Lain ceritanya dengan ibu-ibu di kota yang lebih terpencil. Padahal penggemar Nova saya kira juga banyak datang dari kota di luar Jawa. Pada rubric lain tentang film yang dinanti membuat saya heran apakah para perempuan memang menantikan film sekuel “Transformer” atau “Resident Evil”, itu kesannya untuk ibu kota sekali dan anak muda sekali.
Namun saya mengapresiasi rubrik “Hijaber Beraksi”, karena ada segmen muslimah yang kerap diseplekan media perempuan lainnya. Padahal para hijaber itu tumbuh signifikan dengan terbentuknya komunitas-komunitas hibajer seperi di Jakarta dan Bandung. Jangan lupa, dari segi iklan rubrik ini punya peluang. Brilian. Juga rubrik kisah inspratif merawat pasien HIV/AIDS, Berbagi Makanan sehat. Kecuali “Hijaber Berakasi” yang terobosan baru, formula rubric lain tidak jauh beda dengan rubrik Tablod Nova tahun 1990-an.
Media Perempuan dari Perspektif Sejarah
Tanpa mengesampingkan tokoh Kartini dan Dewi Sartika, emansipasi atau pemberdayaan kaum perempuan menurut saya justru dipelopori oleh para jurnalis. Rohana Koedoes dengan surat kabar Soenting Melajoe di antaranya.
Surat kabar yang terbit pada 1910-an ini berhasil memancingkan korespondensi kaum perempuan tidak saja di Ranah Minang tempat surat kabat itu berpusat, tetapi juga di daerah lain, baik di Sumatera sendiri, Jawa, Sulawesi. Apa yang dimuat dalam surat kabar tersebut bukan saja soal nasib perempuan, tetapi juga bagaimana membangun perekonomian perempuan agar tidak hanya bergantung pada suami. Hal itu dicontohkan sendiri oleh Rohana koedoes.
Selain Soenting Melajoe, saya menelusuri sejumlah media masa lain. Ada Poetri Mardika pada 1915. Dalam sebuah tulisannya tidak hanya menyuarakan naisb perempuan, tetapi juga lebih luas soal kemanusiaan dan kebangsaan.
..Kalaoe menoeloeng itoe soedah wadjibnja bangsa jang koeat. Kita wadjib berdaja oepaja, bersedia djaga-djaga, soepaja kita lantas bisa toeloeng pada siapa djoega jang sengsara… (Poetri Mardika, Juli, 1915).
Media perempuan pada masa pergerakan berorientasi pada ideologi Islam atau nasionalis. Saya menelusuri beberapa di antara dari sekian banyak media, yang umumnya umurnya tidak terlalu panjang. Saya mengutip pernyataan dari seorang penulis perempuan dari sebuah media yang pembacanya muslimah yang terbit pada 1920-an. Tulisan itu mengkritisi bahwa perempuan juga bisa menyampaikan kebenaran.
“..Kekoeasaan yang moelia itoe di bawah kebenaran. Biarpoen orang perempoean tetapi kalau ada di dalam kebenaran haroes si lelaki Ta’kloek kepada perempoean. Kalau ada orang lelaki menghalang-halango si perempoean mengerdjakan kebenaran, kita orang perempoan haroes memaksa lakinja mengidzinkan pekerdjaan itoe…” (Soenarti, “Nasib Perempoean Islam”, dalam Taman Moeslimah-Istri Soesila, 20 Agustus 1926)
Contoh lainnya untuk yang berideologi “nasionalis” saya kutip dari Istri edisi November-Desember 1930 memuat tulisan berinisial SNI, dari Bandung bertajuk “Pergerakan kaoem Perempoen Indonesia Toedjoean Apa jang Haroes Diambil” memberikan ulasan: