Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bandung Kota Musik Tanpa (Perlu) Deklarasi

26 September 2016   13:46 Diperbarui: 23 Oktober 2016   19:30 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Band Sigmun di acara An Intimacy di Lou Belle Shop 14 Agustus 2015 (kredit foto Galamedia)

Kalau ditambah dengan komunitas musik atau mereka yang aktif mengikuti event musik, maka angka 10 hingga 15 ribu saya taksir adalah angka yang paling sedikit untuk Kota Bandung. Pikiran Rakyat edisi 14 Maret 2011 untuk musik metal saja pada 1995 jumlah komunitas penggemarnya 3 ribu orang di Kota Bandung dan sekitarnya. Belum lagi komunitas genre musik lain, atau komunitas penggemar seperti Swingging Friend dari Mocca, The Army Changcuter dan sebagainya di Kota Bandung. Apakah jumlahnya bisa mencapai satu persen dari populasi kota memang masih perlu penelitian yang lebih akurat?

Apa arti angka-angka ini? Apakah Bandung memenuhi persyaratan menjadi kota musik? Parameternya apa? Saya mengutip tulisan mantan musisi yang kemudian menjadi seorang creative entrepreneur, Robin Malau [1] tentang kota musik, untuk menciptakan ekosistem musik di Indonesia itu harus dibangun dengan 5 pilar. Pilar pertama adalah Musisi dan Komunitas itu sendiri; tanpa musisi, tidak ada musik. Kedua adalah Infrastruktur; termasuk di dalamnya gedung, sponsorship, teknologi dan lain sebagainya. Ketiga adalah Proses Belajar; termasuk pendidikan musik, kurikulum, perpustakaan dan lain sebagainya. Keempat adalah Pengembangan Industri; ini termasuk pengembangan bisnis, cara-cara monetisasi, distribusi dan lain sebagainya. Dan terakhir adalah Sosial dan Budaya; yaitu toleransi, attitude, sejarah, karakter dan sebagainya.

Setidaknya Bandung sudah punya pilar pertama musisi dan komunitas dalam jumlah yang cukup. Pilar ketiga pendidikan musik, kurikulum dan perpustakaan setidaknya sudah ada berapa perguruan tinggi yang punya jurusan musik, seperti Universitas Pendidikan Jurusan Musik, Institut Seni Budaya Indonesia,Sekolah Tinggi Musik Bandung, serta Universitas Pasundan. Belum lagi pendidikan yang informal seperti Rumah Musik Harry Roesli.

Lainnya adalah Kelas Mocca yang diselenggarakan grup band Mocca merupakan kaderisasi yang baik. Para swinging Friend belajar memadukan alat-alat musik seperti gitar, recorder, pianica, bass, sax dan xylofon komposisi musik juga dimeriahkan unsur perkusi dari snare, cajon, jimbe, cowbell dan tamborin. Para peserta Kelas Mocca juga diberikan bimbingan oleh Harry ‘Koi’ Maulana (Triangle dan anshaphone) dibagian perkusi dan Indra Kusumah (B.I.O dan Rice Cereal and Almond Choco) dibagian gitar akustik [2].

Rice Cereal and Almond Choco (kredit foto Djarumcokelat.net)
Rice Cereal and Almond Choco (kredit foto Djarumcokelat.net)
Pilar kelima, sejarah, budaya dan attitude, Bandung punya dasar untuk itu. Namun untuk pilar kedua dan keempat masih menjadi persoalan besar untuk menjadi sebuah kota musik. Infrastruktur, sponsorship, pengembangan bisnis masih harus perlu kerja keras semua stake holder yang punya kepentingan untuk perkembangan musik di Bandung.

Sampai seberapa banyak event musik yang digelar dalam setahun agar sebuah kota pantas disebut sebagai kota musik. Sampai seberapa besar Kota Bandung mampu menghidupi para musisinya? Jumlah event musik atau festival tentang suatu produk tetapi ada event musiknya yang diadakan di Kota Bandung juga bisa didata dengan menyimak berita-berita di Pikiran Rakyat, antara Januari hingga Juni 2016 event musik terdata sudah di atas 50 event. Pada Januari hingga Desember 2015 saja jumlah yang saya data sekitar 150 acara musik. Luar biasa! Itu artinya setiap bulan paling sedikit sekitar 12-15 event musik ada di Kota Bandung. Itu sama dengan dua hingga tiga event per minggu.

Acara musik yang saya data ini mulai dari pembukaan pasar, promosi pemerintah kota, pertunjukan khusus di kafe, pertunjukan regular yang digelar atau diinisiasi komunitas musik hingga event besar yang rutin seperti Kampoeng Jazz. Jumlah event musik di Bandung ini terpublikasi dengan baik karena dukungan media lokal yang kerap mempublikasikan. Seharusnya ada pihak mendokumentasikan kegiatan ini untuk mengajukan usulan untuk pendeklarasian Bandung sebagai kota musik pada suatu ketika.

Saya melihat ada beberapa unsur dominan mengapa banyak band dan penyanyi indie bisa eksis, yaitu militansi komunitas penggemarnya sekalipun sebagian tidak banyak, kerjasama dan kekompakan antar kelompok musik, mereka seperti serangga sosial, simbiosis mutualisme dengan kafe-kafe, latar belakang perguruan tinggi hingga menciptakan SDM yang mumpuni di bidang musik, dukungan media tentunya juga lingkungan kota Bandung yang “happy” menjadi faktor terakhir.

Perspektif Sejarah

Kalau dari sejarah sejak 1950-an event musik rajin digelar di tempat terbatas seperti Hotel Homann, Grand Hotel Lembang, Karang Setra, terkadang Bumi Sangkuriang Cimbeuleuit hingga pertunjukkan seni budaya di Yayasan Kebudayaan Naripan, Lyceum Jalan Dago, Bumi Sangkuriang Ciumbeluit (hingga kini masih dipakai) kemudian Panti Karya. Musim pop dan musik etnik Sunda sama-sama hidup dan terjadi sintesa di antara keduanya seperti yang dilakukan Mang Udjo.

Penyanyi era 1970-an berakar dari 1950-an, Theresa Zen kemudian diteruskan putrinya lita Zen, Bimbo setidaknya salah seorang personel Sam berasal dari The Alunas yang kerap tampil di berbagai event pada 1950-an. Booming band juga muncul era 1970-an (seperti The Giant Step) diteruskan generasi berikutnya. Munculnya majalah Aktuil juga mendukung eksistensi para musisi. Jadi Bandung sudah menjadi kota musik sejak 1950-an. Para musisi benar-benar bergerak dari Grassroot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun