Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Media Cetak Khusus Perempuan Belum Menapaki Senjakala

25 Desember 2016   16:12 Diperbarui: 25 Desember 2016   17:24 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soenting Melajoe (kredit foto: Indonesia Expat)

Jadi lebih banyak perempuan tidak setuju kaumnya menjadi pemimpin. Entah apa alasannya. Tetapi tampaknya perempuan tidak begitu yakin bahwa kalau kaumnya menjadi pemimpin terjadi perubahan terhadap nasib perempuan.

Kembali ke media perempuan, saya teringat tulisan Marwah Daud Ibrahim berjudul “Citra Perempuan dalam Media: Seksploitasi dan Sensasi Sadistik” yang ditulis pada 1980-an. Marwah mengkritisi bahwa majalah wanita umumnya menggambarkan kehidupan para bangsawan, bintang film tenar dan milyuner yang membawa mimpi-mimpi dan angan-angan. 

Bukannya menolong kaumnya untuk kian cerdas, untuk kian berpihak pada puluhan juta wanita lainnya yang sedang merana. Media hingga era itu banyak memamerkan berita perkosaan dan sadistik. Kisah wanita simpanan menjadi jualan media. Ini mengesankan, jika perempuan keluar rumah risikonya menjadi istri simpanan, diperkosa dan dibunuh [1].

Saya kira Marwah tidak sepenuhnya benar. Pengasuh media waktu sudah menyadari hal itu. Apalagi saat ini di mana media harus berkompromi pada pasar dan iklan. Satu-satunya jalan ialah bagaimana memkompromikan antara pemberdayaan perempuan, pasar dan juga kepentingan iklan. Pada era sekarang iklan yang menolong kehidupan media daripada tiras. Saya tahu persis biaya cetak untuk majalah dan koran memakan biaya tinggi bahkan melebihi gaji awaknya.  

Elly Burhaini Faizal juga mengungkapkan hal ini dalam sebuah artikelnya. Tuntutan pembebasan perempuan ini bersimpang jalan dengan apa yang disebut “tuntutan pasar”. Mereka mencetak perempuan bebas dan mandiri, tetapi sekaligus menjadikannya sebagai makhluk yang lemah. Alih-alih makhluk berakal, berprestasi, perempuan lebih banyak ditampilkan sex appeal-nya. Sejak awal majalah perempuan era 1970-an menyimpan kegamangan. Mereka sibuk merumuskan citra perempuan ideal, yang sesuai kriteria perempuan kelas menengah [2]

Tabloid Nova

Jujur saya pengagum Tabloid Nova sebagai model media perempuan yang paling kompromi menurut saya. Di satu sisi memberdayakan perempuan, di sisi lain pengelola media ini sadar bahwa memang budaya patriaki begitu kuat. Redaksi sadar bahwa perempuan masih bergulat dengan tugas domestik, tetapi juga ada yang mandiri. Namun semandirinya perempuan di Indonesia masih patuh pada adat ketimurannya. Ini yang saya baca dari Tabloid Nova sepanjang 1990-an hingga sekarang.

Saya ambil contoh, Tabloid Nova edisi 1504/XXIX 19-21 Desember 2016 menampilkan cerita pernikahan aktris Acha Septriasa dengan Vicky Kharisma sebagai artikel unggulannya di rubrik selebritas. Tak ada yang istimewa dalam artikel itu subtansi isinya tidak jauh beda dengan infotainmen dan tabloid hiburan lainnya. Hanya saja penyajiannya benar-benar dari sudut Acha begitu ciamik, jauh dari gosip murahan.

Pada artikel lainnya, pandangan Ralina Shah dan Laudya Cynthia Bella tentang poligami –karena mereka memerankan tokoh yang kebetulan karena sesuatu hal memiliki suami yang sama- cukup menarik. Sekalipun Raline dan laudya memperlihatkan sikap diplomatis terhadap masalah ini. “Saya rasa semua situasi dan kondisi harus dilihat dari individu, apa yang terbaik untuk orang itu dan sekitar itu,” kata Raline. Tentu saja kedua aktris itu bakal menghindari  pembicaraan yang lebih dalam soal poligami. Bandingkan kalau misalnya disajikan oleh Jurnal perempuan.  

Selanjutnya rubrik Griya dan Sedap Tradisional jelas  untuk perempuan dengan tugas domestik. Juga artikel tentang empat tipe ibu mulai dari Ibu Otoriter Tukang perintah ,Ibu Permisif, otoritatif Pilihan Bijak, serta Ibu Over Protective. Tentunya dengan penjelasan apa akibatnya bagi anak. Penyajian sangat ringan, sayang tidak diberikan data ilmiahnya apa iya akan jadi seperti itu. Berapa kasus ibu Over Protective membuat anak tidak mandiri? Apakah anak laki-laki dan anak perempuan mengalami hal yang sama?

Artikel itu terkesan menyadur dari sumber yang terjadi di negara maju (Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia dan sebagainya). Mungkin hanya cocok untuk ibu-ibu di kota Jakarta, Bandung atau kota-kota dengan budaya cosmopolitan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun