristiwa itu dan aktivis sekaligus juga aktris Wanda Hamidah.  

Hasilnya memang perspektif humanisme lebih kental. Edisi ini cukup disambut pasar. Namun pada edisi tentang kepemimpinan perempuan, tentu juga ada sumber sejarawan yang laki-laki dengan pactberita Megawati waktu itu disebut sebagai calon presiden tidak demikian.

Hasilnya menimbulkan kesan lebih galak justru sumber yang laki-laki bahwa kepemimpinan perempuan tidak masalah, sementara kebanyakan perempuan sepertinya tidak peduli pada politik. 

Saya menjadi mengerti mengapa di negara yang katanya kesetaraan gender sudah kuat seperti Amerika Serikat, Hillary Clinton bisa kalah di Pemilihan Presiden. Hillary mengesankan anak orang kaya dengan penampilan glamour dan jauh dari kebanyakan kaum perempuan Amerika yang bekerja keras untuk bisa bertahan hidup.  

Sebetulnya Amerika Serikat tidak jauh beda dengan Indonesia, kebanyakan kaum perempuannya bekerja untuk menopang kehidupan ekonomi keluarganya daripada kesadaran kesetaraan gender. Sekalipun Amerika Serikat negara maju. 

Ada dialog yang pernah terjadi di sebuah angkutan umum yang saya tumpangi ketika seorang anak muda menolak memberi tempat duduk kepada seorang perempuan yang sebaya  namun mimik wajahnya ingin duduk dengan alasan “Anda kan wanita karir, emansipasi haru setara dong!” Perempuan itu berkata dengan memelas “Saya terpaksa bekerja, gaji suami saya nggak cukup!” Lalu pemuda itu memberikan tempat duduknya.

Debra Yatim dalam diskusi peluncuran Tabloid Fortuna pada 3 Februari 1999 di Kafe Studio 41 Jakarta  yang saya catat dalam diary saya menyebutkan menjadi tidak penting seorang presiden itu perempuan atau tidak. Yang penting apalah presiden itu punya kepedulian terhadap perempuan atau tidak. Margaret Tatcher (PM Inggris) tega memangkas dana tunjangan kaum papa, Orang Jompo. Ketika ia memerintah Tatcher tidak memberi tempat (mendengar) suara aktivis perempyab, NGO perempuan.

Dalam catatan saya mengutip pooling yang dilakukan Suara Ibu Peduli di penghujung tahun 1998 terhadap 50 responden, 25 laki-laki dan 25 perempuan, hasilnya 19 laki-laki setuju perempuan menjadi presiden, 6 tidak setuju. Sementara 15 perempuan setuju dan 10 tidak setuju. 

Jadi lebih banyak perempuan tidak setuju kaumnya menjadi pemimpin. Entah apa alasannya. Tetapi tampaknya perempuan tidak begitu yakin bahwa kalau kaumnya menjadi pemimpin terjadi perubahan terhadap nasib perempuan.

Kembali ke media perempuan, saya teringat tulisan Marwah Daud Ibrahim berjudul “Citra Perempuan dalam Media: Seksploitasi dan Sensasi Sadistik” yang ditulis pada 1980-an. Marwah mengkritisi bahwa majalah wanita umumnya menggambarkan kehidupan para bangsawan, bintang film tenar dan milyuner yang membawa mimpi-mimpi dan angan-angan. 

Bukannya menolong kaumnya untuk kian cerdas, untuk kian berpihak pada puluhan juta wanita lainnya yang sedang merana. Media hingga era itu banyak memamerkan berita perkosaan dan sadistik. Kisah wanita simpanan menjadi jualan media. Ini mengesankan, jika perempuan keluar rumah risikonya menjadi istri simpanan, diperkosa dan dibunuh [1].

Saya kira Marwah tidak sepenuhnya benar. Pengasuh media waktu sudah menyadari hal itu. Apalagi saat ini di mana media harus berkompromi pada pasar dan iklan. Satu-satunya jalan ialah bagaimana memkompromikan antara pemberdayaan perempuan, pasar dan juga kepentingan iklan. Pada era sekarang iklan yang menolong kehidupan media daripada tiras. Saya tahu persis biaya cetak untuk majalah dan koran memakan biaya tinggi bahkan melebihi gaji awaknya.  

Elly Burhaini Faizal juga mengungkapkan hal ini dalam sebuah artikelnya. Tuntutan pembebasan perempuan ini bersimpang jalan dengan apa yang disebut “tuntutan pasar”. Mereka mencetak perempuan bebas dan mandiri, tetapi sekaligus menjadikannya sebagai makhluk yang lemah. Alih-alih makhluk berakal, berprestasi, perempuan lebih banyak ditampilkan sex appeal-nya. Sejak awal majalah perempuan era 1970-an menyimpan kegamangan. Mereka sibuk merumuskan citra perempuan ideal, yang sesuai kriteria perempuan kelas menengah [2]

Tabloid Nova

Jujur saya pengagum Tabloid Nova sebagai model media perempuan yang paling kompromi menurut saya. Di satu sisi memberdayakan perempuan, di sisi lain pengelola media ini sadar bahwa memang budaya patriaki begitu kuat. Redaksi sadar bahwa perempuan masih bergulat dengan tugas domestik, tetapi juga ada yang mandiri. Namun semandirinya perempuan di Indonesia masih patuh pada adat ketimurannya. Ini yang saya baca dari Tabloid Nova sepanjang 1990-an hingga sekarang.

Saya ambil contoh, Tabloid Nova edisi 1504/XXIX 19-21 Desember 2016 menampilkan cerita pernikahan aktris Acha Septriasa dengan Vicky Kharisma sebagai artikel unggulannya di rubrik selebritas. Tak ada yang istimewa dalam artikel itu subtansi isinya tidak jauh beda dengan infotainmen dan tabloid hiburan lainnya. Hanya saja penyajiannya benar-benar dari sudut Acha begitu ciamik, jauh dari gosip murahan.

Pada artikel lainnya, pandangan Ralina Shah dan Laudya Cynthia Bella tentang poligami –karena mereka memerankan tokoh yang kebetulan karena sesuatu hal memiliki suami yang sama- cukup menarik. Sekalipun Raline dan laudya memperlihatkan sikap diplomatis terhadap masalah ini. “Saya rasa semua situasi dan kondisi harus dilihat dari individu, apa yang terbaik untuk orang itu dan sekitar itu,” kata Raline. Tentu saja kedua aktris itu bakal menghindari  pembicaraan yang lebih dalam soal poligami. Bandingkan kalau misalnya disajikan oleh Jurnal perempuan.  

Selanjutnya rubrik Griya dan Sedap Tradisional jelas  untuk perempuan dengan tugas domestik. Juga artikel tentang empat tipe ibu mulai dari Ibu Otoriter Tukang perintah ,Ibu Permisif, otoritatif Pilihan Bijak, serta Ibu Over Protective. Tentunya dengan penjelasan apa akibatnya bagi anak. Penyajian sangat ringan, sayang tidak diberikan data ilmiahnya apa iya akan jadi seperti itu. Berapa kasus ibu Over Protective membuat anak tidak mandiri? Apakah anak laki-laki dan anak perempuan mengalami hal yang sama?

Artikel itu terkesan menyadur dari sumber yang terjadi di negara maju (Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia dan sebagainya). Mungkin hanya cocok untuk ibu-ibu di kota Jakarta, Bandung atau kota-kota dengan budaya cosmopolitan. 

Lain ceritanya dengan ibu-ibu di kota yang lebih terpencil. Padahal penggemar Nova saya kira juga banyak datang dari kota di luar Jawa. Pada rubric lain tentang film yang dinanti membuat saya heran apakah para perempuan memang menantikan film sekuel “Transformer” atau “Resident Evil”, itu kesannya untuk ibu kota sekali dan anak muda sekali.   

Namun saya mengapresiasi rubrik “Hijaber Beraksi”, karena ada segmen muslimah yang kerap diseplekan media perempuan lainnya. Padahal para hijaber itu tumbuh signifikan dengan terbentuknya komunitas-komunitas hibajer seperi di Jakarta dan  Bandung. Jangan lupa, dari segi iklan rubrik ini punya peluang. Brilian. Juga rubrik kisah inspratif merawat pasien HIV/AIDS, Berbagi Makanan sehat. Kecuali “Hijaber  Berakasi” yang terobosan baru, formula rubric lain tidak jauh beda dengan rubrik Tablod Nova tahun 1990-an.

Media Perempuan dari Perspektif Sejarah

Tanpa mengesampingkan tokoh Kartini dan Dewi Sartika, emansipasi atau pemberdayaan kaum perempuan  menurut saya justru dipelopori oleh para jurnalis.  Rohana Koedoes dengan surat kabar Soenting Melajoe di antaranya.  

Surat kabar yang terbit pada 1910-an ini berhasil memancingkan korespondensi kaum perempuan tidak saja di Ranah Minang tempat surat kabat itu berpusat, tetapi juga  di daerah lain, baik di Sumatera sendiri, Jawa, Sulawesi. Apa yang dimuat dalam surat kabar tersebut bukan saja  soal nasib perempuan, tetapi juga bagaimana membangun perekonomian perempuan agar tidak hanya bergantung pada suami. Hal itu dicontohkan sendiri oleh Rohana koedoes.

Soenting Melajoe (kredit foto: Indonesia Expat)
Soenting Melajoe (kredit foto: Indonesia Expat)
Jurnalis perempuannya masih belia ketika terjun ke lapangan. Retna Tenoen binti Datoek Soetan maharadja menjadi jurnalis ketika masih berumur 11 tahun dan menjadi murid HIS. Sumatera Barat juga punya Ratnasari, Tokoh  Permi yang ditangkap ketika ia berusia 18 tahun dan Rasuna Said juga ditangkap pada usia muda. Semua ditangkap karena delik pers dan pembicaraan yang dinilai maker atau menghasut. 

Selain Soenting Melajoe, saya menelusuri sejumlah media masa lain. Ada Poetri Mardika pada 1915. Dalam sebuah tulisannya tidak hanya menyuarakan naisb perempuan, tetapi juga lebih luas soal kemanusiaan dan kebangsaan.

..Kalaoe menoeloeng itoe soedah wadjibnja bangsa jang koeat. Kita wadjib berdaja oepaja, bersedia djaga-djaga, soepaja kita lantas bisa toeloeng pada siapa djoega jang sengsara… (Poetri Mardika, Juli, 1915).

Media perempuan pada masa pergerakan berorientasi pada ideologi Islam atau nasionalis. Saya menelusuri beberapa di antara dari sekian banyak media, yang umumnya umurnya tidak terlalu panjang. Saya mengutip pernyataan dari seorang penulis perempuan dari sebuah media yang pembacanya muslimah yang terbit pada 1920-an. Tulisan itu mengkritisi bahwa perempuan juga bisa menyampaikan kebenaran.

“..Kekoeasaan yang moelia itoe di bawah kebenaran. Biarpoen orang perempoean tetapi kalau ada di dalam kebenaran haroes si lelaki Ta’kloek kepada perempoean. Kalau ada orang lelaki menghalang-halango si perempoean mengerdjakan kebenaran, kita orang perempoan haroes memaksa lakinja mengidzinkan pekerdjaan itoe…” (Soenarti, “Nasib Perempoean Islam”, dalam Taman Moeslimah-Istri Soesila, 20 Agustus 1926)

 Contoh lainnya  untuk  yang berideologi “nasionalis”  saya kutip dari Istri edisi November-Desember 1930 memuat tulisan berinisial SNI, dari Bandung bertajuk “Pergerakan kaoem Perempoen Indonesia Toedjoean Apa jang Haroes Diambil”  memberikan ulasan:

“..Perempuan kita sebagai iboe, sebagai pendidik, sebagai saudara haroe diboekakan matanja oentoek melihat kebodohan dan kelembekkan dirin ja sendiri, segala hal, segala penghinaan jang dikenakan padanja, jaitoe terdjadi oleh karena kebodohannja, kepasrahannja pada takdir dan adat-istiadat jang menekan padanja…”

Beberapa persoalan perempuan juga diungkap dalam surat kabar atau majalah yang segmen pasarnya tidak terbatas gender. Nani BD dalam tulisannya bertajuk “Pendidikan Bagi Kaum Perempoean” yang dimuat dalam Soeara Kaoem Betawi edisi Desember 1927  misalnya menuntut emansipasi perempuan bukan hanya diberi kesempatan untuk bisa membaca dan menulis. Tetapi lebih dari itu.

 “Roepa-roepanja masih banjak kaoem terpeladjar (intelektoeal) jang beperasaan bahwa anak perempoan itoe, asal pandai membatja dan menoelis sadja, soedalah tjoekoep. Itoe sebenarnja amat keliroe. Demi mereka jang berpersaan demikian terboekti bahwa mereka masih dalam kaoem koeno (concervatif)..

Dunia Wanita:  Media Perempuan Tempo Dulu  

Pada akhir perang kemerdekaan hingga awal 1950-an ada majalah Dunia Wanita yang antara lain diawaki oleh jurnalis Ani Idrus.  Saya ambil contoh edisi 8 Tahun 1 bertanggal 1 Oktober 1949 dengan cover: Nona dr Jetty Zain, seorang aktivis perempuan masa itu. Majalah itu memuat tulisan sang aktivis berjudul” Langkah Kedepan”.  

Tulisan itu antara lain memprotes hukuman mati yang dijatuhkan Belanda atas Robert Wolter Monginsidi dan tujuh anggota TNI di Sidoardjo yang dianggap keji (kalau Jetty mengenal istilah HAM, pasti ia menyebut hukuman mati itu sudah melanggar HAM). Dia juga mengkritik kekakuan jalannya “Konperensi Medja Bundar” (pakai ejaan masa itu). 

Gadis Rasyid dengan tulisannya “Kartini dan Nurdewati” mengungkapkan masa itu banyak wanita yang namanya tidak terkemuka tetapi pekerjaannya penuh tanggungjawab. Di Jakarta ada dua perempuan bernama Kartini dan Nurdewati yang mengurus para wartawan atau tamu dari luar negeri yang ingin mengunjungi daerah Republik Indonesia, tentunya setelah mendapat izin. Kalau sekarang istilah Laisson Officer (LO). Mereka menguasai Bahasa Inggris menjelaskan adat istiadat Indonesia.

Selain liputan politik dari sudut perempuan, misalnya tulisan Ani Idrus sendiri tentang “Menindjau ke Jogja”, terdapat artikel berkaitan dengan domestik. Di antaranya rubric Pendidikan bertajuk “Permainan dan Dongeng” ditulis Ny. Sujatmi Mukarana. Inti rtikel itu ialah penting dongeng bagi anak-anak untuk menanamkan ahlak.  Misalnya kisah Bawang Putih dan Bawang Merah agar anak memihak orang yang halus perangainya. Sementara untuk permainan Gobag Sodor  melatih anak-anak berani dan tangkas.

Pada edisi lain ada profil tokoh wanita hingga cerpen. Saya baru tahu dari majalah itu bahwa Istri dari tokoh ulama dari Aceh Daud Beureueh pernah memimpin delegasi Aceh ke Yogyakarta. Ada profil pemipin wanita dari India dan Tiongkok. Tentunya ada rubrik domestik, seperti Jahit Menjahit. Lucu juga dulu ada Celana Monyet untuk anak-anak.  Ketika saya kecil pada 1970-an masih memakai celana monyet. Dunia Wanita juga disokong iklan, yang sebetulnya tidak semuanya berhubungan dengan perempuan. Misalnya Virginia Cicarettes Tjap Kiwi dan Kupu-kupu, Union Forwading Agent (usaha ekspedisi), Anggur Obat: Toko Chin Lie di Medan, toko batik Soeng Sin Foek.   

Kalau disimak Dunia Wanita sebangun dengan media perempuan saat ini pada zamannya. Sekalipun karena situasi nasionalisme begitu tinggi pada akhir perang kemerdekaan membuat isu politik lebih kental.  

Tetapi ada sejumlah konten tentang pemberdayaan perempuan bila dibandingkan dengan keterbatasan SDM perempuan masa itu, keberadaan patut diacungkan  jempol. Dunia Wanita jelas-jelas mendukung tampilnya perempuan di ranah publik dengan lugas dan tegas. Suatu hal yang masih ditunggu pada era sekarang. 

Irvan Sjafari

Tulisan ini untuk Hari Ibu 22 Desember 2016 

Catatan kaki:

[1}  Marwah  Daud Ibrahim “Citra Perempuan dalam Media: Seksploitasi dan Sensasi Sadistik” dalam Idi  Subandy Ibrahim, Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Bandung: Mizan, 1997, halaman: 143-155)

[2] Elley Burhani Faizal “Perempuan dalam Media perempuan”  dimuat dalam http://www.langitperempuan.com/perempuan-dalam-media-perempuan/

Sumber Foto:

Main Foto:  Repro Tabloid Nova/irvan Sjafari

Foto Dua: soenting Melajoe/Indonesia Expat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun