Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“De-Westernisasi” Gaya Hidup dan Seni Pertunjukkan di Kota Bandung Oktober 1959 -Januari 1960

8 Agustus 2016   11:45 Diperbarui: 8 Agustus 2016   11:57 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukkan teater di Lyceum Bandung 1959 kredit foto https://seputarteater.wordpress.com/2016/05/25/catatan-kecil-buat-pemanggungan-teh-dan-simpati-pementasan-studiklub-teater-bandung/ repro Aneka)

Dalam Pikiran Rakjat,  22 Oktober 1959 disebutkan  Pelaksana Kuasa Perang  Daerah Komando Militer Kota Besar Bandung  mengirim surat kepada Kepala daerah seluruh jawa Barat  meminta bantuannya mencegah penduduk dari daerahnya untuk ke Kotapraja Bandung.   Pihak militer mengungkapkan bahwa  kota itu mengalami kesulitan perumahan, lapangan kerja dan biaya hidup semakin meningkat. Bandung tidak mampu lagi menampung penduduk baru.  

Sekalipun tekanan hidup semakin berat, tetapi gaya hidup metropolis tampaknya masih dijalankan kalangan menengah yang begitu kental dengan Barat.  Sekalipun frekuensinya tidak lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.   Bandung sebagai sebuah kota yang warganya bergaya hidup metropolis untuk ukuran masa itu memasuki memasuki masa senjakala.  Paling tidak acara dansa-dansi dan musik Barat mendapatkan tekanan berat.  Nama-nama organisasi dan perusahaan berbau Barat diminta diganti dan memang banyak yang mengumumkan pergantian.

Grand Hotel Lembang  masih menggelar musik dansa  selama September 1959 bahkan hingga Januari 1960.  Disebutkan ada penyanyi bernama Ronny Presley yang secaar tersirat bahwa musik rock n roll masih digemari.  Pada November 1959 Hotel Homann Bandung kembali  menjadi tempat terlenggarakan acara Malam Gelak dan Irama.  Panityanya Yayasan Kartini menghadirkan  band yang digrandrungi remaja The Alulas, orkes Gumarang, Sam Saimun, Pelawak  Sam Karsojo, hingga artis popular masa itu Nun Zarina.  Bahkan hingga Januari 1960 masih ada  pengumuman bahwa  hotel-hotel besar di Bandung dan sekitarnyamenggelar acara dansa jenis ballroom.

Pada 27  September 1959  di Hotel Homann berlangsung kegiatan  pergelaran busana yang disebut Lurik Show.  Pentas kesenian  ini dselenggarakan oleh Yayasan Dharma Bakti.  Sandiwara Drama “Dakwaan dan Jaumil Qiamah ciptaan Sastrawan RAF  digelar di Gedung Yayasan Kebudayaan Jalan Naripan no.1 pada 17 dan 18 Oktober 1959 pukul 20.00  dengan harga karcis kelas I Rp25 dan kelas I Rp15  (Pikiran Rakjat, 10 Oktober 1959).

Pertunjukkan di Lyceum, Yayasan Pusat Kebudayaan dan Gedung Bank Tabungan Pos

Pada 10  Oktober 1959 di Lyceum, Jalan Dago 81, Bandung diadakan acara Malam Kesenian Jerman yang diselenggarakan Panti Kesenian bandung, Indonesian Artist Management Jakarta dengan mendatangkan 30 seniman dari Misi Kebudayaan Jerman.  Acaranya antara lain klasik kwartet instrumental, kwartet vokal dan tari-tarian seluruh Jerman.  Harga karcis dibandroll Rp50, Rp30 dan Rp20.  Seminggu kemudian Aula Lyceum kembali menjadi tempat penyelenggaraan konser piano chopin.  

Studi Klub Teater Bandung pada 17 Oktober 1959 mengadakan pementasan Drama Ajub  dari Archibald Mcleish juga di Aula Lyceum.  Ceritanya menurut budayawan Satyagraha Hoerip berhubungan dengan filasafat eksistensi manusia dan ketuhanan.  Diceritakan  dalam drama itu  Ayub kehilangan anaknya yang gugur di medan perang. Ada yang diperkosa. Drama yang berlangsung selama tiga jam ini ditinggal 20 persen penontonnya. 

Sebaliknya penonton di Hotel Homann  begitu antusias mengikuti penampilan Gaby Mambo dan Baby Huwae dari Jakarta pada malam EDL Nite yang diselenggarakan Band El Dolores Combo. Begitu juga Band The Hot Jumpers tampil di Taman Lalu Lintas. Kedua kegiatan ini  pada  November 1959.  Film-film Barat juga masih diputar yaitu The Defiant Ones dibintangi Tony Curtis dan Sidney Portier di Elita, Luxor dan Braga Sky.  Bahkan film The Black Orchid yang menampilkan Sophia Loren, Anthony Quinn diputar di Elita dan Luxor bercerita soal asmara seorang janda.  Dari dalam negeri  sepanjang Oktober 1959 film Djendral Kantjil yang dibintangi Ahmad Albar (waktu kecil) juga disebut penonton Bandung.

Kesenian tradisional Sunda mempunyai peluang dengan semangat anti Barat ini. Pada 1 Agustus 1959  berdiri  Perkumpulan  Tjahaja Sunda. Ketuanya Handawinata dan Wakilnya Raden Karta Hadikusuma dengan 140 anggota.  Perkumpulan ini menawarkan konsep pertunjukkan tradisional dengan unsur modern, menggabungkan nyanyian kawih, tari-tarian, lelucon dan gending.  Total ada 10 bidang  kesenian seperti wayang golek, reog. 

Unsur modern itu tampak ketika pesinden menyanyikan lagu klasik bergaya Mario Lanza -penyanyi tenor berkebangsaan Amerika Serikat yang populer masa itu- dengan  pertunjukkan tiga dimensi. Bila pesinden tampil  cukup berada di belakang setelah layar dibuka.  Ada karpet yang membawa pesinden itu maju ke bagian depan panggung. Setelah pensinden selesai tampil karpet itu membawa pesinden itu kembali ke balik panggung dan layar ditutup.

Pada 11 Desember 1959, pukul 19.30  Daya Mahasiswa Sunda[1] menyelenggarakan event yang disebut sebagai Parahiangan Indah, berupa batik show dan kebaya show di Bank Tabungan Pos Jalan  Jawa 17. Pada 24 desember 1959 giliran Perkumpulan Seni Suara Sunda Lutju di gedung  Yayasan Pusat Kebudayaan di Jalan Naripan menyelenggarakan perlombaan seni tari Sunda.

Berdirinya Panti Karya

Panti Karya (Bandung heritage)
Panti Karya (Bandung heritage)

Mingggu 6 Desember 1959  tempat pertunjukkan di Kota Bandung bertambah dengan berdirinya Gedung Persatuan Buruh Kereta Api di Jalan Merdeka nomor 31.  Gedung ini juga dinamakan dengan Gedung Panti Karya [2].  Gedung itu diresmikan oleh Menteri Muda Perburuhan  Ahem Erningpradja dan dihadiri oleh Sanusi Hardjadinata, Panglima Siliwangi Kolonel Kosasih dan Dirjen Kereta Api R. Abu Prajitno,  Oja Somantri.

Panti Karya dibangun pada 30 Mei 1958  dan batu pertamanya diletakan oleh Sanusi Hardjadinata.  Gedung ini mempunyai tinggi 34 meter dan terdiri dari enam tingkat dengan luas ruangan seluruhnya 2203 M2.  Gedung ini dilengkapi ruangan koneperensi dan kongres yang mampu menampung 400 orang bahkan 750 orang. Terdapat telepon otomat dengan 35 sambungan ditambah loud speaking. Bentuk bangunan unik dengan satu menara yang tinggi.   

“Gedung ini bermanfaat bagi buruh kereta api dan merupakan gedung nomor tiga terbesar di Asia Tenggara yang dimiliki oleh Sarekat Buruh di seluruh dunia, “ ujar Erningpradja dengan bangga seperti dirilis Pikiran Rakjat edisi 7 Desember 1959.  

Iklan pertunjukkan di Panti Karya (Irvan sjafari/repro pikiran rakjat)
Iklan pertunjukkan di Panti Karya (Irvan sjafari/repro pikiran rakjat)
Pertunjukkan kesenian yang pertama digelar di Panti Karya adalah Dagelan Mataram dari Yogyakarta pada 13  Januari 1960 pada pukul 20.00 hingga 23.30.  Sejumlah pemainnya seperti Tjokrodjijo, Atmonadi Djajengsuwandi, Djajengdikoro, Sutini Sugijem dan Togen ikut dalam rombongan.  Ada tambahan nama pelawak baru pada msa itu Bagjo dan  Iskak. Kedua nama ini kelak menjadi pelawak terkemuka pada 1970-an.   Pertunjukkan untuk amal.

Pada 9 Februari 1960 pada pukul 20.00, penari Indonesia terkenal Seti Arti Kailola tampil bersama Patrica Nave, penari Amerika Serikat  dari Broklyn dan Kaufman Concert Hall. Karcis dijual dengan harga Rp55 untuk umum, Rp35 untuk anggota PBKA dan Rp20 untuk pelajar.  Pertunjukkan ini diselenggarakan Panti Kesenian dan Yayasan Impresariat Indonesia.    

Pro dan Kontra  Lagu dan Dansa  Rock n Roll, serta Cha Cha Cha

Menjelang  akhir Oktober 1959 tersiar kabar bahwa lagu-lagu pilihan dari Barat tidak boleh lagi diperdengarkan di radio.  Pelarangan  itu merupakan kebijakan pemerintah, mendapatkan banyak kritikan di Bandung.  Seorang warga Bandung di Jalan Wastukencana  bernama Burhan Bachtiar mempertanyakan kebijakan itu kalau menyangkut ekses buruk. Karena Radio Australia (ABC)  juga bisa diakses warga Bandung juga memperdengarkan lagu-lagu yang lebih hot. Kebijakan ini mengikuti pidato Bung Karno di Surabaya dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda bahwa “kita harus memberantas kebudayaan asing yang gila-gilaan”.  

Pada akhir Oktober 1959 Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat Daeng Sutigna mengkritik kebijakan  larangan tersebut tidak akan berarti jika tidak ditunjukkan apa yang harus dilakukan. Kalangan pemuda menyukai lagu-lagu Elvis Presley, cha  cha cha, rock n roll mudah dipelajari, orang tidak memerlukan guru yang benar-benar ahli. Untuk mempelajari lagu-lagu Elvis Presley, para pemuda tidak perlu membayar dan bisa belajar  pada temannya sendiri.  Sementara untuk mempelajari musik bermutu tidak ada bukunya di Indonesia (masa itu). 

Orang tidak mengerti musik bisa saja menikmati lagu Elvis Presley.  Lagu-lagu itu menurut Daeang bukan untuk didengar melainkan ditonton. Lagu-lagu semacam Cha Cha Cha  hanya berisi rhythm dan kurang atau tidak ada berisi   melodi. Orang bisa mendengarkannya sambil bercakap-cakap.  Lain halnya dengan lagu-lagu lain bermutu seni semacam lagu Bethoven, untuk bisa menikmati orang harus memusatkan perhatian.   Hampir setiap sekolah di Bandung mempunyai band musik (rock n roll)  tetapi hanya sedikit yang membimbing, itu sebabnya band  menjadi liar.

Daeng juga  menyesalkan tidak adanya mata pelajaran seni suara di tingkat SMA dan di SMP  ada, tetapi kurang dipentingkan.  Akibatnya perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan seni suara juga mengalami kesulitan. Daeng menolak diminta bantuan FKIP Universitas Padjadjaran untuk menyusun suatu kurikulum seni suara untuk perguruan tinggi, namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengajar mahasiswa yang tidak pernah mendapatkan pelajaran seni suara.  

Yang jelas pada awal November 1959 satu kursus dansa di Kota Bandung sudah ditutup. Yang ditutup ialah tempat kursus dansa yang dipimpin Rudy Suhandi  di Jalan Pungkur.  Padahal kursus dansa itu sudah menghasilkan ribuan murid dari kota Bandung.  Rudy Suhandi juga membubarkan  perkumpulan dansa Golden Spider yang ada di bawah pimpinannya.  

Guru-guru dansa di tempat kursus lain memutuskan tidak lagi mengajarkan dansa rock n roll, cha cha cha dan calypso. Guru dansa lainnya Lies Harjoto menyebutkan bahwa dansa berirama Tango dan walz lebih “Barat” dari Cha cha-cha kalau ukurannya gila-gilaan.  Sementara Ballroom lebih sopan.

Suhandi kemudian membantah ballroom lebih sopan, menurutnya tetap ada persentuhan badan. 

Begitu juga Tango di mana kaki pria masuk di antara kaki wanita. Dansa cha cha, rock n roll hanya atraksi tanpa persentuhan tubuh, tetapi dianggap kurang sopan.    M. Napit Ketua Surabaya Society of Teachers of Dancing cabang Bandung sependapat dengan Lies Harjoto bahwa Ballroom Dance lebih sopan.  Dia juga mengkritik  Tari Serampang Dua Belas sebetulnya tak jauh beda Cha Cha Cha yang merupakan tari tontonan.

Warga Bandung di Jalan Ganeca nomor 10 bernama Haurissa (kemungkinan mahasiswi ITB) mengecam Suhandi sebagai pimpinan dansa mau begitu saja tunduk terhadap larangan dansa.  Sebagai penggemar dansa ballroom Haurissa belajar qick step, walz tango, hingga ballroom dan menggemarinya.  Namun tidak ada yang disebut merangsang. “Kalau kita berdansa utarakanlah pikiran kita hanya untuk berdansa sebaik-baiknya,” ujarnya seperti ditulis Pikiran Rakjat, 17 November 1959.

Siti Lenggogini, anak  Bandung dari Asrama Ratnaningsih, Yogyakarta juga  mengirim surat di Pikiran Rakjat edisi  7 November 1959  yang bunyinya:

Bagi kami tidak terasa gunaja kita merepotkan soal-soal lagu dansa-dansi itu, kecuali barangkali disruh melupakan soal sandang pangan.  Di rumah kami biasa menggunakan  Bahasa Belanda, tetapi tetap bisa berbahasa Indonesia di Bandung

Perayaan Tahun Baru  1960

Desas-desus beredar setelah dansa, lagu-lagu Barat (pop) juga dilarang. Pada pertengahan November 1959   Menteri Muda Penerangan Muladi mengemukakan bahwa lagu-lagu Barat yang dilarang hanya lagu-lagu yang memberi pengaruh jeleknya.  Sayangnya apa yang disebut pengaruh jelek tidak diperinci.  Kenyataannya pada malam perayaan tahun baru 1960, acara dansa melengkapi acara makan malam (dinner) tetap digelar di Hotel Homann, Grand Hotel Prenager, Grand Hotel Lembang.

Pada malam tahun baru 1960  film “Diary of Anne Frank” untuk pertama kali dipertunjukkan.  Untuk pertama kalinya warga kota Bandung diperkenalkan apa yang disebut midnight show.  Warga bisa menonton film yang diputar tepat pada pukul 24.00 dan selesai pada pukul 3 dini hari.   Untuk pertama kalinya warga Bandung bisa merayakan tahun baru tanpa satu pun kasus kriminal, serta kecelakaan lalu lintas.  

Namun sebanyak 334 anak-anak usia di bawah 16 tahun kena razia karena keluyuran di bioskop dan Taman Senang.  Padahal sejak 19 November 1959  pihak kepolisian melarang anak-anak untuk keluyuran di atas pukul delapan malam tanpa didampingi orangtuanya. Anak-anak yang mencari nafkah sebagai tukang Koran pun ditangkap. Kebijakan itu dijalankan karena pada April hingga November 1959 terjadi 24 kasus kenakalan dan kriminal yang melibatkan anak-anak. Sebanyak 10 kasus di antaranya terjadi pada Oktober 1959, tujuh di antaranya pencurian.  Pihak Seksi Biro Anak kepolisian Bandung tidak menahan anak-anak dan hanya mengirimnya ke tempat penampungan anak.      

Pada malam tahun baru 1960 polisi juga menahan 80 kendaraan mobil dinas yang kena razia karena digunakan di luar jam dinas.

Nama-nama Barat Diganti

Kebijakan melarang dansa yang gila-gilaan ini menyusul anjuran untuk tidak lagi menggunakan nama-nama asing berbau Barat. Boetje Piters, warga Maluku di Bandung terperanjat: bukankah banyak nama-nama di Maluku yang menggunakan nama-nama baptis? Misalnya Petrus, Johannes, Nicholas? Bagaimana dengan nama Fatimah, Umar dan Usman dari Arab?  Bagaimana dengan nama-nama sansekerta? (Pikiran Rakjat, 2 November 1959)

Pergantian nama-nama sudah terjadi di Bandung.  Apotik De Vitjel di Jalan Dago 53 Bandung berganti nama Apotik Indevitra  sejak 25 September 1959.  Bioskop-bioskop utama di Kota Bandung merubah namanya dan pada Januari 1960 sudah disosialisasikan melalui iklan di surat kabar. Di kawasan alun-alun, Bioskop Varia dirubah namanya menjadi Nusantara. Nama yang kemudian terus digunakan hingga 1980-an.  Di sebelahnya juga di Jalan Alun-alun Timur, Elita Theater dirubah namanya menjadi Puspita.  Namun pada 1970-an kembali menjadi Elita.  Sementara Radio City berubah menjadi Dian Theater, nama yang terus berlaku hingga 1980-an.  Hingga sekarang hanya Dian yang bangunannya relatif utuh.

Di kawasan lain, Braga di mana terdapat  bioskop Majestic berubah namanya menjadi Dewi dan Braga Sky menjadi Pelangi.  Mungkin karena kurang komersial, nama kedua bioskop itu kembali seperti semula pada 1970-an hingga 1980-an.  Bangunan bioskop Majestic relatif utuh, seperti Dian Thater. Pada awal Januari 1960.    Nama bioskop lain yang berubah adalah Rivoli menjadi Fadjar, Texas menjadi Parahijangan dan Luxor menjadi Nirmala.

Ada juga warga Bandung yang menyambut “De-westernisasi” pada nama bioskop dengan menyerukan agar sektor lain juga diberlakukan hal yang sama. Sjafudin sastrawidjaja di jalan Nyland nomor 4 Bandung mengusulkan nama-nama jalan, seperti Westhoff, dr.Otten, Eykman, Nyland juga diganti.  Himawan warga Jalan dr. Slamet 17 Bandung  menginginkan tidak ada lagi nama-nama asing digunakan untuk toko-toko.   Tika Gastika, warga Gang Babakan (bbk) Tjiamis 12/113 Bandung  memprotes mengapa hanya nama-nama bioskop diganti padahal tidak terlalu berbau Barat, harusnya lapangan Uni dan Sidolig yang jeals singkatan nama Belanda tidak diganti.

Menyusul pergantian nama bioskop, pemerintah mengeluarkan kebijakan  mengurangi film asing di bioskop.  Jumlah film import rata-rata 700 judul per tahun dikurangi menjadi 275 judul saja.  Menurut Jen Haryanto dalam artikelnya di Pikiran Rakjat, 18 Januari 1960 kebijakan ini bisa memberikan kesempatan pada film Indonesia untuk mendominasi bioskop.  Film Indonesia dapat berkembang.  Kenyataan hingga Januari 1960  film-film Hollywood  seperti “Joan of Arc” yang dibintangi Ingrid Bregman, hingga film yang membuat Elizabeth Taylor mendapat Oscar pada 1958 berjudul  “Cat on A Hot Tin Roof” diputar di Kota Bandung.  Sekalipun film Indonesia dan negara Asia lainnya mulai mendapat kesempatan.  Film “Asrama Dara” juga ditonton warga Bandung dalam Januari 1960.  

Awak Februari 1960 muncul polemik baru lagi setelah dansa mulai terdesak. Balet mulai dipertanyakan apakah termasuk seni yang gila-gilaan. Tasdik, warga Jalan Djongdjolong nomor 61 Bandung menyebutkan balet mempunyai nilai seni sementara rock n roll tidak. Jadi kalau bernilai seni sesuai dengan orang Timur. “Coba bandingkan lulisan seorang hanya berpakaian hawa (tanpa pakaian) corretan seniman. Kita harus merasa beruntung kalau pemuda kita kerajingan balet? (Pikiran Rakjat, 4 Februari 1960).

Penampilan pelawak Yusuf dari Tasikmlaya yang meniru aktor Amerika Yul Bryner (botak)  dikecam Toha Purawinata warga Babakan Ciamis III/ 1 B yang mengkhawatirkan kalau dibiarkan akan menjadi perilaku yang negatif seperti fenomena crossboy pada 1957.  

Irvan Sjafari

Catatan Kaki:

  1. Adanya usulan dan dorongan dari Ir. Otong Kosasih tentang perlunya dibentuk sebuah organisasi yang membawa misi untuk mewujudkan para intelektual dan ahli-ahli Sunda dalam mengisi otonomi daerah yang seluas-luasnya.
     Dilatarbelakangi rasa keprihatinan dan kepedulian karena merasakan adanya ketidakadilan dalam bidang studi di daerah sendiri, terbukti dengan sulitnya masuk dan belajar di Fakultas Tekhnik ITB, Perguruan Tinggi, Pendidikan Guru/TTTC (IKIP/UPI Bandung) yang kebanyakan mahasiswa dari daerah lain  (sumber http://sundanet.com/article/content/58)
  2. Ada sumber menyebutkan Panti Karya berdiri pada 1956, misalnya http://www.serbabandung.com/gedung-panti-karya/) tampaknya tidak cocok dengan sumber primer yang saya temukan. Mungkin ada gedung yang milik buruh keeta api juga yang di Bandung di sana. Tulisan saya di  http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/bandung-kota-lama-yang-tersembunyi_5529945af17e615909d623d3 juga mengutuip sumber yang menyebut pada 1956 ini.  Kemungkinan lain Pikiran Rakjat salah menyebut 1958 sebagai peletakan batu pertama, mungkin 1956.     Cuma saya setuju pada Indra Erzaman dalam surat pembaca pikiran rakyat tanggal 07 Juni 2006 dikutip situs tersebut yang melukiskan betapa asrinya gedung ini dulu. Halamannya bersih ditutupi pasir hitam, di sebelah kiri gedung ada taman bunga yang apik.

Sumber:

Pikiran Rakjat,3 Agustus 1959,  1 September 1959,  26 September 1959, 29  September 1959, 5 Oktober 1959, 22 Oktober 1959, 24 Oktober 1959, 26 Oktober 1959, 29 Oktober 1959, 30 Oktober 1959, 31 Oktober 1959, 2 November 1959,   3  November  1959, 4  November 1959,  7 November 1959, 9 November 1959, 11 November 1959, 17 November 1959, 21 November 1959, 24 November 1959, 7 Desember 1959,  9 Desember 1959, 2 Januari 1960, 4 Januari 1960,9 Januari 1960,  11 Januari 1960

Sumber foto

Bandung heritage (panti karya)

Kliping iklan Pertunjukkan Panti Karya (irvan Sjafari/repro Pikiran Rakjat)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun