Tiga tahun terakhir ini tak satu pun film horor Indonesia masuk jajaran 10 besar peraihan penonton terbanyak. Sekalipun fakta ini sebenarnya tidak bisa menjadi ukuran yang mengatakan bahwa film horor Indonesia mati suri. Mungkin jumlah penontonnya rata-rata di bawah 300 ribu penonton-menyitir mantan seorang produser film titik aman sebuah film dengan budget rendah. Tetapi segmen film horor Indonesia tampaknya masih menghadapi tantangan lain. Segmen dari kalangan muda sudah tergerus oleh kehadiran film horor Hollywood model Conjuring, sementara sebagian lagi memilih film drama romantis remaja Indonesia. Cukup ajaib, sebagian besar yang dibintangi Michelle Ziudith kerap masuk 5 besar.
Bagi saya sendiri, kebanyakan film horor yang ditayangkan tiga tahun terakhir ini (dengan berat hati saya katakan), hanya ada satu atau dua judul yang masih tergolong lumayan, seperti Kakak. Film yang satu ini saya prioritaskan untuk ditonton. Dalam bayangan saya seperti sepuluh tahun terakhir ada hal yang sebangun dengan film horor Indonesia, yaitu adegan cewek muda mandi (adegan tersebut tidak perlu ada), hantu cewek yang mendadak perkasa ketika sudah meninggal (tetapi sewaktu hidup teraniaya), dan kemunculan hantu lebih banyak mengagetkan daripada menakuti. Tetapi yang paling menjadi masalah ialah para bintangnya yang lemah dari segi acting yang seperti tampil di sinetron. Sosok hantunya kebanyakan tidak terlalu kuat karakternya
Film berjudul 'Kakak' (2015) keluar dari pakem itu dan tetapi sebetulnya diselamatkan oleh penampilan Laudya Cynthia Bella yang memang pada beberapa tahun terakhir ini berada dalam penampilan puncaknya. Hantunya adalah seorang anak kecil yang meninggal. Alasan mengapa hantu itu marah cukup memuaskan. Kakak memang masih di bawah Rumah Dara (film horor-slasher tepatnya) yang begitu kuat cerita, karakternya dan penampilan bintangnya di atas rata-rata untuk film horor, serta sejumlah adegan tidak klise dan terasa natural.
Shareefa Daanish melejit menjadi ikon dan boleh dibilang menjadi pop art (sebetulnya sudah ada ketika Dara masih dalam omnibus) berkat Rumah Dara . Inilah yang menjadi daya tarik utama. Terbukti wartawan-wartawan hiburan (termasuk saya waktu itu menjadi jurnalis sebuah tabloid telekomunikasi) antre menulis profil perempuan kelahiran London 21 Juni 1982 ini sesudah dia tampil dingin dan sadis dalam film itu. Padahal sebelum Rumah Dara rilis, alumnus Administrasi Niaga. Universitas Parahyangan Bandung ini seperti tenggelam oleh bintang-bintang lain.
Tentu saja Mo Brothers adalah konseptor piawai sangat memberikan kontribusi menciptakan karakter Dara. Di tangan Mo Brothers, Rumah Dara bukan saja menjadi film horor yang mengagetkan, tetapi juga menakutkan layaknya film horor. Saya juga tidak mengesampingkan akting beberapa pemain yang punya peran kecil, tetapi natural juga kekuatan film ini. Hampir semua media besar mengulas film ini.
Terobosan yang dinantikan dan harapan saya pada film horor Indonesia agar keluar dari pencitraan yang tidak begitu baik, dibebankan pada film Danur, yang diangkat dari novel karya penyanyi Indie Bandung, Risa Saraswati. Perempuan kelahiran Bandung, 24 Februari 1985 ini dikenal publik karena kemampuan indigonya yang membuatnya kerap diundang oleh sejumlah acara talkshow. Salah satu lagunya “Story of Peter”, dengan video klip bercerita soal hantu Anak Belanda (menurut cerita Risa mati dibunuh tentara Jepang di Bandung) terkait dengan novel dan film itu, juga lagu rakyat “Boneka Abdi” yang terdengar aroma mistis. Apalagi Danur berdasarkan kisahnya Risa dan tentunya menjanjikan tidak akan mengada-ngada seperti kebanyakan film horor Indonesia.
Trailernya sudah dipromosikan lewat media sosial Youtube, menghadirkan Prilli Latuconsina ikon bintang remaja saat ini sebagai Risa Sarasvati dan tampilnya kembali Shareefa Daanish menjadi salah satu hantunya. Dari trailler-nya,tampaknya ibu satu anak ini tampil menjanjikan begitu diam dan sudah bisa beda dari sosok “Dara”. Tetapi itu sepintas, harus dibuktikan ketika menonton film utuhnya. Hanya saja hantu-hantu anak Belanda tidak tampak di trailer.
Saya beruntung bisa mewawancarai Shareefa Daanish, pada 22 Agustus yang lalu untuk sebuah profil majalah kesehatan. Pada kesempatan tersebut, tentu saja saya tanyakan juga soal filmnya. Daanish menyebutkan bahwa berbeda dengan Dara yang menguras fisik, perannya sebagai Asih, seorang hantu perawat (tepatnya nanny, pengasuh anak) yang kehilangan anaknya justru terasa lebih emosional. “Karakter saya juga antagonis di film ini dan saya sendiri takut memerankan karakter ini di tempat yang menakutkan juga. Kekuatan film ini memang based true story,” tutur Daanish.
Sebetulnya ada film Daanish yang lain, yaitu Ular Tangga yang juga film horor. Tetapi saya tidak terlalu yakin akan kekuatan ceritanya. Daanish juga menceritakan bahwa Rumah Dara 2 akan digarap oleh Mo Brothers, namun ia tidak tahu pasti apakah film itu nanti prekuel atau sekuel. Yang jelas kehadirannya ditunggu penggemarnya. Sutradaranya Awi Suryadi, saya kira juga nama yang cukup menjanjikan.
Gunung Padang
Satu film horor lagi yang menarik karena bintangnya Firegate: Piramid Gunung Padang. Tidak tanggung-tanggung, Reza Rahadian dan Jullie Estelle adalah artis yang membintangi film ini. Sepintas dalam trailler-nya, film ini mencampurkan unsur sains dan mistik. Sutradara film tersebut, Rizal Mantovani, menjanjikan untuk urusan sinematografi. Saya belum tahu persis ceritanya seperti apa Gunung Padang yang dituturkan dalam film ini, tetapi saya pernah mewawancarai Lutfi Yondri dari Balai Arkeologi Bandung yang sedang menyusun tesis doktor bidang sejarah tentang Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat di Universitas Padjajaran, Bandung.
Sekalipun Lutfi membenarkan Gunung Padang tempat ritual, ia menolak adanya piramid dan kandungan emas seperti diungkapkan Tim Terpadu Riset Mandiri. Apalagi adanya teknologi maju berusia 23 ribu tahun, karena situs Goa Pawon usianya 10 ribu tahun digolongkan sebagai masa prasejarah untuk Indonesia. Saya khawatir sekalipun karya fiksi tetapi akan ada kekeliruan sains, penafsiran sejarah, geografis jangan sampai menjatuhkan nilai film ini. Misalnya jangan bias antara Gunung Padang di Cianjur dengan Gunung Sadahurip “piramid” yang ada di Garut. Namun film itu dari segi tema sudah menawarkan tema aktual dan bintang-bintang menjanjikan.
Salah satu di antaranya adalah Bermuda Triangledi rilis 1978 tentang sebuah kapal pesiar kecil di mana penumpangnya tidak menyadari bahwa mereka sudah hilang. Hal yang menakutkan justru tidak berwujud, kesunyian di tengah laut, boneka misterius yang ditemukan seorang anak, suara-suara memanggil membuat saya tidak sanggup menghabiskan film ini sewaktu di Drive In akhri 1970-an. Baru berani saya tonton lengkap di Youtube beberapa tahun silam.
Kemungkinan Lain
Selain legenda, soal setan membuat The Exorxist (1973) menjadi salah satu film horor yang terbaik hingga saat ini. Segi artistik, cara bertutur, akting para bintangnya menjadi keunggulan film ini dan membuatnya meraih beberapa Piala Oscar (tata suara dan penulisan skenario terbaik) dan mendapatkan sejumlah nominasi. Untuk kategori film horor saya kira hanya The Exorxist punya prestasi itu. Soal kesurupan ini masih menjadi tema dalam film horor berbagai negara, tetapi orisinalnya masih tetap The Exorxist. Begitu juga sineas Indonesia berapa kali mengangkat tema kesurupan ini, hanya saja garapan tidak mengesankan.
Tema lain yang banyak digali dalam film horor berkaitan dengan folkfore. Amerika Serikat pernah mengangkat soal mahluk gaib suku Indian Manitou ke layar lebar, peri gigi, hingga mahluk siluman berwujud seperti vampire atau werewolf, hingga zombie. Indonesia agaknya unggul pada 1970-an dengan mengangkat folkfore kuntilanak, dengan bintang legendaris Suzanna. Sekalipun film horor di Indonesia yang paling menyeramkan pada 1970-an menurut saya adalah Dikejar Dosa dengan Drg Fadli, yang membuat saya ketika masih anak-anak meninggalkan bangku bioskop di tengah film diputar, karena terasa menakutkan.
Film horor Indonesia era kontemporer juga menfasirkan kuntilanak dan sosok pocong dengan cukup baik, tentunya juga Jelangkung tetap menjadi karya monumental. Rizal Mantovani tampaknya menjadi sutradara yang cukup piawai dalam hal ini. Sayangnya unsur cabul lebih merusak estetika sebagian besar film horor, daripada memperkuat cerita. Mengapa cerita tentang Manusia Harimau, Leak, Palasik tidak digarap dengan kuat?
Selain Bermuda Triangle, 28 Day Later (2002) adalah film horor yang paling menakutkan bagi saya. Bukan saja sutradaranya Danny Boyle, salah satu sutrdara favorit saya untuk orang luar Indonesia, tetapi idenya menghadirkan kota London sunyi senyap orisinal dan lebih menakutkan dari serangan zombie itu sendiri. Bayangkan kalau Anda terbangun dari tidur atau koma di rumah sakit dan mendapatkan sendirian di Jakarta.
Pada 2000-an Hollywood menawarkan inovasi film horor dengan merubah sudut pandang, seperti M. Night Syahmalan lewat The Sixth Senses (1999) di mana tokoh utamanya tidak menyadari bahwa dia sudah meninggal dan baru diungkapkan seorang anak yang mempunyai kemampuan indigo atau film The Others (2001) –nya dari sutradara berdarah Spanyol Alejandro Amenabar yang menjadikan manusia hidup yang menganggu hantu atau arwah orang yang meninggal.
Saya kira memang sudah saatnya sineas film horor Indonesia lebih memikirkan konsep cerita yang berakar di budaya dan sejarahnya, kalau tidak buat inovasi yang beda dan tidak meniru horor Asia dan Hollywood lainnya. Kalau perlu melahirkan ikon dan pop art model Anabelle atau Valak seperti film horor Hollywood, bintang manusianya karakternya kuat dan bintang hantunya karakternya kuat dan bukan menjadi 'benda mati' yang hanya bisa mengagetkan. Oh, begitu saja? Saya berharap Danur dan Firegate: Piramid Gunung Padang lebih dari itu.
Irvan Sjafari
Adegan dalam Danur (kredit foto www.sidomi.com)
Poster Firegate: Piramid Gunung Padang (kredit foto www.parkirfilm.co)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H