Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bandung Kota Musik Tanpa (Perlu) Deklarasi

26 September 2016   13:46 Diperbarui: 23 Oktober 2016   19:30 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rice Cereal and Almond Choco (kredit foto Djarumcokelat.net)

Mocca, Rice Sereal and Almond Choco, Split Bananas, The Old Cofee, terdengar serupa dengan nama minuman dan dessert yang menjadi menu sebuah kafe. Tetapi nama-nama itu adalah sebagian dari nama band indie yang berasal dan berdiri di Kota Bandung. Begitu juga nama-nama Burgerkill, The SIGIT, Jasad, Monster, Jeruji, terdengar seperti istilah film thriller, namun itu nama sebagian band indie terutama beraliran musik cadas.

Begitu juga nama Tetangga Pak Gesang, Teman Sebangku, Agis Bape, terdengar seperti sebuah kalimat kalau dibaca. Namun itu nama-nama duo indie di Kota Bandung. Semua nama-nama itu biasa saya temui pada berita dan features yang kerap muncul ketika saya membaca harian umum Pikiran Rakyat antara Juli 2013 hingga Juni 2016.

Berangkat dari keisengan nama-nama ini kemudian saya kumpukan satu demi satu berikut personel, tahun berdiri hingga album atau single yang pernah mereka keluarkan. Hasilnya menakjubkan, karena jumlah kelompok musik mulai dari duo hingga band dengan personel di atas lima orang dari kota kembang yang beredar pada kurun waktu itu lebih dari 120 nama.

Saya jadi ingin tahu berapa sebetulnya jumlah kelompok musik dan band yang ada di Kota Bandung dengan memperluas penelusuran melalui situs, ternyata hingga tulisan ini diturunkan saya sudah mendapatkan 160 nama kelompok musik dan band yang berdiri antara awal 1990-an hingga 2015, sekalipun beberapa di antara mereka memutuskan bubar dan beberapa personel mereka di kelompok lain. Saya menduga jumlahnya bisa menembus 200 dari berbagai genre pop, jazz, rock, metal, dan saya menaksir paling sedikit delapan puluh persen di antara mereka adalah tergolong indie. Sisanya juga berawal dari indie kemudian masuk label.

Bila ditambah dengan band-band atau kelompok musik yang lahir periode 1980-an hingga pertengahan 1990-an masih eksis dan aktif tampil, di antaranya nama-nama yang sudah masuk band nasional, seperti Project Pop, Kelompok Suara Parahyangan (KSP), Gigi, Kahitna, Cokelat dan sebagainya, umumnya punya label, hingga nama-nama yang pernah beredar tetapi tidak aktif lagi pada periode itu, serta yang masih indie, apalagi nama yang berdiri pada 1960-an akhir dan awal 1970-an, seperti Trio Bimbo masih eksis maupun yang tidak, maka angka di atas 300 tampaknya bukan jumlah mustahil.

Bagaimana dengan jumlah penyanyi solo yang berasal dari Kota Bandung baik laki-laki dan perempuan juga berjumlah puluhan? Mereka yang saya data kelahiran 1985 hingga kelahiran 2000, ada yang mencoba-coba dari ajang pencarian bakat, bergerak sendiri secara indie, hingga akhirnya sebagian mempunyai label. Di antara mereka ada nama Tulus, Isyana Sarasvati, Yura Yunita Rachman, bahkan melesat ke tingkat nasional. Di bawah mereka masih ada Tiara Putri Effendy, Cynthia Ivanna, menunggu kesempatan. Jika itu dijumlahkan dengan senior-seniornya seperti Mel Shandy, Nicky Astria, Trie Utamie, melebihi angka 100 penyanyi. Itu baru jumlah yang konservatif.

Yang menarik baik personel band atau penyanyi dari dua generasi ini mempunyai latar belakang pendidikannya cukup baik, paling tidak tamat SMA, tetapi pernah mengenyam bangku kuliah hingga lulusan perguruan tinggi. Fenomena ini sudah terjadi sejak angkatan 1970-an seperti almarhum musisi Harry Roesli, personel Trio Bimbo mengenyam pendidikan perguruan tinggi. Saya menyakini ada hubungan signifikan antara pendidikan dengan kualitas mereka bermusik.

Sebagian besar band mampu menciptakan lagu sendiri dan para penyanyi tunggalnya bukan saja mampu menciptakan lagu, tetapi juga mampu memainkan alat musik seperti penyanyi yang muncul antara 2013-2016, yaitu Yura Yunita dan Isyana Sarasvati. Acara mirip “Show of force” para musisi dua generasi ini tampak pada acara “Musik Tanpa Batas” yang digelar di Kafe Halaman, Tamansari Kota Bandung ketika sekitar 200 musisi kota Bandung yang bergabung dalam Komunitas Musisi Bandung Pisan berkumpul pada 4 Mei 2016.

Di antara yang hadir adalah personel Reza Icha dari Kelompok Suara Parahyangan (KSP), Erland Effendy dari “Wachdah”, Yongkie dari “Mat Bitel”, Ipung dari “Brown Sugar”, Yuki dari “PAS” dan masih banyak lagi (Pikiran Rakyat, 8 Mei 2016).

Jumlah sebenarnya pasti lebih dari itu. Kalau 200 band saja dengan personel 2-10 itu dianggap total 300 musisi, maka ditambah dengan “musisi lebih senior” maka angka 500 musisi asal Kota Bandung yang masih eksis saat ini akan terlewati. Kalau ditambah dengan penyanyi solo, baik penyanyi sudah eksis, penyanyi baru, penyanyi indie maupun dari ajang pencarian bakat yang belum beruntung, angka 1000 musisi atau artis di bidang musik dari kota Bandung adalah angka yang konservatif.

Lalu berapa orang di Kota Bandung yang terlibat dalam aktifitas musik kalau dihitung dengan staf manajemen, event organizer, para DJ, karyawan kafe kerap menjadi tempat penyelenggaraan musik? Saya pernah bertemu dengan tim dari Yura Yunita dalam sebuah pertunjukkan di Citos, Jakarta saya taksir membawa paling sedikit delapan personel. Seorang penyanyi paling tidak punya satu manajer, sekalipun ada satu manajer menghandle beberapa penyanyi. Angkanya melebihi seribuan juga, itu angka yang konservatif bekerja berkaitan dengan musik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun