Mocca, Rice Sereal and Almond Choco, Split Bananas, The Old Cofee, terdengar serupa dengan nama minuman dan dessert yang menjadi menu sebuah kafe. Tetapi nama-nama itu adalah sebagian dari nama band indie yang berasal dan berdiri di Kota Bandung. Begitu juga nama-nama Burgerkill, The SIGIT, Jasad, Monster, Jeruji, terdengar seperti istilah film thriller, namun itu nama sebagian band indie terutama beraliran musik cadas.
Begitu juga nama Tetangga Pak Gesang, Teman Sebangku, Agis Bape, terdengar seperti sebuah kalimat kalau dibaca. Namun itu nama-nama duo indie di Kota Bandung. Semua nama-nama itu biasa saya temui pada berita dan features yang kerap muncul ketika saya membaca harian umum Pikiran Rakyat antara Juli 2013 hingga Juni 2016.
Berangkat dari keisengan nama-nama ini kemudian saya kumpukan satu demi satu berikut personel, tahun berdiri hingga album atau single yang pernah mereka keluarkan. Hasilnya menakjubkan, karena jumlah kelompok musik mulai dari duo hingga band dengan personel di atas lima orang dari kota kembang yang beredar pada kurun waktu itu lebih dari 120 nama.
Saya jadi ingin tahu berapa sebetulnya jumlah kelompok musik dan band yang ada di Kota Bandung dengan memperluas penelusuran melalui situs, ternyata hingga tulisan ini diturunkan saya sudah mendapatkan 160 nama kelompok musik dan band yang berdiri antara awal 1990-an hingga 2015, sekalipun beberapa di antara mereka memutuskan bubar dan beberapa personel mereka di kelompok lain. Saya menduga jumlahnya bisa menembus 200 dari berbagai genre pop, jazz, rock, metal, dan saya menaksir paling sedikit delapan puluh persen di antara mereka adalah tergolong indie. Sisanya juga berawal dari indie kemudian masuk label.
Bila ditambah dengan band-band atau kelompok musik yang lahir periode 1980-an hingga pertengahan 1990-an masih eksis dan aktif tampil, di antaranya nama-nama yang sudah masuk band nasional, seperti Project Pop, Kelompok Suara Parahyangan (KSP), Gigi, Kahitna, Cokelat dan sebagainya, umumnya punya label, hingga nama-nama yang pernah beredar tetapi tidak aktif lagi pada periode itu, serta yang masih indie, apalagi nama yang berdiri pada 1960-an akhir dan awal 1970-an, seperti Trio Bimbo masih eksis maupun yang tidak, maka angka di atas 300 tampaknya bukan jumlah mustahil.
Bagaimana dengan jumlah penyanyi solo yang berasal dari Kota Bandung baik laki-laki dan perempuan juga berjumlah puluhan? Mereka yang saya data kelahiran 1985 hingga kelahiran 2000, ada yang mencoba-coba dari ajang pencarian bakat, bergerak sendiri secara indie, hingga akhirnya sebagian mempunyai label. Di antara mereka ada nama Tulus, Isyana Sarasvati, Yura Yunita Rachman, bahkan melesat ke tingkat nasional. Di bawah mereka masih ada Tiara Putri Effendy, Cynthia Ivanna, menunggu kesempatan. Jika itu dijumlahkan dengan senior-seniornya seperti Mel Shandy, Nicky Astria, Trie Utamie, melebihi angka 100 penyanyi. Itu baru jumlah yang konservatif.
Yang menarik baik personel band atau penyanyi dari dua generasi ini mempunyai latar belakang pendidikannya cukup baik, paling tidak tamat SMA, tetapi pernah mengenyam bangku kuliah hingga lulusan perguruan tinggi. Fenomena ini sudah terjadi sejak angkatan 1970-an seperti almarhum musisi Harry Roesli, personel Trio Bimbo mengenyam pendidikan perguruan tinggi. Saya menyakini ada hubungan signifikan antara pendidikan dengan kualitas mereka bermusik.
Sebagian besar band mampu menciptakan lagu sendiri dan para penyanyi tunggalnya bukan saja mampu menciptakan lagu, tetapi juga mampu memainkan alat musik seperti penyanyi yang muncul antara 2013-2016, yaitu Yura Yunita dan Isyana Sarasvati. Acara mirip “Show of force” para musisi dua generasi ini tampak pada acara “Musik Tanpa Batas” yang digelar di Kafe Halaman, Tamansari Kota Bandung ketika sekitar 200 musisi kota Bandung yang bergabung dalam Komunitas Musisi Bandung Pisan berkumpul pada 4 Mei 2016.
Di antara yang hadir adalah personel Reza Icha dari Kelompok Suara Parahyangan (KSP), Erland Effendy dari “Wachdah”, Yongkie dari “Mat Bitel”, Ipung dari “Brown Sugar”, Yuki dari “PAS” dan masih banyak lagi (Pikiran Rakyat, 8 Mei 2016).
Jumlah sebenarnya pasti lebih dari itu. Kalau 200 band saja dengan personel 2-10 itu dianggap total 300 musisi, maka ditambah dengan “musisi lebih senior” maka angka 500 musisi asal Kota Bandung yang masih eksis saat ini akan terlewati. Kalau ditambah dengan penyanyi solo, baik penyanyi sudah eksis, penyanyi baru, penyanyi indie maupun dari ajang pencarian bakat yang belum beruntung, angka 1000 musisi atau artis di bidang musik dari kota Bandung adalah angka yang konservatif.
Lalu berapa orang di Kota Bandung yang terlibat dalam aktifitas musik kalau dihitung dengan staf manajemen, event organizer, para DJ, karyawan kafe kerap menjadi tempat penyelenggaraan musik? Saya pernah bertemu dengan tim dari Yura Yunita dalam sebuah pertunjukkan di Citos, Jakarta saya taksir membawa paling sedikit delapan personel. Seorang penyanyi paling tidak punya satu manajer, sekalipun ada satu manajer menghandle beberapa penyanyi. Angkanya melebihi seribuan juga, itu angka yang konservatif bekerja berkaitan dengan musik.
Kalau ditambah dengan komunitas musik atau mereka yang aktif mengikuti event musik, maka angka 10 hingga 15 ribu saya taksir adalah angka yang paling sedikit untuk Kota Bandung. Pikiran Rakyat edisi 14 Maret 2011 untuk musik metal saja pada 1995 jumlah komunitas penggemarnya 3 ribu orang di Kota Bandung dan sekitarnya. Belum lagi komunitas genre musik lain, atau komunitas penggemar seperti Swingging Friend dari Mocca, The Army Changcuter dan sebagainya di Kota Bandung. Apakah jumlahnya bisa mencapai satu persen dari populasi kota memang masih perlu penelitian yang lebih akurat?
Apa arti angka-angka ini? Apakah Bandung memenuhi persyaratan menjadi kota musik? Parameternya apa? Saya mengutip tulisan mantan musisi yang kemudian menjadi seorang creative entrepreneur, Robin Malau [1] tentang kota musik, untuk menciptakan ekosistem musik di Indonesia itu harus dibangun dengan 5 pilar. Pilar pertama adalah Musisi dan Komunitas itu sendiri; tanpa musisi, tidak ada musik. Kedua adalah Infrastruktur; termasuk di dalamnya gedung, sponsorship, teknologi dan lain sebagainya. Ketiga adalah Proses Belajar; termasuk pendidikan musik, kurikulum, perpustakaan dan lain sebagainya. Keempat adalah Pengembangan Industri; ini termasuk pengembangan bisnis, cara-cara monetisasi, distribusi dan lain sebagainya. Dan terakhir adalah Sosial dan Budaya; yaitu toleransi, attitude, sejarah, karakter dan sebagainya.
Setidaknya Bandung sudah punya pilar pertama musisi dan komunitas dalam jumlah yang cukup. Pilar ketiga pendidikan musik, kurikulum dan perpustakaan setidaknya sudah ada berapa perguruan tinggi yang punya jurusan musik, seperti Universitas Pendidikan Jurusan Musik, Institut Seni Budaya Indonesia,Sekolah Tinggi Musik Bandung, serta Universitas Pasundan. Belum lagi pendidikan yang informal seperti Rumah Musik Harry Roesli.
Lainnya adalah Kelas Mocca yang diselenggarakan grup band Mocca merupakan kaderisasi yang baik. Para swinging Friend belajar memadukan alat-alat musik seperti gitar, recorder, pianica, bass, sax dan xylofon komposisi musik juga dimeriahkan unsur perkusi dari snare, cajon, jimbe, cowbell dan tamborin. Para peserta Kelas Mocca juga diberikan bimbingan oleh Harry ‘Koi’ Maulana (Triangle dan anshaphone) dibagian perkusi dan Indra Kusumah (B.I.O dan Rice Cereal and Almond Choco) dibagian gitar akustik [2].
Sampai seberapa banyak event musik yang digelar dalam setahun agar sebuah kota pantas disebut sebagai kota musik. Sampai seberapa besar Kota Bandung mampu menghidupi para musisinya? Jumlah event musik atau festival tentang suatu produk tetapi ada event musiknya yang diadakan di Kota Bandung juga bisa didata dengan menyimak berita-berita di Pikiran Rakyat, antara Januari hingga Juni 2016 event musik terdata sudah di atas 50 event. Pada Januari hingga Desember 2015 saja jumlah yang saya data sekitar 150 acara musik. Luar biasa! Itu artinya setiap bulan paling sedikit sekitar 12-15 event musik ada di Kota Bandung. Itu sama dengan dua hingga tiga event per minggu.
Acara musik yang saya data ini mulai dari pembukaan pasar, promosi pemerintah kota, pertunjukan khusus di kafe, pertunjukan regular yang digelar atau diinisiasi komunitas musik hingga event besar yang rutin seperti Kampoeng Jazz. Jumlah event musik di Bandung ini terpublikasi dengan baik karena dukungan media lokal yang kerap mempublikasikan. Seharusnya ada pihak mendokumentasikan kegiatan ini untuk mengajukan usulan untuk pendeklarasian Bandung sebagai kota musik pada suatu ketika.
Saya melihat ada beberapa unsur dominan mengapa banyak band dan penyanyi indie bisa eksis, yaitu militansi komunitas penggemarnya sekalipun sebagian tidak banyak, kerjasama dan kekompakan antar kelompok musik, mereka seperti serangga sosial, simbiosis mutualisme dengan kafe-kafe, latar belakang perguruan tinggi hingga menciptakan SDM yang mumpuni di bidang musik, dukungan media tentunya juga lingkungan kota Bandung yang “happy” menjadi faktor terakhir.
Perspektif Sejarah
Kalau dari sejarah sejak 1950-an event musik rajin digelar di tempat terbatas seperti Hotel Homann, Grand Hotel Lembang, Karang Setra, terkadang Bumi Sangkuriang Cimbeuleuit hingga pertunjukkan seni budaya di Yayasan Kebudayaan Naripan, Lyceum Jalan Dago, Bumi Sangkuriang Ciumbeluit (hingga kini masih dipakai) kemudian Panti Karya. Musim pop dan musik etnik Sunda sama-sama hidup dan terjadi sintesa di antara keduanya seperti yang dilakukan Mang Udjo.
Penyanyi era 1970-an berakar dari 1950-an, Theresa Zen kemudian diteruskan putrinya lita Zen, Bimbo setidaknya salah seorang personel Sam berasal dari The Alunas yang kerap tampil di berbagai event pada 1950-an. Booming band juga muncul era 1970-an (seperti The Giant Step) diteruskan generasi berikutnya. Munculnya majalah Aktuil juga mendukung eksistensi para musisi. Jadi Bandung sudah menjadi kota musik sejak 1950-an. Para musisi benar-benar bergerak dari Grassroot.
Yang paling menakjubkan justu pada genre musik metal underground oleh sejumlah anak muda di Ujung Berung pada awal 1990-an. Pada 1993, Band Orthodox didirikan oleh Yayan Ahdiat di Gang Kaum Kidul, kawan, diikuti Jasad yang digawangi Yuli, Tito, Hendrik, diikuti Monster, Funeral dan Necromancy. Pendiri monster Ikin, yudi, Abo, Yorda dan Kimung. Umumnya mereka teman satu sekolah di SMPN 1 Ujung Bereung dan SMAN 1 Ujungbereung (kini SMAN 24), akhirnya Burgerkill.
Komunitas punk rock punya kebiasaan nongkrong di Bandung Indah Plaza. Tradisi "tradisi" kumpul-kumpul ini menjadi kekuatan pada masa berikutnya. Mereka mendiskusikan keinginan membuat rekaman dan kompilasi, meskipun sama sekali tak punya pengetahuan cara membuatnya. Keinginan awal komunitas ini hanyalah mendokumentasikan eksistensi komunitas punk rock di Bandung. Hingga jadilah kompilasi berjudul Bandung Punk Rock Storm yang memuat lagu-lagu dari 17 band punk rock Bandung.
Bandung Punk digandakan 1.500 kopi kaset saja, dengan harga Rp 7.500 per biji-harga kaset rekaman arus utama Rp 7.000 per buah. Cara menjualnya di rumah-rumah antarteman. Semua proses kreatif dilakukan gotong-royong di antara komunitas. Pada Oktober 1997, band-band Ujungberung yang beraliran superkeras juga merekam lagu-lagu mereka dengan biaya masing-masing. Jumlah band-nya pun mengejutkan: 13 grup [3].
Musisi dan penulis sejarah musik Kimung dari Burgerkill menulis buku “Ujungberung Rebels: Panceng Dina Galur” menyebutkan bahwa musik metal lahir di Ujungberung, sejak ranah musik ini terbentuk pada 1985 (Pikiran Rakyat, 20 Novemer 2014). Burgerkill memang satu contoh fenomena menakjubkan itu dan dalam berapa event yang saya catat personel band ini kerap tampil berkoloborasi dengan band lain di event itu, misalnya dengan band Mocca. Begitu juga sebetulnya antar band berkoloborasi.
Semangat meluap bermusik ini sempat mendapatkan pukulan ketika terjadi sebuah tragedi pada sebuah konser musik underground.Pada Februari2008 sebuah kejadian yang cukup menghentak dari scene underground di kota Bandung, Sabtu malam, 9 Februari 2008. Sebelas orang tewas terinjak-injak dalam konser tunggal launching album pertama Beside, Against Ourselves, yang digelar di Gedung Asia Africa Cultural Centre (AACC) Jalan Braga. Hal ini diduga karena pihak panitia menjual tiket jauh melebihi kapasitas gedung. Akibat kejadiannya itu sejumlah acara musik pada 2008 dibatalkan dan izin pertunjukkan musik dipersulit. Seolah-olah kegiatan musik tertidur di Bandung [4]
Inovasi dan Keterlibatan Kampus
Pada 2010 aktivis-aktivis musik kembali menggeliat, kebanyakan dari kafe ke kafe. Keterlibatan kaum intektual dari perguruan tinggi menjadi salah satu faktor yang menentukan tetap survivalnya kehidupan musik di Kota Bandung. Keterlibatan itu sudah dimulai sejak 1990-an. Pembentukan Komunitas Musik Fikom Unpad pada 2 Mei 1998 merupakan gerakan dari bawah lainnya yang menjadi contoh bagaimana membuat sebuah terobosan untuk membangun sebuah kota musik. KMF hadir untuk membangun panggung kecil di sekitar mereka, menyebarkan informasi kepada masyarakat luas bahwa talenta luar biasa tidak harus berada di panggung besar ataupun layar kaca.
Namun baru sejak akhir 2014 lalu KMF telah menggelar acara rutin bulanan bersama FFWD Records dan Monstertsres Record bernama An Intimacy. Acara ini selalu diselenggarakan di Lou Bell Shop Bandung berlangsung dua belas kali hingga Desember 2015. Setidaknya ada tiga perusahaan besar yang bersedia menjadi sponsor An Intimacy. Lizzie Band yang berasal dari kalangan mahasiswa mengaku merasakan efek positif setelah meramaikan panggung An Intimacy. (Raissa Nathania, mahasiswa jurnalistik Fikom, dalam rubrik Kampus, Pikiran Rakyat, 11 juni 2015). Pada 2 April 2016 di Gedung New Majestic diadakan event lebih special yaitu An Intimacy: Departure. Di kalangan penggemar musik Indies band-band yang tampil menjadi bahan diskusi yang hangat.
Untuk musik jazz memang variannya di Kota Bandung bisa bercampur dengan musik etnik, karena para musisinya begitu inovasi. Saya pernah menyaksikan pertunjukkan di Braga Festival di era 2010-an bagaimana kelompok musik bernama Sunda Wolves mampu mengaransemen lagu “Mojang Priangan” dengan jazz. Begitu juga dengan genre musik rock, reggae bisa hibrida dengan musik etnik. Kreatifitas yang dilakukan Saung Udjo contoh lain bagaimana lagu seperti “Bohemian Rhapsody” dari Queen bisa dimainkan dengan angklung.
Penyanyi jebolan The Voice of Indonesia, Yura Yunita Rachman mampu membuat lagu berlirik Sunda “Kataji” menjadi begitu “ngebeat”. Dari sisi musik etnik di tangan musisi Bandung bukan tidak mungkin suatu ketika muncul Sunda Pop yang setara dengan K-Pop dan J-Pop, karena SDM-nya sudah ada. Idhar Resmadi, menyebutkan masih diperlukan peran arranger yang mengkonversikan musik Pop Sunda dalam konteks kekinian [5]
Mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran mengaggas event yang disebut sebagai Kampoeng Jazz sejak 2010 sebangun konsepnya dengan Jazz Goes to Campus-nya FEUI menghadirkan tiga panggung dengan pertunjukkan berbeda, sehingga penonton mempunyai pilihan. Musisi yang dihadirkan dari internasional, nasional hingga lokal (Bandung). Menurut saya kekuatan Kampoeng Jazz itu justru di sini di mana musisi lokal mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan internasional sehingga menstimulasi perkembangan musik di Bandung.
Event seperti Ganesha Music 2015 di kampus ITB, Jalan Ganesha, Bandung pada 11 April 2015 contoh lain keterlibatan kampus. Event ini menampilkan band para mahasiswa ITB Komunitas Apres, band mahasiswa lainnya Rotten Boys dan Fine Cut. Para peserta didominasi musik rock. Keterlibatan kalangan terpelajar dalam perkembangan musik Bandung (bukan saja latar belakang personel band-nya), tetapi penyelenggaraan event dan think tank. Itu juga tampak dibentuknya Pembentukan Berani Beda Bandung (BBB) 2 Mei 2015 klub diskusi musik dengan cepat mengumpulkan 110 anggota hingga akhir Juni 2015. Beberapa jurusan seni musik di perguruan tinggi juga menjadi faktor mendukung iklim bermusik dengan baik.
Harga tiket sebuah pertunjukan musik rata-rata relatif terjangkau untuk tingkat penghasilan warga Kota Bandung berkisar antara Rp20 ribu hingga 200 ribu pada periode 2013-2016. Itu sebabnya setia event di kafe dengan mudah mendatang setidaknya seratusan penonton dan event yang lebih besar seperti Kampoeng Jazz bisa dihadiri lebih dari seribu penonton. Sebagian pertunjukkan gratis dan dibiayai sponsor atau mal. Kalau dari tiket dan hitung-hitungan sponsor, bisa jadi bayaran penyanyi atau musisi tidak bisa dibandingkan dengan penyanyi yang sudah jadi, tetapi mungkin saja para musisi kota Bandung lebih banyak memelihara komunitas daripada mengejar penghasilan tinggi (misalnya dengan memburu show sebanyak-banyaknya, tetapi akhirnya mengabaikan kualitas.
Para musisi mampu menciptakan lagu dan menjadikan peluncuran single atau album sebagai sebuah konser yang juga melibatkan musisi “kawan”. Jumlah CD yang dirilis untuk sebuah album tidak terlalu banyak. Band Themilo ketika merilis kembali Let Me Begin pada 1Mei 2015 menyediakan 500 CD dan 250 dalam bentuk piringan hitam. Penjualan di tempat juga dilakukan Yura Yunita Rachman (jebolan The Voice of Indonesia ) pada Konser Balada Sirkus-nya di IFI Bandung pada September 2014 dan di event seperti Kampoeng Jazz pada Mei 2014 ada CD dan kaos Yura dijual.
Terobosan kreatif yang dilakukan ialah sistem arisan dilakukan sekelompok kaum muda urban berjuluk Lazy Club untuk menggelar suatu festival musik. Uniknya komunitas ini bermula dari kegiatan hiking bersama, kelompok beranggotakan para musisi dan pekerja kreatif lainnya itu akhirnya memutuskan menggelar suatu cara independen yang dibiayai dari hasil patungan para anggotanya.
Sistem arisan untuk menjalankan program yang mereka namakan lazy festival ini diikuti 10 band, seperti Taman Sebangku, Nadafiksi, Deugalih,The Fox and The Thives, Trou, Spring Summer, Space and Missile, Sigmun, Bottlesmoker, dan The Triangle.
Dari setiap pengundian dipilih dua band untuk tampil dalam suatu konser yang dibiayai uang hasil patungan peserta arisan. Menurut Ketua pelasakana Lazy Festival pertama bertajuk”Encorel Music Corperation#1, Dwi Kartika Yudhaswara, jumlah peserta arisan edisi pertama ini sengaja dibatasi karena pertimbangan waktu. Selain menampilkan dua band peserta arisan, setiap band mengundang masing-masing satu band tamu untuk memeriahkan panggung musik [6]
Kerap melakukan koloborasi adalah faktor lain yang membuat musik Bandung berkembang. Koloborasi bahkan dilakukan secara berani. Misalnya saja antara Gitaris Tesla Manaf dengan pemain biola Ammy Kurniawan pada Februari 2015 dalam acara “Musik15 #7” di Java Preanger Coffee House, Cisangkuy, Bandung. Koloborasi benar-benar oase dalam pikiran bermusik saya,” kata Ammy [7]
Yang perlu dilakukan pemerintah-setidaknya pemerintah kota-ialah menambah fasilitas tempat bermusik dan infrastruktur lainnya. Bandung memang punya taman musik, tetapi masih perlu gedung dan perpustakaan musik. Tempat penyelenggaraan musik didominasi Sasana Budaya Ganeshadan Bumi Sangkuriang di Ciumbuleuit, Gedung Kesenian Rumentangseang untuk jumlah penonton yang besar, serta sejumlah kafe seperti Bober Tropica, Vanilla Kitchen,Chinock Cafe serta tempat seperti lou Belle Shop, The Maja House, Lawawangi Creative Space yang hanya bisa menampung sekitar seratusan orang. Beberapa hotel juga menjadi tempat pertunjukkan.
Ada juga auditorium milik Institute Francaise Indonesia di Jalan Purnawarman yang mudah diakses publik dibandingkan dengan Jakarta yang menempel pada kedutaan Prancis saat ini. Pertunjukkan di kampus dan SMA juga menyediakan tempat bagi para musisi. Frekuensi kerap tampil sekalipun mungkin dengan pendapatan kurang memadai adalah sebuah resiko untuk bisa survive. Tetapi daya juang para musisi Bandung luar biasa.
Secara keseluruhan secara de facto dengan segala kekurangannya Bandung rasanya menjadi kota musik tanpa perlu deklarasi. Berbagai faktor kreatifitas dan terobosannya, musisi yang berasal dari lulusan atau pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, kepedulian perguruan tinggi, terdapatnya puluhan kafe yang bisa menjadi tempat bermusik, serta sejarah yang cukup panjang, jumlah band dan musisi mendukung hal itu. Hanya saja untuk memenuhi kriteria kota musik untuk diakui secara luas dan mungkin juga memberikan kontribusi pada pariwisata perlu keterlibatan pemerintah kota maupun pusat.
Irvan Sjafari
Tulisan ini dipersembahkan ulang tahun Kota Bandung ke 206 25 September 2016 (bagian pertama)
---
Catatan Kaki:
- Lihat http://www.robinmalau.com/membangun-kota-musik/
- http://mymocca.com/swingingfriends/kelas-mocca-6-promnite/
- Pikiran Rakyat 14 Maret 2011, http://rikysufriyanto.blogspot.co.id/2013/02/awal-mula-adanya-band-indie-bandung.html.
- Lihat www.jakartabeat.net
- Idhar Resmadi, Magister Studi Pembangunan ITB dan pengamat budaya dalam Pikiran Rakyat, 1 Oktober 2015.
- Pikiran Rakyat, 4 Maret 2015.
- Pikiran Rakyat 15 Februari 2015
- Pikiran Rakyat, 28 Februari 2016).
- Seperti yang diselenggarakan di Sasana Budaya Ganesha pada 19 Agustus 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H